Naik Bus Kota

“Asa, bangun! Ayo, bangun. Waktunya mandi pagi!” seru mama, membuatku terbangun dari tidur bertaburan mimpi indah. Aku pun bangun sambil masih terkantuk-kantuk. Rasa haus mendorongku berteriak minta sebotol susu, “Mimiiiiik!” Dengan sigap, mama membuatkanku susu dan kuhisap dengan lahap. Sensasi mengenyot dot karet dengan menggigitinya merupakan hal ternikmat bagiku yang masih batita ini. Kata seseorang bernama Freud, entah siapa itu, aku sedang fase oral yaitu merasakan kenikmatan terbesar melalui mulut.
                Selesai berfase oral ria, aku pun mandi pagi dibantu mama dan papa. Byur, byur! Hangatnya air di ember membuatku ingin berlama-lama bermain air. Tapi seperti biasa, pasti aku disuruh cepat-cepat gosok gigi dan menyudahi acara mandi pagi yang menyenangkan. Rasa kantuk berangsur-angsur menghilang, digantikan rasa antusias. Aku merasakan gejolak euforia pagi. Endorfin dan serotonin sedang berlomba-lomba mencerahkan suasan hatiku. Rasanya ingin segera berlarian dan bermain-main sepuas hati.
                “Asa, pakai baju ini dulu, yuk!” kata mama sambil memakaikanku baju untuk jalan-jalan. Lho, tidak pakai baju rumah? Wah, hendak ke mana ya ini? Dengan menampilkan wajah protes, aku menatap wajah oval mama. “Kita mau jalan-jalan naik… bus kotaaa!” serunya dengan mimik girang. Wow, bus kota! Aku suka bus kota! Kan ada lagunya, “The wheel on the bus go round and round, round and round…
                Papa dan mama menggandengku menuju halte atau shelter trans jogja terdekat. “Kita mau ke Malioboroooo!” seru papa dengan penuh semangat. “Beli tiket dulu, yaaaa!” Kulihat papa membayar sejumlah uang kepada penjaga halte. Berurutan, aku, mama, dan papa masuk ke halte setelah penjaga menyorongkan kartu kecil di sebuah alat yang membuat palang halte berputar sehingga orang bisa lewat. Menarik sekali, rasanya ingin minta papa mama membuatkanku mainan semacam itu di rumah.
                Halte masih sepi. Hanya ada dua orang lain yang sedang duduk menanti di dalamnya. Karena kami hendak ke Maloboro, kami harus naik bus jalur A1 dengan transit terlebih dahulu ke bandara. Dari bandara, kami ganti naik bus A1 dengan tujuan Malioboro. Tidak terlalu lama, bus yang kami tunggu tiba dan kami pun naik. Busnya masih sepi sehingga kami dapat tempat duduk yang nyaman. Mama memangkuku. Kulihat di luar hujan mulai turun. Untunglah papa membawa payung. Perjalanan ke arah bandara ini sungguh nyaman, membuatku mengantuk.
                Tak terasa, bus tiba di halte bandara. kami turun ke halte, menantikan bus A1 arah Malioboro. Hujan turun semakin deras. Halte penuh dengan orang. Aku tidak bisa melihat dengan leluasa karena terhalang orang-orang yang berdiri. Kulihat mereka tidak rapi mengantre. Mereka berkerumun di dekat pintu, menanti bus dengan raut muka yang tidak sabar. Mama mengajakku duduk di kursi besi yang kebetulan kosong. Papa memilih berdiri, menunggu kalau-kalau busa A1 tiba.
                “Bus A1 tujuan kota, Malioboro, dst tiba. Penumpang diharap bersiap. Dahulukan yang mau turun, hati-hati melangkah, kaki kanan terlebih dahulu!” seru seorang petugas halte. Dengan sigap, papa dan mama menggandengku. Sewaktu kami hendak melangkah, seorang ibu gemuk tiba-tiba menyerobot. Ia masuk ke bus dengan seorang temannya yang juga gemuk. Walhasil, kami gagal naik bus. Petugas bus menyetop kami karena bus sudah penuh sesak. “Waaaa, mamaaa, papaaa, diseroboooot!” teriakku.
