Postingan

Menampilkan postingan dari Mei, 2014

Wajah Bangsa: "Syukur dan Terima Kasih"

Siang tadi, Pak Ias melontarkan bahan perbincangan menarik. Berdasarkan apa yang disampaikan pengkotbah dari Korea yang mengisi firman di gereja tempat Pak Ias berjemaat, ada fakta menarik yang membedakan bangsa Korea dengan bangsa Indonesia. Dikatakan bahwa bangsa Korea adalah bangsa yang sangat berterima kasih atas pengaruh misionari Injil yang masuk selama seratusan tahun di Korea. Hal ini tampak dari begitu banyaknya misi penginjilan modern Korea dari berbagai profesi ke seluruh dunia. Bandingkan dengan Indonesia. Indonesia dapat dikatakan lebih lama 'dipengaruhi' oleh misionari Injil, namun apa yang dihasilkan? Adakah Indonesia pun mempunyai wujud 'rasa terima kasih' atau syukur yang nyata atas pengaruh Injil tersebut? Jika ada, apakah itu? Jika tidak, mengapa bisa demikian? Dari sekilas obrolan yang tiba-tiba kuingat itu, aku jadi mikir. Apakah bangsaku ini sedemikian parah mentalnya sehingga tidak punya rasa terima kasih? Apakah sedemikian sukarnya bangsa Indon

Komodo Hijau Tosca

Komodo adalah julukan yang kuberikan bagi mobil Escudo dengan cat hijau tosca metalic atas nama ibuku yang diwariskannya kepadaku. Saat ini si Komodo ini menjadi pusaka keluarga di Rumah Cahaya, alias tidak pernah dioperasikan sebagaimana tugas panggilannya, sebagai kendaraan keluarga. Dulu, ketika masih jaya-jayanya, si Komodo pernah dikendarai kami sekeluarga sampai ke Bali, bahkan sampai mendaki ke Bromo. Bannya yang kuat dan kokoh mampu memanjat trotoar, meskipun itu bukanlah bagian dari tugas wajibnya. Bodinya yang imut dan lucu itu sering terbentur-bentur entah itu pagar, tembok, maupun kendaraan lain. Dengan Komodo inilah aku pertama kali belajar mengendarai mobil. Komodo ini pulalah yang setia kuajak ke sekolah dan kuliah. Hiasannya yang awet dan paling khas adalah gantungan berbentuk tulang paha mini di spion tengah depan. Di kaca belakang, tertempel stiker-stiker lucu dengan satu yang paling keren yaitu tulisan “Holy Spirit Team”. Yang paling penting dari si Komodo ini adala

Petualangan Naik Bus

Naik bus keliling kota. Siapa yang pernah melakukannya? Saya pernah, entah sendiri entah bersama-sama. Pengalaman naik bus kota satu putaran sendirian pernah saya lakoni sekali dua kali dulu ketika masih bujangan. Motivasinya hanya sekedar melepas kejenuhan dan melihat-lihat suasana kota sepintas lalu. Sedangkan naik bus bersama Mas Cah pernah saya lakukan satu dua tahun yang lalu. Waktu itu kami naik bus Trans Jogja jurusan RS Bethesda-Prambanan-RS Bethesda. Waktu itu bus Trans Jogja masih adem dan nyaman sekali. Waktu itu pula saya pertama kali naik bus Trans Jogja. Beberapa menit perjalanan saya sempat jatuh tertidur karena begitu nyamannya. Mas Cah berhasil mengambil gambar saya sewaktu tertidur dengan kamera ponselnya. Sungguh bukan hasil yang fotogenik tentunya. Pengalaman kedua kali naik bus Trans Jogja jurusan yang sama, RS Bethesda-Prambanan-RS Bethesda, mempunyai kenangan tersendiri. Kenyamanan sudah agak berkurang, penumpang pun banyak yang tidak kebagian tempat duduk. Sela

