Postingan

Menampilkan postingan dari April, 2013

Suamiku Sahabatku

                Orangnya lucu, humoris, penuh canda tawa. Setiap ucapan dan gerak-geriknya acap kali mengundang tawa geli meskipun ia tidak pernah bermaksud melucu. Dialah Mas Cah, sang suami, pasangan hidupku yang dianugerahkan TUHAN kepadaku. Nama lengkapnya Cahyono Satriyo Wibawa. Nama panggilannya ada macam-macam, tergantung siapa yang memanggil. Di lingkungan keluarganya, dia biasa dipanggil dengan nama Bowo. Di lingkungan pekerjaannya, dia sering dipanggil sebagai Caca. Beberapa temannya memanggilnya dengan sebutan Mas Cah. Bahkan, salah seorang teman di dunia maya memberinya julukan baru “Ayok”. Ibuku malah memanggilnya dengan julukan “Cahaya”. Aku sendiri sering berubah-ubah memanggilnya. Kadang-kadang aku memanggilnya “Mas Cah” seperti beberapa temannya biasa memanggil. Tapi sering sekali aku memanggilnya dengan sebutan “popo”, pelesetan dari kata “papa”. Jika Krisdayanti dulu memanggil mantan suaminya, Anang, dengan sebutan “pipi” maka aku pun tidak mau kalah memanggil su

Didengarkan dan Dimengerti sebagai Wujud Terapi

Dari pengalamanku selama ini mengontrolkan diri setiap bulan untuk kondisi kejiwaanku, aku mendapati bahwa aku sangat senang jika diperlakukan sebagai manusia seutuhnya oleh sang terapis (psikiater), dan bukan hanya sebagai diagnosa berjalan. Selama ini sudah terhitung tiga orang psikiater yang menanganiku. Psikiater pertama adalah teman kuliah bapakku. Beliau adalah tokoh terkenal yang sering menulis di koran. Tulisannya bagus-bagus. Sayangnya, aku kurang bisa mempercayai beliau karena beliau pun tidak bisa mempercayaiku. Setiap kali memeriksakan diri, aku mendapati bahwa beliau tidak pernah mempercayai setiap ucapanku, meskipun mungkin memang banyak ucapanku yang tidak relevan. Beliau hanya berkutat pada diagnosa dan terapi tanpa pernah mengajakku berbicara secara personal sebagai manusia seutuhnya. Walhasil, aku bersikap defensif terhadap setiap langkah terapetisnya. Aku malas minum obat-obat resepannya yang sebagian besar hanya membuatku mengantuk dan tidak bisa melakukan aktivitas

Bersyukur Atas Stigma

Mungkin ini saatnya aku kembali bercerita tentang hidupku, yang jarang sekali kuungkapkan, kecuali kepada orang-orang yang sungguh-sungguh kupercaya. Ini tentang kondisi kejiwaan yang ada padaku sejak usia remaja. Mungkin juga sudah ada yang tahu dan maklum akan keadaan yang aku alami. Tapi izinkan di sini aku untuk menceritakan kembali dengan bahasaku yang semoga dapat mudah dimengerti. Baiklah, kita mulai saja ya. Aku menerima bahwa diriku didiagnosa gangguan manik bipolar. Sejak kapan tepatnya aku tidak begitu ingat. Tapi aku hanya ingin menekankan bahwa aku bersyukur dengan keadaan yang menurut pandangan umum dianggap sebagai stigma ini. Ya, stigma. Stigma sebagai orang yang 'gila', tidak waras, tidak normal, tidak umum. Aku menerima dengan rasa syukur segala macam stigma itu. Malah, aku cukup bangga dengan dianggap sebagai orang yang tidak umum, karena itu berarti aku bukanlah orang pasaran. Itu berarti ada nilai keunikan dan kehususan yang ada padaku, yang tidak dimilik

Bapakku yang Baik

                Bapak, atau ‘pak’, demikian aku memanggil ayahku. Bapak adalah seorang ayah yang menjalankan fungsinya dengan luar biasa baik. Beliau selalu berusaha menjadi suami dan ayah yang baik dengan perbuatan yang nyata. Kata-kata verbalnya memang irit dan cenderung minimal. Tapi itulah bapakku. Jika sudah asyik bekerja, lupalah beliau akan keharusan untuk berkata-kata atau bercakap-cakap. Pekerjaan sehari-harinya adalah membersihkan dan merapikan rumah dengan segala isinya. Setelah rumah beres dan bersih, barulah beliau berangkat ke kantor atau tempat kerjanya di rumah sakit ladang TUHAN di Yogyakarta. Kebiasaan uniknya ini kadang membuat ibuku gemas dan kesal karena adanya perbedaan prinsip dan pendirian. Maklum, ibuku lebih suka datang pagi-pagi tepat waktu sedangkan bapakku lebih suka datang santai tanpa mengikuti aturan jam kantor.                 Nama panggilan bapak di rumah maupun di kantor adalah sama, yaitu Erry. Lengkapnya Erry Guthomo. Beliau berprofesi resmi seb

