Suamiku Sahabatku



                Orangnya lucu, humoris, penuh canda tawa. Setiap ucapan dan gerak-geriknya acap kali mengundang tawa geli meskipun ia tidak pernah bermaksud melucu. Dialah Mas Cah, sang suami, pasangan hidupku yang dianugerahkan TUHAN kepadaku. Nama lengkapnya Cahyono Satriyo Wibawa. Nama panggilannya ada macam-macam, tergantung siapa yang memanggil. Di lingkungan keluarganya, dia biasa dipanggil dengan nama Bowo. Di lingkungan pekerjaannya, dia sering dipanggil sebagai Caca. Beberapa temannya memanggilnya dengan sebutan Mas Cah. Bahkan, salah seorang teman di dunia maya memberinya julukan baru “Ayok”. Ibuku malah memanggilnya dengan julukan “Cahaya”. Aku sendiri sering berubah-ubah memanggilnya. Kadang-kadang aku memanggilnya “Mas Cah” seperti beberapa temannya biasa memanggil. Tapi sering sekali aku memanggilnya dengan sebutan “popo”, pelesetan dari kata “papa”. Jika Krisdayanti dulu memanggil mantan suaminya, Anang, dengan sebutan “pipi” maka aku pun tidak mau kalah memanggil suamiku sendiri dengan sebutan “popo”. Namanya juga panggilan sayang. Harus unik dan beda.
                Cerita perkenalanku dengan Mas Cah terbilang lucu dan unik. Kami berkenalan melalui situs jejaring sosial Facebook. Sebelumnya, kami sama sekali belum pernah kenal. Ceritanya begini. Alkisah, seorang temanku sedang siaran acara bincang kesehatan di sebuah stasiun radio swasta Yogyakarta. Mas Cah waktu itu masih karyawan tetap di sana, bagian teknisi elektroniknya. Obrol punya obrol, Mas Cah berkenalan dengan temanku dan saling bertukar facebook. Mas Cah meng-“add” temanku itu dan pertemanan di jejaring sosial pun dimulai. Karena temanku jarang “online”, maka bosanlan Mas Cah. Maka, Mas Cah pun mencari tahu siapa saja teman-teman dari temanku itu. Ketika sampai kepada namaku, maka tertariklah Mas Cah dengan keindahan namaku, yaitu Yohana. Iseng-iseng, Mas Cah pun mengajakku berteman di facebook. Gayung bersambut. Aku yang memang hobi berselancar di jejaring pertemanan itu, dan mumpung lagi libur setelah selesai koas, menjadi teman “chatting” Mas Cah. Setiap hari selalu kuganggu dia dengan sapaan isengku yang berujung obrolan super lucu. Lama kelamaan, tumbuhlah perasaan sayang di antara kami. Singkat cerita, kami pun kopi darat, sering ketemu, dan menikah setelah mendapat restu dari orang tua kami masing-masing.
                Setelah menikah, persahabatan di antara kami tetaplah terjalin dengan indah dan manis sekali. Mas Cah selalu mengisi hari-hari kami dengan penuh sukacita meskipun kadang-kadang juga ada rasa gemas dan kesal melihat sikapku yang sering kurang dewasa. Tidak jarang Mas Cah menegurku dengan tegas tapi tetap lembut jikalau aku sedang kumat malasnya. Mas Cah yang sudah lulus camp Pria Sejati itu benar-benar mempraktekkan ilmu yang sudah didapatkannya dalam kehidupan keluarga kami. Memang Mas Cah tidak banyak bicara yang muluk-muluk atau pandai mengartikulasikan pengetahuan rohaninya. Tapi sikap hidupnya menyatakan dengan gamblang bagaimana spiritualitasnya yang telah matang dan teruji itu. Menurut pengamantanku, Mas Cah adalah orang yang mengenal TUHAN dengan baik dan sangat mengasihi-Nya, yang semuanya itu terintegrasi dalam sikap hidupnya sehari-hari. Yang paling kusukai dari Mas Cah adalah kesediaannya untuk banyak mendengarkan orang lain, termasuk mendengarkan semua keluh kesahku.
                Pekerjaan kami memang berbeda. Aku berprofesi sebagai dokter sedangkan Mas Cah berprofesi sebagai teknisi elektronik. Tapi ada satu hal yang menyatukan kami dan membuat kami cocok sejak dari pertama kali berkenalan. Hal itu adalah kegemaran kami akan musik-musik rohani yang berkualitas. Aku yang lumayan melek musik dan bisa sedikit memainkan piano dan segala sesuatu yang berbentuk kibor ini sangat terbantu oleh kepekaan Mas Cah akan musik yang bagus dan enak didengar itu. Referensi Mas Cah dan referensiku akan musik saling melengkapi satu sama lain. Sehingga, bahasa kedokteran dan kelistrikan yang lumayan jauh berbeda itu dapat disatukan dengan bahasa musik yang universal. Aku sungguh bersyukur untuk hal ini.
                Satu hal lagi yang membuatku amat terberkati dengan menjadi pasangan hidup Mas Cah yaitu adalah kebiasaan berdoa bersama. Aku sangat senang mengajak Mas Cah untuk berdoa bersama atau merenungkan firman TUHAN bersama. Aku sering meminta Mas Cah untuk memimpin doa, baik itu doa makan, doa pagi, doa malam, maupun doa persiapan pergi kerja. Bahasa yang digunakan Mas Cah sewaktu berdoa begitu sederhana. Tapi, justru dalam kesederhanaan bahasa itulah aku merasakan ketulusan yang tidak dibuat-buat oleh Mas Cah manakala menghadap TUHAN. Memang sudah menjadi kebiasaanku untuk menilai hubungan seseorag dengan TUHAN dari bahasa doanya. Ada orang yang begitu formal jika menghadap TUHAN, ada yang santai namun mesra, ada pula yang sederhana tapi tetap sopan. Dan dari semuanya itu, aku bersyukur memilih Mas Cah yang sederhana dalam hubungannya dengan TUHAN sebagai pasangan hidupku.
                Sampai sejauh ini, aku belajar untuk senantiasa mengekspresikan rasa cinta, hormat, dan sayangku kepada Mas Cah dengan cara-cara yang unik dan kreatif. Kadang kala aku menuliskan surat untuknya, kadang pula aku mengiriminya gambar hati. Lebih sering aku mendoakannya atau berdoa bersama Mas Cah. Yang lebih penting, bahasa kasihku terutama berupa sikap hormatku sebagai istri terhadap suaminya sebagai gambaran dari mempelai perempuan Kristus terhadap mempelai Prianya, yaitu Kristus sebagai kepala jemaat. Aku belajar untuk menjaga kekudusan hati dan pikiranku tetap setia dan mengasihi Mas Cah dengan setulus hati, sama seperti jemaat yang terus menjaga kekudusannya dalam menantikan kedatangan Sang Mempelai Agung, Yesus Kristus, yang kedua kalinya. Itulah yang kupelajari selama aku mengenal dan hidup bersama Mas Cah. Haleluya!

(Rumah Cahaya, Senin 29 April 2013)
                

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kasta

Doa bagi Kota Tercinta

Yehova Zebaoth, TUHAN semesta alam.