Salaman Damai

Sore menjelang malam, aku sedang berada di kamar bersama Asa. Asa sedang bermain loncat-loncatan di kasur. Sebelumnya, kami bertiga—Pak Cahyono, aku, dan Asa—melakukan mezbah keluarga yang ditingkahpolahi Asa. Maklum, minta perhatian. Mezbah sukses, Asa dinasihati untuk sopan. Kemudian, aku disibukkan dengan menjawab pesan dari WA yang kupikir penting (urusan kantor). Waktu itu antara jam 18.00-21.00. Karena konsentrasi pada WA, aku jadi agak emosi ketika Asa meloncat-loncat di kasur hingga menginjak kakiku dan memukul-mukul tanganku. Aku tahu dia butuh perhatian.

                Aku singkirkan poselku, dan kuajak Asa bicara. Aku katakan kepadanya tentang golden rule atau kaidah kencana yaitu “jika tidak ingin disakiti, jangan menyakiti”. Asa sepertinya sangat marah terhadapku. Masih saja Asa memukuliku dan kukatakan bahwa itu tidak baik. Singkat cerita, aku mengajak damai dengan cara bersalaman tangan kanan. Asa bersikukuh tidak mau bersalaman, namun ia minta aku terus menemaninya di kamar. Aku rasa Asa tahu bahwa dia salah namun gengsi untuk bersalaman. Aku pun salah karena sebelumnya main HP di kamar pada jam 18.00-21.00.

                Lama sekali aku berusaha mengajak Asa untuk bersalaman damai. Setelah berkali-kali usaha, akhirnya Asa mau bersamalan sambil berkata “Damai!”. Duh, manisnya ^^

                Dari pengalaman sederhana tersebut, aku mendapat gambaran tentang damai dengan Tuhan. Begini gambarannya. Kita pernah dan mungkin sering salah terhadap Tuhan. Waktu Tuhan menawarkan solusi damai-Nya, kita terlalu gengsi untuk menerima-Nya. Namun kita tahu kita sangat membutuhkan Tuhan. Gambarannya seperti Asa yang ingin terus ditemani mama Mimi namun enggan bersalaman damai. Tuhan pun tidak tinggal diam. Dia tidak mau sekedar menjadi baby sitter tanpa persekutuan yang akrab dengan kita. Tawaran damai-Nya selalu terulur bagi kita kapan saja. Tinggal kitanya yang mau merendahkan hati atau tidak untuk “bersalaman damai” dengan Tuhan. Dan, saat salaman damai itu terjadi, betapa leganya hati kita. Sama seperti yang Asa dan aku alami di atas.

                Lucu sekali sewaktu melihat Asa berusaha membuatku tertawa saat sebelum salaman damai. Gambaran itu seperti usaha kita yang seolah menyuap Tuhan untuk menerima kita tanpa mau melalui proses salaman damai yang Tuhan tawarkan. O iya. Salaman damai itu adalah proses mengakui kesalahan dan memaafkan yang salah, atau pengampunan. Dan proses itu selalu ditawarkan oleh pihak Tuhan melalui karya-Nya dalam diri Tuhan kita Yesus Kristus, yang telah menderita di salib, mati, dan dibangkitkan pada hari yang ketiga sesuai dengan kitab suci. Pertanyaannya, maukah kita menerima-Nya?


                Salam Damai!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kasta

Doa bagi Kota Tercinta

Yehova Zebaoth, TUHAN semesta alam.