Ritual Jalan-Jalan

Sebelum membangun keluarga sendiri, aku dan keluarga intiku (bapak, ibu, dan kakak) punya ritual untuk melepas penat dan sekaligus mempererat hubungan antaranggota keluarga. Ritual itu adalah ‘berjalan-jalan’ naik mobil. Biasanya kami melakukan ritual itu setelah menghadiri kebaktian hari Minggu, entah siang atau sore. Rute yang ditempuh bervariasi, tergantung selera sang pengemudi, yaitu bapak. Jarak yang ditempuh bisa mencapai berpuluh-puluh kilo meter. Perjalanan pergi pulang dari Jogja dapat memakan waktu sampai larut malam. Capek atau lelah tidak terasa karena tertutup oleh kepuasan batin yang diperoleh. Masing-masing kami mempunyai kesenangan sendiri-sendiri. Bapak senang mengemudi dengan penuh konsentrasi, tanpa banyak omong, mungkin sambil mendengarkan obrolan atau celetukan para penumpang dengan latar belakang musik dari audio mobil. Ibu lebih senang tertidur menjelang pertengahan perjalanan sampai ke tujuan perjalanan. Aku dan kakakku cenderung suka mengamati sekeliling, men

Menjadi Juru Semangat

Kegiatanku sehari-hari diwarnai dengan banyak mendengarkan celotehan menarik dari sesamaku manusia. Baik itu di lingkungan keluarga, tempat kerja, dan persekutuan, aku sering mendengarkan mereka bercerita tentang kehidupannya masing-masing. Ada yang menceritakan tentang kegelisahan, kegaduhan, kegalauan, kesedihan, dan penderitaan yang dialaminya. Ada pula yang menceritakan tentang pergumulan iman dan bagaimana solusi atau jawaban Tuhan yang diperolehnya. Begitu penuh variasi isi pembicaraan yang berseliweran di sekitarku membentuk mozaik kehidupan yang penuh dinamika.                 Kecenderungan alami manusia adalah membicarakan keburukan situasi atau sesamanya dalam percakapan ringan di mana pun mereka berada. Tidak terasa sudah sedemikian banyak energi negatif yang dihasilkan akibat pembicaraan yang juga bernada negatif itu. Tanpa terasa pula, semangat hidup yang ada menjadi negatif dipenuhi kemarahan, pesimisme, dan apatisme. Di situlah diperlukan peran ‘juru semangat’. Apa it

Mengiringi dan Ngesound

Dalam ibadah atau kebaktian di gereja, selain kotbah dan doa, pelayanan musik memegang peranan yang tidak kalah penting. Rasanya ada yang kurang jika ibadah tanpa ada nyanyian atau musiknya. Bahkan, ada yang mengatakan bahwa gereja itu adalah jemaat yang bernyanyi. Kualitas musik dan nyanyian jemaat sangat menentukan kualitas ibadah atau kebaktian yang diselenggarakan. Jika jemaat menyanyikan dengan baik dan sesuai dengan tujuan, maka sebenarnya kotbah dan doa sudah termasuk di dalamnya. Unsur yang membuat kualitas musik dan nyanyian jemaat menjadi baik adalah pelayanan musik yang ditunjang oleh pelayanan sound system. Kedua hal ini saling menopang dan melengkapi. Tanpa musik, jemaat kadang kurang semangat untuk menyanyikan lagu-lagu pujian. Tempo kadang melambat, jemaat pun takut salah. Tanpa sound system, musik yang dimainkan pun tidak maksimal karena jemaat kadang terganggu oleh volume suara yang mungkin terlalu keras atau lemah. Di sinilah diperlukan kerja sama antara pemain musik

Mbak Ami Sang Pekerja

PRT atau pekerja rumah tangga menjadi fenomena tersendiri bagi masyarakat Indonesia khususnya dalam lingkup keluarga. Karena pada zaman sekarang, di Indonesia, sudah umum jika laki-laki dan perempuan sama-sama bekerja di luar rumah, kebutuhan akan PRT menjadi tak terelakkan. Memang ada juga keluarga yang mandiri dan modern yang tidak mempekerjakan PRT dalam rumah tangga mereka. Tapi, bagi sebagian besar keluarga yang mampu secara ekonomi, sepertinya sudah menjadi hal wajib untuk mempekerjakan PRT. Bermula atas dasar kebutuhan itulah, maka beberapa waktu yang lalu, kami mepekerjakan seorang PRT yang tugas utamanya adalah membantu menjaga Asa yang masih bayi sementara aku dan Mas Cah bekerja di luar rumah.                 Namanya Aminah. Aku memanggilnya Mbak Ami. Mbak Ami adalah PRT yang direkrut bekerja di rumah tangga kami di Rumah Cahaya selama beberapa waktu yang lalu. Pekerjaan utamanya adalah membantuku menjaga Asa terutama saat aku harus pergi bekerja di ladang TUHAN di Yogyak

