Metanoia


Ternyata aku masih melakukan metawork hari ini. Apa itu metawork? Dari bacaan spirit motivator dua hari yang lalu, metawork diartikan sebagai seolah-olah melakukan suatu pekerjaan padahal sebenarnya hanya pekerjaan semu. Dengan kata lain, metawork adalah nampaknya saja sedang bekerja tapi sebenarnya tidak menghasilkan apa-apa. Tampaknya aku sedang sibuk berpikir dan menulis-nulis sesuatu, padahal sebenarnya apa yang kupikirkan dan kutuliskan itu tidak relevan dengan kehidupanku. Benarkah demikian? Tidak juga. Dalam berpikir itu, aku sedang berproses mencari dan belajar. Aku sedang mencari tahu kembali apa yang menjadi passion hidupku. Berarti selama ini aku ngapain aja? Terlalu sibuk dengan apa? Aku terlalu sibuk dengan hal-hal yang sekunder dan tersier mungkin. Aku terlalu asyik berlari ke sana ke mari tanpa mau berhenti untuk menekuni apa yang menjadi tugas dan tanggung jawabku. Aku mungkin belum kena batunya lagi. Tapi apakah harus menunggu sampai kena batunya dulu baru aku sadar diri? Jawaban klisenya adalah TIDAK. Dari jawaban sangat klise itulah aku harus mencetaknya sehingga menjadi gambar warna-warni sejati yang indah.

Baiklah, aku cukupkan sekian untuk metaparagraf di atas. Sekarang aku harus masuk ke pokok masalah yang sebenarnya. Apa yang sebenarnya hendak kutulis di sini? Sekedar ingin membuktikan diri bahwa aku bisa menulis? Untuk mendapat pengakuan bahwa tulisanku bagus? Jawaban klise berikutnya adalah TIDAK. Mengapa aku suka menulis? Aku suka menulis karena dengan menulis itu aku bisa mendapat kelegaan. Sewagu maupun sebagus apapun tulisanku, aku tidak terlalu ambil pusing. Bagiku, merangkaikan kedua puluh enam alfabet adalah seperti permainan yang mengasyikkan. Melihat mereka tesusun berderet-deret menjadi larik-larik yang rapi dan terbaca itu membuatku terhibur. Rasanya seperti minum obat penenang jiwa. Bisa dikatakan, menulis adalah semacam katarsis bagi jiwa yang kalut oleh kerumitan filosifos eksistensialisme diri. Dan kesenangan itu hampir saja terdistorsi akibat penghargaan-penghargaan kecil yang membuatku hampir lupa diri. Aku hampir lupa bahwa menulis adalah kesenangan tanpa perlu diembel-embeli hadiah ataupun trofi. Menulis adalah kesukaan tanpa harus dikotori oleh keinginan menjadi juara atau yang terbaik. Menulis akan kehilangan keasyikannya jika aku tejebak dalam jerat kompetisi yang tiada akhirnya. Hal ini sebangun dengan kesenangan belajar yang terdistorsi oleh keharusan mencapai prestasi akademik yang gemilang. Aku pernah terjebak di dalam arus zaman itu, dan hampir saja aku terjebak kembali dalam jerat yang sama.

Tuhan layak menerima ucapan syukurku karena telah menegur dan mengingatkanku dengan cara yang lembut tapi tetap terasa sakit. Ya, namanya juga pemangkasan. Cabang kesombongan dan lupa diri yang baru mulai tumbuh itu dipangkas-Nya tanpa tedeng aling-aling. Sakit memang, dan biar sakit, supaya aku tidak terjatuh dalam belitan kesombongan lagi. Memang pada waktu dipangkas, rasanya sakit dan perih, tapi setelah beberapa waktu luka itu menyembuh. Cabang kesombongan diganti dengan tunas kerendahan hati yang sedang bertumbuh dengan manisnya. Disirami dengan air kehidupan yang murni dan sejuk segar, menjadikannya bertumbuh dengan optimal. Hatiku jadi bisa belajar dengan sebagaimana mestinya kembali. Hal-hal kecil dan sederhana menjadi bahan pelajaran yang memberkatiku dengan hikmat dan pengetahuan tiada terkira. Tuhan patut kuberi ucapan terima kasih seribu atas tindakan-Nya yang tepat dan cepat itu. Dan akhirnya, Tuhan layak menerima segala kemuliaan dan hormat dari lubuk hatiku yang paling dalam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kasta

Doa bagi Kota Tercinta

Yehova Zebaoth, TUHAN semesta alam.