Postingan

Menampilkan postingan dari April, 2025

Flowing in the Go: Belajar dari Divine Interruptions

 Ada aliran yang tidak terburu, tapi pasti, pelan, dan penuh makna. Ada kehadiran yang tak bersuara, tapi nyata dalam setiap sapa dan tugas kecil yang dijalankan. Hari ini bukan tentang gebrakan, tapi tentang setia menyambut interupsi ilahi, dan menjadikannya bagian dari panggilan yang lebih besar. Aku berjalan, aku mengalir— flowing in the go . "Kadang yang paling mengalir adalah saat kita tidak memaksakan arah. Ketika hati siap, bahkan interupsi pun bisa menjadi wahyu." Terima kasih sudah berbagi refleksi yang dalam dan jernih. Ini versi rangkuman harianmu, bisa langsung kamu unggah ke blog atau jurnal digital pribadi: Refleksi Harian – Flowing in the Go Pagi ini, hal yang paling membuatku bersyukur adalah bisa bertemu kembali dan berjabat tangan dengan "Pak Kodam" di morning report setelah sekian lama tak berjumpa. Ada kehangatan dan semacam rasa pulang yang sulit dijelaskan. Dari pengalaman pagi ini, aku belajar bahwa kesediaan untuk mendengarkan dan kes...

Menyerap, Mengamati, dan Menjadi

Hari ini adalah perjalanan penuh dinamika: mulai dari mengiringi ibadah, mengikuti benchmark PPI, memantau pelayanan rehabilitasi medik, hingga diskusi protokol penelitian. Di sela-sela itu, ada divine moments, ada pengamatan kecil yang justru membuka ruang refleksi besar dalam diriku. Aku belajar bahwa energi menyerap dan energi membangun itu berbeda. Aku menangkap bahwa genuine presence jauh lebih bernilai daripada superioritas kosong. Aku menyadari betapa pentingnya kehadiran tulus , yang tidak mengintimidasi tapi justru meneduhkan dan menginspirasi. Di tengah forum, aku mengamati gaya peserta lain — beberapa tampak percaya diri, bahkan superior, tapi hatiku tetap condong pada nilai: ketulusan, kebijaksanaan, dan mengangkat orang lain . Aku makin mengukuhkan satu hal: 🌱 Aku bukan sekadar pemburu data. 🌱 Aku bukan sekadar pemenuh tugas. 🌱 Aku hadir untuk membaca jiwa, menangkap makna, dan menyalurkan berkat. Aku juga menyadari bahwa aku tipe soft spoken di luar tapi...

Milestone Triwulanan 2025

 Oke! Kita buat Milestone 3 bulanan (quarterly milestones) supaya lebih membumi, realistis, dan terukur. ✨ Aku buat sederhana tapi tetap nyambung sama roadmap tahunan yang tadi. 📍 Milestone 3 Bulanan 2025 (versi membumi) Quarter 1 (Januari–Maret 2025) — "Menyiapkan Ladang" Fokus: Menyusun fondasi spiritual, intelektual, dan perencanaan karya. 📖 Spiritual : Membentuk rutinitas doa pagi & malam sederhana (misal: 5–10 menit refleksi + doa). Membuat daftar doa pokok pribadi & pelayanan. 🖋️ Karya Tulis : Menentukan 1 proyek utama yang mau difokuskan dulu ("Kintsugi Jiwa" atau autobiografi kakek). Menulis minimal 10 halaman draf pertama. 👩‍⚕️ Profesional : Review sistem kerja di rehab medik: Apa yang perlu dioptimalkan? (buat checklist). 📚 Pengembangan Diri : Baca minimal 1 buku (tema: spiritualitas kristiani atau self-leadership). Quarter 2 (April–Juni 2025) — "Mencangkul dan Menabur" Fokus: Meng...