Bermain dengan Asa

Asa suka sekali bermain dan bereksplorasi. Dalam usianya yang masih terhitung bayi saat tulisan ini dibuat, tampak bahwa pertumbuhan dan perkembangan Asa begitu luar biasa. Bisa dikatakan bahwa Asa adalah bayi yang sempurna. Pertumbuhan fisiknya di atas rata-rata anak bayi pada umumnya. Perkembangannya juga aku lihat cukup optimal. Setiap hari, Asa selalu bermain. Dalam bermain itu terlihat betul bagaimana jiwa petualangannya. Tidak terlihat rasa takut atau ragu dalam setiap gerak-geriknya. Seperti layaknya bayi yang sedang dalam masa emas pertumbuhannya, Asa pun sangat peka terhadap berbagai stimulasi. Terhadap bunyi-bunyian, Asa sangatlah responsif. Apalagi jika diperdengarkan bunyi musik dan nyanyian. Kecerdasan musikal Asa tampaknya cukup tinggi. Ini mungkin karena sejak dalam kandungan, aku suka memainkan musik-musik piano baik itu klasik maupun pop rohani.                 Asa tampak memiliki beberapa mainan favorit. Yang paling sering disentuhnya adalah boneka-boneka beruang m

Belajar dalam Bekerja

Dulu aku cenderung lebih banyak berdiam diri sehingga aku dikenal sebagai Mimi si pendiam. Bukan karena aku tidak bisa bicara, melainkan karena aku tidak ada bahan untuk dibicarakan. Selain itu, lingkunganku masih kurang kondusif bagiku untuk mengaktualisasikan diri melalui berbicara. Aku masih belum terlalu mengenal orang-orang di sekitarku. Memang bukan kebiasaanku untuk langsung bersikap sok kenal sok dekat dengan siapapun yang baru saja kutemui. Sehingga, kesan pertama orang-orang yang bertemu denganku adalah aku ini pendiam, cuek, dan dingin. Tapi begitu sudah kenal akrab, aku lebih banyak terbuka dan lebih banyak bicara. Di bagian di mana aku ditempatkan pertama kali, aku seperti kecemplung di kawah candradimuka. Banyak hal baru yang harus kupelajari dalam waktu yang singkat sementara aku belum menemukan orang-orang yang bisa kuajak berbincang-bincang dengan lebih akrab. Walhasil, aku kelabakan dan lebih banyak terlihat kikuk bin kaku. Tidak masalah bagiku sekarang, karena saat

Sepanjang Lorong Rumah Sakit

Rumah sakit ladang anggur TUHAN di Yogyakarta ini sungguh menarik dan mengesankan. Bangunannya kuno, termasuk cagar budaya. Di situ banyak peninggalan sejarah dan kenangan-kenangan yang bernilai tinggi. Yang paling menunjukkan ciri khas adalah lorong-lorongnya yang panjang itu. Katanya, tidak boleh diubah bentuknya. Itu adalah penanda bahwa rumah sakit ini berdiri di atas tanah milik Kesultanan Yogyakarta. Lihat saja tiang-tiangnya yang bercat hijau tua khas keraton itu! Lorong rumah sakit ini panjangnya terhitung cukup lumayan untuk meningkatikan aktivitas fisik berjalan kaki kita. Dari kelurahan Klitren sampai Kotabaru ia membentang, sekitar setengah kilometer panjangnya. Jika kita kekurangan tempat untuk berjalan kaki, maka manfaatkanlah lorong rumah sakit ini dari ujung timur ke ujung barat. Cukup dua puluh menit sehari berjalan kaki untuk menambah kualitas dan kuantitas aktivitas fisik kita.                 Selain lorongnya yang bersejarah, tentu saja di rumah sakit ini terdapa

