Postingan

Menampilkan postingan dari Agustus, 2014

Merinding Saat Main Piano

Dengan dipenuhi semangat kasih, pada hari Minggu tanggal 11 Mei 2014, aku mengiringi jemaat Brayat Kinasih memuji TUHAN di kebaktian bahasa Jawa. Sudah kesekian kalinya aku mengiringi pujian jemaat di sana. Brayat Kinasih adalah keluarga besar rohani yang kupilih bersama Mas Cah sejak akhir tahun lalu (2013). Tidak salah kami memilih jemaat ini sebagai tempat kami berakar, bertumbuh, dan berbuah menjadi berkat. Kembali ke topik mengiringi pujian. Aku sedang belajar mengembangkan sikap yang benar saat bertugas melayani TUHAN. Aku belajar untuk tidak bergantung pada rasa merinding yang kerap terjadi saat aku main piano/kibor. Rasa merinding itu aku asosiasikan dengan urapan TUHAN yang mengalir menjamah setiap hati jemaat yang memuji-Nya. Namun, rasa merinding itu terjadi di luar diriku. Bisa saja aku tidak ikut terjamah oleh-Nya meskipun semua jemaat mungkin telah merasakan hadirat-Nya. Aku tidak mau begitu. Jauh lebih indah jika aku pun terhanyut dalam aliran kasih TUHAN meskipun ada ra

Perenungan tentang Hari Buruh

Pada hari Kamis tanggal 1 Mei 2014, bertepatan dengan Hari Buruh sedunia, aku menuliskan sedikit perenungan ini. Atmosfer kegeraman dan kemarahan begitu terasa hari itu. Ya, hari itu adalah hari buruh internasional. Kegeraman akan ketidakadilan ekonomi, kemarahan atas kesewenang-wenangan nasib, semua membundet dalam lingkaran sebab akibat yang begitu sulit diurai. Belum lagi ditambah dengan mental dan budaya korupsi bangsa ini yang sudah mengurat akar di semua lini kehidupan. Lengkap sudah daftar dosa yang dikeluhkan oleh bangsa ini. Kemarahan ini tidak kudus menurutku. Kemarahan ini dipicu oleh iri, dendam, dan mengasihani diri sendiri. Iri akan mereka yang linuwih dan terberkati, dendam oleh karena perlakuan orang lain yang menyakiti hati, dan mengasihani diri sendiri karena lupa akan siapa dirinya di dalam TUHAN. Mungkin penyebabnya multifaktorial dan tidak bisa digebyah uyah begitu saja. Tapi menurutku, reaksi para buruh yang mengumbar kemarahan itu juga dilandasi oleh motif

Sikapku: Menjawab Pertanyaan 'Sejauh Mana'

Pada hari Rabu tanggal 23 April 2014, aku mengobrol lagi dengan Pak Ias. Obrolan itu sungguh sarat makna dan perenungan. Kata kuncinya adalah 'sejauh mana'. Sejauh manakah kita harus berdoa ngotot mempertahankan hidup seseorang yang sakit parah dan lanjut usia? Sejauh manakah kita bersikap profesional sekaligus personal dalam melakukan tugas dan tanggung jawab di tempat kerja? Atas kedua pertanyaan tersebut, jawabannya tidak bisa digebyah uyah alias digeneralisasi. Tiap kasus punya keunikannya sendiri-sendiri. Beda kasus beda masalah. Beda masalah beda jawaban. Yang diperlukan di sini adalah sikap mau belajar dan terbuka atas apa pun jawaban TUHAN. Itulah hikmat yang sejati. Misalnya, sampai sejauh manakah kita berdoa ngotot untuk kesembuhan seseorang yang sakit terminal sekaligus lanjut usia? Apakah ngotot itu timbul dari sikap mengasihi (TUHAN dan sesama) atau hanya untuk unjuk/pamer iman? Ah, siapakah yang berhak menilai dan menghakimi sikap, motivasi, dan iman seseorang?

Harta Berharga: Pengharapan

Pada hari Sabtu tanggal 19 April 2014, aku bercakap-cakap dengan rekanku yang bernama Pak Ias. Kami bercakap-cakap perihal kesusahan-kesusahan di dunia, perihal kerusakan lingkungan, kebobrokan manusia dan masyarakat, perihal Indonesia. Banyak hal yang memprihatinkan dan membuat susah hati dan pikiran. Dalam mendengarkan, aku memahami dan turut merasakan keprihatinan yang mendalam. Dalam diam, aku bertanya-tanya dan mencari jawaban yang tepat untuk pertanyaan-pertanyaan itu. Aku tahu jawabannya ada di dalam TUHAN dan diperlukan hikmat serta wahyu untuk menyampaikannya secara tepat. Di dalamku ada iman dan pengharapan yang tidak berkesudahan akan penyelamatan TUHAN atas dunia ini. Dibutuhkan kasih yang besar untuk bisa mengkomunikasikan apa yang kupercayai dan kuharapkan itu supaya jawaban yang kuberikan tidak hambar. Aku pun membaca kitab Wahyu. Setidaknya, aku mendapat penghiburan akan apa yang bakal terjadi dari sudut pandang surga. Sebuah skenario ilahi yang jauh lebih spektakuler