                “Sssst… sssst… jangan teriak-teriak, Asa!” seru papa menenangkanku. Aku panik, sedih, dan dongkol. Seharusnya ibu-ibu gemuk itu mengantre di belakang kami. Seharusnya kami yang naik busa A1 itu. “Waaaa…. Bus… Asa mau naik busss!!!” teriakku. Papa dan mama menenangkanku. Mereka mengatakan padaku bahwa bus A1 masih ada lagi, jangan khawatir. Dengan menahan tangis, aku pun menunggu lagi.
                Sepuluh menit berlalu. Bus A1 berikutnya telah tiba. Kali ini papa dan mama berdiri di dekat pintu. Papa menggendongku supaya aku tidak tertinggal. Begitu pintu bus dibuka dan beberapa orang telah keluar dari bus, papa dan mama menerobos masuk secepat mungkin. Aku melihat seorang ibu setengah baya hendak menerobos juga tapi terhalang oleh petugas bus. Rupanya kuota sudah terpenuhi. Bus sudah penuh sesak. Kasihan ibu itu, batinku, tapi mau bagaimana lagi? Kami berhasil juga naik bus A1.
                Di dalam bus, kami berdiri bergelantungan pada pegangan. Kali ini mama yang gantian menggendongku. Tujuannya supaya mendapat tempat duduk dan papa yang berdiri. Tapi sayang sekali, tak ada satu pun penumpang yang mau memberikan tempat duduknya. Padahal kulihat mereka masih muda dan tampak kuat-kuat. Sedangkan mama kulihat capek sekali menggendongku. “Maaf, bisa geser sedikit? Ini, bawa anak kecil, terima kasih,” kata mama kepada seroang pemuda yang duduk dengan santainya. Sambil berdecak merasa terganggu, pemuda itu hanya bergeser sedikit tanpa mau berdiri. Mama pun duduk di ujung kursinya dengan sangat tidak nyaman karena memangkuku. Kasihan mama.
                Jalan raya padat merayap. Jogja semakin penuh oleh kendaraan bermotor. Mobil-mobil menjejali jalan. Klakson berbunyi riuh rendah. Bus pun tidak bisa melaju dengan kencang karena lalu lintas tidak lancar. Melalui kaca jendela bus yang bening, kulihat suasana lalu lintas yang sarat akan mobil dan sepeda motor. Jarang sekali kulihat ada sepeda melintas. Padahal dulu katanya kotaku ini adalah kota sepeda. Sekarang kotaku jadi makin panas dan tidak nyaman karena polusi udara dan polusi suara semakin menggila. Untunglah hari itu hujan turun, sehingga suasana panas dapat teredam.
                Kriiiiing… Kriiing… dering ponsel tiba-tiba memecah suasana di dalam bus. “Ya! Baru macet ini! Di depan Amplaz! Ya! Bla bla bla!” seseorang menjawab panggilan ponselnya dengan amat keras. Semua penumpang bisa mendengarkan dengan jelas isi pembicaraannya. Untunglah dia tidak mengaktifkan loud speaker. Bisa-bisa semuanya tahu apa yang sedang diperbincangkan melalui ponsel itu. Kulihat mama dan papa tersenyum geli mendengarnya.
                Tiba-tiba aku mencium aroma tidak sedap. Bau itu khas sekali, seperti bau waktu aku pup. Waduh, siapa nih yang kentut di dalam bus? Rasanya mual. Mama dan papa kulihat menutup hidungnya. Demikian juga semua penumpang. Wah, padahal Malioboro masih jauh. Bagaimana ini?

                Ketika bus sampai di halte depan RS Bethesda, mama dan papa mengajakku turun. Lho, kan belum sampai Malioboro? Mengapa turun di sini? Apa karena bau yang tidak sedap itu? Atau karena mama yang terlalu capek duduk tidak nyaman di bus? Ah, entahlah. Aku cukup mengikuti saja. Aku kan masih sangat kecil untuk diajak berurun angan. Kami pun turun, ke luar halte, dan menyeberang jalan. Rupanya mama dan papa mengubah tujuan perjalanan. Kami tidak jadi ke Malioboro. Sebagai gantinya, kami jalan-jalan ke Mal Galeria. Wah, senang sekali! Nanti pulangnya naik apa ya? Naik bus lagi? Semoga lebih nyaman ya. Semoga orang-orang tahu bagaimana mengantre dengan rapi. Semoga orang-orang di bus tidak egois. Dan semoga aku tidak kapok naik bus kota lagi. ***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kasta

Doa bagi Kota Tercinta

Yehova Zebaoth, TUHAN semesta alam.