Murakabi Selayang Pandang

Setiap Rabu sore sampai malam, aku dan Mas Cah biasanya menghadiri acara persekutuan doa dan pendalaman Alkitab kalangan keluarga berjiwa muda di lingkungan GKJ Gondokusuman Yogyakarta. Persekutuan ini akrab disebut sebagai persekutuan keluarga Murakabi, disingkat PKM. Pada awal pembentukannya, PKM ini merupakan singkatan dari Persekutuan Keluarga Muda karena awalnya dibentuk sebagai wadah bersekutu keluarga-keluarga anggota jemaat GKJ Gondokusuman yang masih terbilang muda usia perkawinannya. Seiring berjalannya waktu, ternyata bukan hanya keluarga muda saja yang menjadi anggota aktifnya, melainkan juga para ibu-ibu yang sudah janda ataupun lama usia perkawinannya. Dengan hikmat dan kearifan yang ada, maka dipakailah nama “murakabi” sebagai pengganti kata “muda”.                 Murakabi sendiri kurang lebih berarti menjangkau sampai luas, bukan hanya berguna bagi lingkungan keluarga atau kelompok sendiri. Dengan filosofi yang indah itulah persekutuan ini bertumbuh. Anggota yang d

Ibuku Pahlawanku

Ibu adalah orang terdekat yang mengenalkanku pada TUHAN dan kasih-Nya sejak aku masih kecil. Ibu jugalah yang membimbing, membombong, dan menstimulasiku sehingga aku menjadi seperti sekarang ini. Banyak hal yang ibuku lakukan yang mempengaruhiku baik aku sadar maupun tidak menyadarinya. Tulisan ini adalah sebagai penghargaan dan wujud cinta kasihku kepada ibuku, sang Kartini ladang anggur TUHAN di Yogyakarta.                 Lahir sebagai anak kelima dari delapan bersaudara, ibuku tumbuh sebagai seorang perempuan kuat yang sangat peduli kepada keluarganya. Beliau biasa dipanggil dengan nama kecilnya di tengah keluarga besar kami, yaitu sebagai bude, tante, eyang, dan ibu Titiek. Nama lengkapnya adalah Pudji Sri Rasmiati. Dengan gelar profesi kebanggannya, yaitu dokter, beliau lebih dikenal sebagai dr. Pudji di lingkungan kerja rumah sakit. Tapi bagiku, apa pun jabatan atau profesinya, ibuku tetaplah ibu yang luar biasa. Beliau tetap kupandang dan kuperlakukan sebagai ibu meskipun p

Pak Harto, Sang Pemerhati yang Penuh Aksi

Penampilannya sederhana, tidak terlalu menyolok. Pekerjaan rutinnya pun tidak terbilang spektakuler, ‘hanya’ berkutat di depan komputer menekuni data-data rekam medis. Jika aku menjadi beliau, aku pasti sudah mati kebosanan. Dialah Pak Daniel Suharta. Kami akrab memanggilnya Pak Harto, seperti nama presiden kedua Indonesia itu. Setiap hari aku berjumpa dengan Pak Harto. Bukan suatu kebetulan jika aku ditempatkan di ruangan besar kantor rekam medis bersebelahan dengan Pak Harto. Setiap pagi, kami selalu bersalam komando ria dan menyapa dengan yel “jiwa korsa”, seolah-olah kami adalah anggota Kopasus sungguhan. Maklum, aku dan Pak Harto masih berkerabat dekat dengan abdi negara alias tentara di keluarga masing-masing. Adanya persinggungan dengan para jiwa korsa di keluarga itu membuat aku dan Pak Harto memiliki pula jiwa militan yang kuat dan tangguh. Hal itu tampak dari langgam bahasa percakapan kami sehari-hari. Tidak ada rasa mengasihani diri sendiri, pesimistik, negativistik, dan b

Terima Kasih, Bu Sari

            Kami memanggilnya Bu Sari. Seorang perempuan ramah yang setia menyapa kami, para pekerja rumah sakit ini, dengan berbagai macam makanan dagangannya. Setiap jam delapan sampai sembilan pagi, Bu Sari selalu datang menyambangi kami di kulon desa , tempat favorit kami untuk makan-makan, begitu kami menyebutnya. Di kulon desa itulah keakraban yang murni dan alami terjadi manakala kami menyantap makanan dagangan Bu Sari. Ada nasi kucing (nasi dengan lauk teri atau tempe ditambah sedikit sambal khas angkringan Jogja), nasi gudangan (nasi dengan lauk sayur bayam, taoge, dengan disertai parutan kelapa), nasi pecel, dan yang terbaru adalah nasi jinggo. Minumannya pun beraneka macam ragamnya. Ada jus jambu, jus alpokat, susu kedelai, dan kadang teh hangat. Belum cukup itu, masih ditambah lagi gorengan tempe dan kletik-kletik­ khas desa seperti lanting, kacang polong goreng, ketela berbentuk kubus kecil-kecil yang digoreng, dsb. Suasana sangat meriah ditimpali senda gurau para kar