Perenungan tentang Hari Buruh

Pada hari Kamis tanggal 1 Mei 2014, bertepatan dengan Hari Buruh sedunia, aku menuliskan sedikit perenungan ini.

Atmosfer kegeraman dan kemarahan begitu terasa hari itu. Ya, hari itu adalah hari buruh internasional. Kegeraman akan ketidakadilan ekonomi, kemarahan atas kesewenang-wenangan nasib, semua membundet dalam lingkaran sebab akibat yang begitu sulit diurai. Belum lagi ditambah dengan mental dan budaya korupsi bangsa ini yang sudah mengurat akar di semua lini kehidupan. Lengkap sudah daftar dosa yang dikeluhkan oleh bangsa ini.

Kemarahan ini tidak kudus menurutku. Kemarahan ini dipicu oleh iri, dendam, dan mengasihani diri sendiri. Iri akan mereka yang linuwih dan terberkati, dendam oleh karena perlakuan orang lain yang menyakiti hati, dan mengasihani diri sendiri karena lupa akan siapa dirinya di dalam TUHAN.

Mungkin penyebabnya multifaktorial dan tidak bisa digebyah uyah begitu saja. Tapi menurutku, reaksi para buruh yang mengumbar kemarahan itu juga dilandasi oleh motif yang kurang murni. Kekuatiran, putus harapan, dan cinta uang mungkin adalah akar dari apa yang nampak di permukaan. Mereka kuatir akan makana, pakaian, dan hari esok. Mereka putus harapan karena menempatkan iman pada manusia dan hal-hal yang fana. Mereka cinta uang karena tertipu oleh janji kebahagiaan yang ditawarkan Dewa Mamon dan materialismenya.

Jika aku menjadi kaum buruh marginal, aku tidak akan menggadaikan jiwaku kepada kekuatan massal yang meniadakan originalitas. Sebisa mungkin aku akan berpikir untuk diriku sendiri dan tidak begitu saja termakan propaganda. Jika masalahnya adalah ketiadaan akses, maka menjadi tanggung jawabkulah untuk membuka wawasan dan memperluas cakrawala. Aku akan memilih untuk mengembangkan kreativitas dan meningkatkan kompetensi ketimbang menuntut orang lain untuk berbaik hati dan berbelas kasihan padaku. Aku akan menjauhkan diri dari semangat kolektif yang salah arah dan salah kaprah.

Tapi aku bukan kaum marginal. Dan aku belum bisa mengidentifikasikan diriku dengan mereka. Mungkin aku masuk dalam kriteria buruh juga karena aku bukan pemilik tempat usaha. Tapi, aku lebih memaknai diriku sebagai seorang pekerja yang puas. Aku bekerja dengan puas karena cukup dan bersyukur atas apa yang kuterima. Bagiku, bekerja bukanlah perbudakan terselubung melainkan ajang bermain dan belajar. Menurutku, itu jauh lebih baik dan memotivasi, lebih dari sekedar mencari uang ataupun mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari.

Meskipun aku bukan pengusaha atau bos, aku merasa kesal juga terhadap sesama pekerja yang hobi banget bersungut-sungut tidak pernah puas itu. Aku perlu menjaga hati dan pikiranku supaya tidak terus-menerus kesal karenanya. Lalu apa yang bisa kulakukan? Aku akan bertekad hati, berjiwa teguh, melakukan tugas dan tanggung jawabku seperti untuk TUHAN dan bukan untuk manusia. Tidak peduli ada yang melihat atau tidak, aku akan lakukan bagianku dengan setia. Urusan mereka mau protes-protes terus, itu terserah saja. Aku tidak mau ikut-ikutan. Inilah jalan yang kupilih.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kasta

Doa bagi Kota Tercinta

Yehova Zebaoth, TUHAN semesta alam.