Jiwa Korsa

Beberapa waktu yang lalu, kota Yogyakarta dikejutkan oleh peristiwa berdarah yang melibatkan aksi premanisme. Dimulai dari peristiwa tewasnya seorang anggota Kopasus di tangan empat preman yang katanya adalah mantan anggota kepolisian, dilanjutkan dengan drama aksi penembakan para tersangka di LP Cebongan oleh para anggota Kopasus. Ternyata, masyarakat Yogya lebih banyak bersimpati kepada tindakan Kopasus itu karena selama ini sudah merasa sangat dirugikan oleh premanisme. Maka, menjadi sangat populerlah istilah jiwa korsa. Jiwa korsa adalah semangat solidaritas yang ditumbuhkan dalam diri para prajurit TNI. Dengan jiwa korsa ini, para prajurit TNI menjadi sangat kuat dalam kesatuan. Jika ada satu yang dilukai, yang lain turut merasakan.                 Semangat jiwa korsa yang ditunjukkan oleh oknum Kopasus itu telah memberikan inspirasi yang luar biasa. Kopasus adalah pasukan elit TNI Angkatan Darat yang dilatih secara khusus untuk melindungi negara. Dalam latihan yang berat, mere

Persahabatan yang Membangun

Salah satu hal yang termanis dan terindah dalam hidup ini adalah persahabatan. Persahabatan adalah hubungan yang terjadi antara dua atau lebih pribadi di mana terjadi saling memberi dan menerima yang dilandasi kasih yang tulus dan sejati. Persahabatan tidak terbatas pada usia, jenis kelamin, pekerjaan, status sosial, agama, suku, bangsa, bahkan spesies. Banyak kisah atau cerita yang telah dibukukan dan difilmkan yang terinspirasi dari hubungan perahabatan yang sejati. Bahkan, kisah penebusan dan karya keselamatan manusia oleh Tuhan Yesus Kristus itu adalah wujud dari persahabatan yang sejati dan abadi antara Tuhan dan manusia. Tuhan yang baik telah menawarkan hubungan persahabatan dengan umat ciptaan-Nya yang dinyatakan dengan amat dramatisnya di peristiwa salib itu.                 Bagiku, persahabatan adalah hal yang sangat penting. Aku bertekad menjadi seorang sahabat yang sejati bagi mereka-mereka yang memang telah ditentukan untuk menjadi sahabatku. Di rumah, aku mengembangkan

Obrolan yang Menyembuhkan

Aku mendapati bahwa di lingkungan keluarga, persekutuan, dan tempat kerja selalu ada kecenderungan yang satu ini. Itu adalah kesukaan orang-orang untuk mengobrol atau berbagi cerita. Cerita yang dibagikan bisa macam-macam. Ada yang menceritakan pergumulan pribadi, ada yang menceritakan kondisi bangsa dan negara, ada pula yang menceritakan tentang pergumulan orang lain. Tidak salah memang, karena manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial di samping sebagai makhluk pribadi. Sebagai makhluk sosial, maka kebutuhan dasarnya adalah membangun hubungan dengan orang lain. Dan salah satu cara terampuh untuk membangun hubungan itu adalah dengan mengobrol atau bebicara satu sama lain. Semakin dekat dan dalam hubungan, bahan obrolan pun bisa semakin banyak dan beragam. Hal-hal kecil pun dapat menjadi bahan obrolan yang menarik dan tidak berkesudahan.                 Obrolan itu dapat kukelompokkan menjadi dua. Yang pertama adalah obrolan yang mematikan. Mematikan di sini dapat berupa mematikan

Restorasi Karakter

Siang itu di ruang kopi pecah (coffee break) ladang TUHAN di Yogyakarta, aku dan sesama rekan sejawat mengikuti acara pendalaman Alkitab. Acaranya cukup seru dan menarik. Dipimpin oleh pak pendeta Christian Sutopo, kami semua berdiskusi dan saling berbagi cerita dan pergumulan seputar kehidupan pelayanan di dunia medis. Pada akhir acara, aku membagikan apa yang menjadi semacam visi atau harapanku untuk ladang TUHAN ini. Dengan antusias aku ceritakan bahwa kami para dokter muda alias junior ini telah membentuk diri sebagai satu tim yang kuat dan kompak. Kami menamakan diri kami sebagai “Medical Dragon Team”, mengambil nama dari sebuah judul komik Jepang. Masing-masing kami mempunyai julukan unik yang menggambarkan ciri khas kami masing-masing. Aku yang jarang kelihatan di area pelayanan klinis dinamakan “invisible dragon”. Yohan yang suka memberikan kata-kata bijaknya dinamakan “wise dragon”. Julukan-julukan yang lain adalah “brave dragon”, “smooth dragon”, powerful dragon”, “incredibl

