Tentang Toleransi

Apa sih toleransi itu? Aku ingat pernah diajari di sekolah dulu bahwa toleransi berarti tetap tenang membiarkan orang lain melakukan urusannya sendiri meskipun urusannya itu tidak sesuai dengan apa yang kutahu, kupercaya, dan kuhidupi. Kurang lebihnya begitu. Dalam hal beragama di tengah masyarakat, toleransi berarti tetap tenang membiarkan orang lain melakukan urusan agamanya masing-masing. Bisa juga dikatakan sebagai sikap mengizinkan dengan lapang dada orang lain untuk melakukan kewajiban agamanya meskipun tidak sesuai dengan apa yang kita yakini.

Untuk tujuan menjada kerukunan dan ketenangan serta kenyamanan lingkungan, maka sikap toleransi tersebut mutlak dikembangkan. Apalagi dalam masyarakat yang majemuk dan plural seperti di Indonesia ini. Untuk jangka pendek dan menengah, mungkin toleransi memang dibutuhkan. Maksud jangka pendek dan menengah di sini adalah jangka waktu hidup di dunia yang fana. Tapi bagaimana dengan jangka panjang yang berdimensi kekekalan? Ingat bahwa hidup kita ini bukan hanya di dunia ini saja melainkan juga di akhirat atau "afterworld".

Kalau dipandang dari perspektif kekekalan, sepertinya toleransi lebih merupakan sikap "pengabaian". Toleransi yang menjunjung tinggi keharmonisan hidup manusia di muka bumi ini sepertinya mengabaikan sisi kebenaran mutlak, yaitu kebenaran yang tidak bisa dikompromikan. Maksudnya, kita begitu peduli menjaga keamanan dan kenyamanan lingkungan kita saat ini tetapi mengabaikan tugas utama kita untuk mewartakan kebenaran. Kebenaran yang seperti apa? Kebenaran yang bagaimana?

Hanya ada satu kebenaran yang sejati, itu logikanya. Meskipun masing-masing pihak memiliki "kebenaran" dalam versinya sendiri-sendiri, tetap hanya ada satu kebenaran, suka atau tidak suka, setuju atau tidak setuju. Kebenaran yang satu dan sejati ini tidak dapat dikompromikan apalagi tunduk dengan hukum-hukum dunia karena kebenaran ini tidak berasal dari dunia.

Toleransi yang digembar-gemborkan dan diagungkan itu seolah memaksa kebenaran yang sejati untuk mengatakan bahwa dirinya adalah pendusta. Mengapa demikian? Karena toleransi seolah memaksa kebenaran yang sejati berbagi kemuliaan dengan "kebenaran-kebenaran" versi masing-masing pihak.

Dalam kadar tertentu, memang toleransi itu bermanfaat. Tapi toleransi yang kebablasan sama berbahayanya dengan bidat atau sinkretisme. Orang jadi takut tampil apa adanya dengan alasan toleransi. Akibatnya, kita akan jadi manusia yang munafik karena takut dicap sebagai tidak toleran.

Contoh konkretnya adalah bagaimana sikap kita sebagai orang Kristen sekaligus orang Indonesia. Sebagai orang Kristen, kita adalah warga kerajaan surga. Kita hidup dengan hukum-hukum rohani kerajaan surga di mana Kristus Yesus memerintah sebagai Tuhan. Tuhan Yesus telah memerintahkan kita untuk mewartakan kabar baik kerajaanNya kepada semua orang. Kalau kita menghormati Tuhan Yesus sebagai raja, maka kita sudah seharusnya menjalankan perintah tersebut. Di sisi lain, sebagai warga negara Indonesia, kita punya "kontrak sosial" bernama Pancasila. Dalam kontrak tersebut, terkandung perjanjian untuk menjaga keutuhan bangsa yang amat majemuk ini. Salah satu hal yang cukup menggelitik adalah adanya pernyataan dalam butir-butir Pancasila yang melarang umat beragama manapun untuk mengekspresikan imannya, sekalipun iman terhadap kebenaran yang sejati, jika nantinya dapat menimbulkan keresahan dan perpecahan. Dengan kata lain, menyatakan dan mengabarkan bahwa Yesus adalah Tuhan itu 'haram' hukumnya dalam negara Indonesia yang ber-Pancasila ini karena dapat menimbulkan keresahan dan pertikaian dengan umat yang tidak percaya bahwa Yesus adalah Tuhan. Oleh karena itu, jalan tengah yang diambil oleh sebagian umat Kristen adalah toleransi demi keutuhan bangsa. Meskipun demikian, tetap ada orang-orang Kristen yang berani bersikap tegas dan tidak takut terhadap ancaman. Mereka sering dipandang sebagai pihak yang mengganggu kenyamanan.

Lalu bagaimana sikap kita sekarang? Diam saja? Pasif? Menunggu arus angin? Kalau begitu, sama saja dengan oportunis. Minimal secara pribadi, kita harus menentukan sikap. Aku sendiri menganut prinsip begini. Aku ini adalah orang Kristen yang "kebetulan" orang Indonesia. Kewarganegaraanku yang terutama adalah warga kerjaan surga. Aku menyandang nama Kristus ke manapun aku pergi. Tuhan Yesus menempatkanku di Indonesia buka tanpa maksud. Di Indonesia ini, aku adalah duta besar kerajaan surga. Sebagai duta besar, maka afiliasiku yang terutama adalah pada Sang Pemilik Surga. Sang Pemilik Surga memberiku mandat untuk mengusahakan kesejahteraan Indonesia.

Kalau orang Indonesia punya local wisdom yang disebut toleransi, maka tugasku adalah menerangi makna toleransi dengan firman Tuhan. Toleransi yang benar itu seperti apa? Toleransi yang benar berarti membebaskan dan memerdekakan. Aku membebaskan orang lain untuk meyakini apa pun yang mereka percaya sebagai kebenaran tetapi aku secara khusus mendoakan mereka supaya dalam pencarian akan kebenaran, mereka dapat menemukan kebenaran yang sejati yaitu Yesus Kristus adalah TUHAN. Tidak ada larangan untuk berdoa dalam kamus toleransi. Maka, sekalipun secara verbal dan nonverbal aku dilarang mengekspresikan imanku, aku toh masih bisa berdoa dalam hati di tempat tersembunyi kepada TUHAN. Ternyata, masih ada celah dalam toleransi yang membelenggu. Celah itu hanya dapat ditembus dengan doa. Tidak ada yang bisa melarang kita berdoa dan kita bisa berdoa untuk apa saja, termasuk untuk keselamatan dan kesejahteraan bangsa ini. Bukankah ini luar biasa?

Toleransi yang benar berarti membebaskan dan memerdekakan. Toleransi yang benar berarti bebas dari rasa benci terhadap sesama manusia. Toleransi yang benar adalah sikap peduli yang sejati. Toleransi yang benar adalah sikap bijaksana dan berhikmat.

MEMBIARKAN ORANG LAIN BERIBADAH, SILAKAN
MEMBIARKAN ORANG LAIN BINASA, JANGAN


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kasta

Doa bagi Kota Tercinta

Yehova Zebaoth, TUHAN semesta alam.