Elang Mati

Ini adalah cerita tentang seekor elang yang menyia-nyiakan hidupnya. Alkisah, ada seorang pemburu yang menaruh beberapa ekor telur elang di antara kawanan ayam hutan. Telur-telur tersebut menetas, menghasilkan elang-elang aneka rupa. Mereka hidup bersama-sama dengan ayam-ayam hutan, mengais-ngais tanah, berburu cacing, berkotek-kotek, dan terbang rendah ke sana ke mari. Tidak ada yang merisaukan hati para elang itu meskipun tubuh besar mereka merupakan keganjilan yang nyata bagi siapa pun yang melihat.
                Hingga suatu saat, elang-elang muda itu melihat seekor elang besar terbang tinggi jauh di langit biru yang cerah. Sayap lebarnya mengembang dengan gagahnya. Salah seorang elang muda itu bertanya, “Wah, kerennya, siapakah gerangan dia?”
                “Dia adalah burung elang, sang raja para burung,” sahut salah seekor ayam hutan muda, “Sudah, jangan melihatnya terus. Ayo lanjutkan tugas kita berburu cacing!”
                Para elang muda itu pun kembali menekuni kegiatannya bersama kawanan ayam hutan sambil berkotek-kotek. Rupanya, sang elang yang sedang melayang di angkasa mengetahui keberadaan para elang muda itu. Ia pun menukik menuju kawanan elang muda yang sedang bercengkerama di atas tanah lapang di tengah hutan. Ayam-ayam hutan berlarian, bersembunyi ke dalam rimbunnya semak. Tinggallah elang-elang muda yang terpesona oleh sosok sang elang nan gagah itu.
                “Hai, kalian anak-anak muda! Mengapa kalian tidak terbang tinggi? Bukankah kalian adalah elang sama sepertiku?” sang elang keheranan.
                “Apa? Apa katanya? Kita adalah elang? Lho, bukankah kita adalah ayam hutan? Wah…” elang-elang muda itu saling menatap dengan bingung.
                “Ya, tentu saja kalian adalah elang. Lihat saja sayap kalian yang lebar, paruh kalian yang besar, cakar kalian yang tajam melengkung. Semua itu nyata sekali menunjukkan bahwa kalian adalah elang, bukan ayam hutan,” sang elang semakin heran dengan ketidaktahuan para elang muda akan jati diri mereka.
                “Sudahlah. Ikutlah aku sekarang!” sang elang mengajak para elang muda meninggalkan hutan menuju pegunungan tempat tinggal para elang yang sesungguhnya. Tanpa banyak protes, para elang muda itu mengikuti sang elang meskipun dengan susah payah karena harus memanjat gunung. Maklum, mereka sama sekali belum bisa terbang tinggi.
                Singkat cerita, para elang muda itu menyadari identitas sejati mereka sebagai elang, raja para burung. Mereka menerima tugas pokok dan fungsional yang melekat pada jati diri mereka yaitu terbang tinggi dan berburu makanan. Untuk bisa menguasainya, mereka harus belajar keras, mulai dari nol. Karena selama ini mereka tinggal bersama ayam hutan dengan bahasa ala ayam hutan, mereka harus belajar menguasai bahasa elang yang menurut mereka sangat njelimet. Semua itu harus mereka jalani sebagai konsekuensi logis atas pilihan hidup mereka.
                Ketika para elang muda itu tenggelam dalam kesibukan belajar dan berlatih, seekor elang muda yang paling senior memisahkan diri dari rekan-rekannya. Bukannya terbang tinggi ataupun berlatih berburu, ia malah kembali ke lapangan dekat hutan. Di sana, ia sibuk bercengkerama dengan kawanan ayam hutan. Mengais cacing, berkotek-kotek, adu jalu, terbang rendah ke sana kemari. Bagi si elang muda senior, kesenangan bersama ayam hutan itu jauh lebih bermakna daripada belajar cara terbang dan berburu yang membosankan.
                “Lho, bukankah kamu sudah mengikuti elang agung itu ke gunung tinggi? Mengapa kamu malah kembali bermain di sini bersama kami para ayam hutan ini? Tidakkah kamu merasa rugi dengan waktumu, hai elang muda?” seekor ayam hutan bertanya dengan penuh keheranan.
                “Ah, aku sudah bisa terbang rendah dan berburu cacing. Hidup ini bukan hanya untuk belajar terbang dan berburu, melainkan juga untuk bersenang-senang, mengikuti kata hati, dan bermasyarakat bersama. Lagipula, apa untungnya bagiku jika aku belajar terbang dan berburu seperti itu? Hanya melelahkan badan saja!” begitulah jawab si elang muda senior sambil mengais-ngais tanah.
                Maka, elang muda senior itu pun asyik bercengkerama dengan kawanan ayam hutan. Setiap hari ia selalu bergaul dengan ayam-ayam hutan, tanpa mempedulikan tatapan tajam elang-elang muda lainnya yang kelelahan belajar terbang dan berburu. Berkali-kali elang-elang muda yang lain menegur dan menasihati si elang muda senior supaya kembali menekuni tugas pokok dan tanggung jawabnya sebagai seekor elang sejati. Tapi apa jawabnya?
                “Sudah, urus saja urusan kalian sendiri! Ini hidupku, mau melakukan apa juga terserah padaku! Jangan halangi aku dari bersenang-senang di sini!”
                “Tapi kakak senior, kita adalah elang! Tidakkah engkau malu? Tidakkah engkau risau jika menjadi contoh yang tidak baik?” seru seekor elang muda yang lebih junior.
                “Ah, apa pedulimu, hai anak kecil? Urus saja hidungmu yang sering ingusan seperti dulu itu, tidak usah kau urusi seniormu ini!” dengan ketus dan nada mencela, si elang muda senior menampik segala nasihat dan teguran sesama elang muda. Berbagai hinaan dan ejekan meluncur manakala elang-elang muda lainnya menasihati si elang muda senior untuk mengingat jati dirinya. Begitu seterusnya setiap hari. Sehingga, elang-elang muda itu lelah menegurnya dan akhirnya membiarkannya saja berkubang dengan kawanan ayam hutan. Elang muda senior tertawa sinis penuh kemenangan.
                Tahun berganti tahun, elang muda senior itu tinggal bersama kawanan ayam hutan, meninggalkan rekan-rekannya yang sudah mahir terbang tinggi dan berburu. Ia tidak peduli akan hal itu. Baginya, yang dipedulikannya hanyalah kesenangan hati dan kepuasan saat ia berhasil mengalahkan ayam-ayam hutan dalam lomba berburu cacing, mengais tanah, berkotek, dan beradu jalu. Ia merasa menjadi raja para ayam karena tubuh elangnya yang jauh lebih besar daripada para ayam.
                Suatu ketika, seorang pemburu melihat si elang muda senior itu. Karena dilihatnya si elang tidak terbang tinggi seperti burung elang pada umumnya, si pemburu segera menembak si elang. Matilah si elang muda senior itu. Pemburu itu membawa bangkai si elang muda senior ke pengawet binatang liar. Setelah diawetkan, tubuh elang muda senior itu pun dijual kepada kolektor binatang awetan di kota besar. Semua orang yang melihatnya merasa kagum melihat tubuh mati si elang muda senior. Nampak gagah, tapi tidak ada kehidupan lagi. Sementara itu, para elang muda lainnya sedang menikmati hidup merajai angkasa. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kasta

Doa bagi Kota Tercinta

Yehova Zebaoth, TUHAN semesta alam.