Si Putri Kerajaan Surga

Asa atau harapan. Nama panggilan putri kami yang Tuhan anugerahakan dan percayakan ini sungguh penuh makna. Lengkapnya adalah Hadasa Mazeltov Puji Pangastuti. Asa diambil dari kata Hadasa. Hadasa aku ambil dari Alkitab, nama asli dari Ester, sang gadis Yahudi yang menjadi ratu Persia yang berjasa menyelamatkan bangsanya dari ancaman genosida pada masa pemerintahan raja Ahasyweros atau Xerxes. Mazeltov aku dapatkan dari usul seorang saudara sepupuku yang mengatakan bahwa artinya adalah ucapan selamat atas keberhasilan dalam bahasa Ibrani modern. Nama Puji adalah nama yang dipakai oleh keluarga besar dari pihak ibuku untuk memberi nama anak perempuan. Untuk anak laki-laki diberi nama Pudyo. Sedangkan Pangastuti aku ambil dari peribahasa Jawa “suradira jayaningrat lebur dening pangastuti” yang artinya sikap sombong dan mengagung-agungkan diri dikalahkan oleh sikap rendah hati dan manembah. Karena nama adalah doa, maka berarti nama putri kami adalah doa dan harapan kami bagi putri kami. B

Ibuku Pahlawanku

Ibu adalah orang terdekat yang mengenalkanku pada TUHAN dan kasih-Nya sejak aku masih kecil. Ibu jugalah yang membimbing, membombong, dan menstimulasiku sehingga aku menjadi seperti sekarang ini. Banyak hal yang ibuku lakukan yang mempengaruhiku baik aku sadar maupun tidak menyadarinya. Tulisan ini adalah sebagai penghargaan dan wujud cinta kasihku kepada ibuku, sang Kartini ladang anggur TUHAN di Yogyakarta.                 Lahir sebagai anak kelima dari delapan bersaudara, ibuku tumbuh sebagai seorang perempuan kuat yang sangat peduli kepada keluarganya. Beliau biasa dipanggil dengan nama kecilnya di tengah keluarga besar kami, yaitu sebagai bude, tante, eyang, dan ibu Titiek. Nama lengkapnya adalah Pudji Sri Rasmiati. Dengan gelar profesi kebanggannya, yaitu dokter, beliau lebih dikenal sebagai dr. Pudji di lingkungan kerja rumah sakit. Tapi bagiku, apa pun jabatan atau profesinya, ibuku tetaplah ibu yang luar biasa. Beliau tetap kupandang dan kuperlakukan sebagai ibu meskipun pr

Pak Harto, Sang Pemerhati yang Penuh Aksi

Penampilannya sederhana, tidak terlalu menyolok. Pekerjaan rutinnya pun tidak terbilang spektakuler, ‘hanya’ berkutat di depan komputer menekuni data-data rekam medis. Jika aku menjadi beliau, aku pasti sudah mati kebosanan. Dialah Pak Daniel Suharta. Kami akrab memanggilnya Pak Harto, seperti nama presiden kedua Indonesia itu. Setiap hari aku berjumpa dengan Pak Harto. Bukan suatu kebetulan jika aku ditempatkan di ruangan besar kantor rekam medis bersebelahan dengan Pak Harto. Setiap pagi, kami selalu bersalam komando ria dan menyapa dengan yel “jiwa korsa”, seolah-olah kami adalah anggota Kopasus sungguhan. Maklum, aku dan Pak Harto masih berkerabat dekat dengan abdi negara alias tentara di keluarga masing-masing. Adanya persinggungan dengan para jiwa korsa di keluarga itu membuat aku dan Pak Harto memiliki pula jiwa militan yang kuat dan tangguh. Hal itu tampak dari langgam bahasa percakapan kami sehari-hari. Tidak ada rasa mengasihani diri sendiri, pesimistik, negativistik, dan be

Kopi Pecah, Sang Saksi Bisu

Tempat itu luas dengan pencahayaan ruang yang cukup terang. Dikelilingi empat dinding dengan terdapat tiga pintu dan sederetan jendela. Di tengah-tengah terdapat meja persegi panjang yang disusun melingkar membentuk susunan seperti untuk konferensi. Kursi-kursi empuk dan nyaman tersusun mengelilingi susunan meja tersebut. Di ruangan inilah aku sering menghabiskan sebagian waktu luangku. Mulai dari sekedar ‘ngadhem’, berbincang-bincang alias ngobrol, sampai mendengarkan alias menguping perbincangan seru antara sesama rekan sejawat para dokter. Ruangan yang nama aslinya adalah Ruang Komite Medik ini lebih terkenal disebut sebagai ruang coffee break alias kopi pecah, demikian aku menyebutnya (coffee=kopi, break=pecah), karena di sinilah para dokter rumah sakit ladang TUHAN mengambil waktu mereka untuk beristirahat sejenak sambil minum kopi, makan camilan, nonton televisi, berselancar internet, dan bermain kibor.                 Aku mencatat ada tiga fungsi yang paling menonjol dari ru

dr Tedjo, Sang Guru Teladan

Suara yang membahana memenuhi ruangan tempat kami para dokter biasa berkumpul untuk istirahat dan ngobrol. Suara itu berasal dari seorang dokter senior bertubuh besar. Usia yang senior tidak membuatnya lambat berpikir atau berinteraksi. Sebaliknya, berbagai pengalaman hidup yang luar biasa selalu dibagikannya dengan murah meriah. Itulah dr. Tedjo. Beliau suka sekali berbincang-bincang dengan siapa pun, terutama sesama rekan dokter dan saudara seiman. Topik pembicaraannya bermacam-macam. Dari urusan klinis medis, politik, bahkan sampai klenik spiritual. Maklum, dulu beliau menggeluti mistik kejawen sebelum akhirnya hidup dalam Kristus. Semenjak hidup baru, beliau selalu rindu untuk berbagi cerita tentang Kristus dan Roh Kudus. Tidak jarang, beliau mengajak atau diajak diskusi (bahkan sampai debat yang selalu dimenangkan oleh dr. Tedjo) oleh rekan-rekan dokter yang berlainan iman kepercayaan.                 Di ruangan yang akrab disebut sebagai “coffe break” inilah aku sering menjump

Pak Ias, Rekan Penyemangat

Suasana ruangan di mana aku duduk bekerja sungguh menyenangkan. Ada canda tawa, ada guyon-guyon, ada ledek-meledek. Pendeknya, penuh sukacita! Tidak ada rasa bosan dalam kamus kami yang ada di sini. Setiap pekerjaan dilakukan dengan hati riang gembira. Aku yakin, TUHAN pun ikut bergembira pula bersama kami setiap hari. Di sudut ruangan, duduklah seorang pekerja yang dengan rajin terpekur menekuni data-data analisis di hadapannya. Angka-angka mati berubah menjadi data-data dan informasi yang hidup dalam pikirannya. Sesekali terdengar celoteh riang menghidupkan suasana. Itulah Pak Ias, begitu kami memanggilnya. Setiap hari aku selalu mendapati beliau bekerja dengan semangat dan menyemangati orang lain. Menyenangkan sekali!                 Pak Ias adalah orang yang ramah, terbuka, dan humoris. Setiap hal selalu diperhatikannya dengan seksama, sekecil apa pun itu kelihatannya. Terlihat dari setiap omonganku mulai dari yang berat-berat sampai yang remeh-temeh. Bisa dikatakan, Pak Ias ada

TPA, Tempat Persiapan Agung

Apa yang terlintas dalam pikiran kita apabila muncul kata TPA? Dalam konteks pengasuhan, TPA jamak dikenal sebagai Tempat Penitipan Anak. Tempat ini berguna untuk menitipkan anak-anak yang masih terbilang terlalu kecil untuk ditinggal maupun disekolahkan sementara kedua orang tuanya bekerja. Kondisi zaman yang semakin menuntut peran kedua gender dalam bekerja di luar rumah membuat jasa pengasuhan anak menjadi semakin laris manis. Selain dengan tenaga pengasuh domestik ( baby sitter ), jasa TPA menjadi salah satu pilihan strategis. Bagi saya dan suami, jasa TPA inilah yang kami pilih karena alasan kepraktisan dan pendidikan. Praktis karena kami juga mempunyai seorang pekerja rumah tangga (PRT) yang tidak bisa disambi pekerjaannya sambil momong anak. Mendidik karena pada umumnya anak-anak yang dititipkan di TPA lebih mandiri dan lebih biasa bersosialisasi dengan sesamanya.                 Bagi saya pribadi, TPA bukan hanya sekedar tempat menitipkan anak. TPA bisa juga berarti “tempat