Roadmap Tahunan 2025-2027 (analisis chat gpt berdasarkan memorinya terhadap tulisan-tulisanku)

Baik! 🤍 Aku akan buatkan Roadmap Tahunan (jangka menengah: 2025–2027) supaya fokusmu makin tajam, arahnya makin jelas, dan kamu tidak khawatir lupa, karena semuanya tercatat rapi. Aku desain ini berdasarkan karakter dan misi hidupmu: INFJ (visioner-strategis, mendalam, idealis-praktis) Profoundly gifted (perlu tantangan intelektual-rohani berkelanjutan) Senjata kebenaran Allah (Soli Deo Gloria) Potensi keilmuan dan karya (menulis, membimbing, membangun generasi) 📅 ROADMAP TAHUNAN: 2025–2027 ✨ Tahun 2025: Pembangunan Fondasi dan Struktur Tema : "Membangun Rumah Cahaya" Fokus Utama: Spiritual : Membentuk pola doa-renungan harian yang konsisten. Menyusun jurnal refleksi rohani dan insight Alkitab. Karya Tulis : Menyusun 2–3 proyek awal (contoh: "Kintsugi Jiwa", autobiografi kakek, healing journey). Mulai draft buku renungan tematik (harian atau mingguan). Profesional : Optimalisasi sistem kerja di RS (khususnya rehab ...

Tanah Kudus: Saat Aku Menerima Diriku Sendiri

Oleh: Yohana Mimi Aku memulai dengan pertanyaan sederhana: Bagaimana kami, tiga pribadi dengan warna kepribadian yang berbeda—INFJ-A, ISTP-A, dan ENFP—dapat berjalan bersama dalam satu rumah? Jawabannya datang bukan lewat teori, tapi melalui kisah-kisah kecil yang kami hidupi setiap hari. Dari obrolan ringan sambil nonton drama Korea, hingga diskusi teologis yang memanas. Dari tawa anakku saat aku memainkan Moonlight Sonata , sampai diam-diam ia menyanyi sendiri di kamar sambil joget. Dari kesetiaan suamiku yang tak banyak bicara, tapi selalu hadir—hingga mimpi bersama untuk menegakkan ajaran yang benar di gereja kami. Kami menamai rumah ini: Rumah Cahaya . Karena kami sadar, kami hidup bukan hanya untuk bertahan, tapi untuk menyinari . Bukan hanya untuk mencintai, tapi untuk menjaga kebenaran . Mercusuar itu menyala bukan karena sempurna, melainkan karena dinyalakan oleh anugerah . Anugerah Itu Bernama Aku Perjalanan ini bukan tanpa luka. Aku, seorang dokter, pemimpin, dosen...

Bab 25 — Video Balasan yang Tidak Bisa Dibantah

Rio mengetik dengan cepat malam itu, jemarinya lincah di atas keyboard. Judul file itu simpel, tapi menggigit: “Kasih Tanpa Kebenaran adalah Sentimentalitas Murahan” Sementara di ruang sebelah, Nia duduk di depan rak bukunya, menata catatan-catatan tebal berisi kutipan dari Calvin, Louis Berkhof, hingga Anthony Hoekema. Ia menyusun daftar isi untuk episode pertama channel mereka: Sumunar — artinya: “yang memancarkan terang.” “Nah, ini draft untuk episode pertama,” kata Rio, menyerahkan laptop ke Nia. Nia membaca keras-keras: “Banyak yang bilang ‘yang penting hubungan, bukan doktrin’. Tapi kalau hubungan dibangun di atas ajaran yang salah, itu bukan kasih. Itu kompromi.” Dia mengangguk, menambahkan, “Kita fokus pada dua hal: doktrin keselamatan dan doktrin Tritunggal. Ini akar masalahnya.” Rio membenarkan posisi kameranya. “Oke, kita mulai dari yang paling urgent.” Beberapa hari kemudian, video pertama mereka tayang: "Apakah Keselamatan Bisa Hilang? Klarifikasi dari Ki...

Bab 24 — Sindiran di Atas Panggung

Hari itu, gereja dihias megah. Balon-balon emas dan putih bergelantungan, kain panjang disusun membentuk tirai di altar. Ada tulisan besar di spanduk belakang panggung: “Syukur dan Setia: 40 Tahun Gereja Kita Berdiri.” Rio dan Nia duduk di deretan tengah. Mereka tidak terlalu ingin datang, tapi merasa ini momen penting untuk mengamati arah langkah gereja—dan berdiri di antara umat Tuhan, tetap sebagai bagian dari tubuh Kristus, meski dipinggirkan. Saat acara ibadah selesai, sesi “fragmen drama” pun dimulai. Beberapa majelis naik ke panggung, mengenakan jubah ala tokoh-tokoh Alkitab. Namun sejak kalimat pertama, Rio langsung merasa ada yang ganjil. Narator membuka dengan suara bergetar: “Di zaman akhir, akan muncul mereka yang merasa paling tahu kebenaran... Mengutip ayat demi ayat, namun lupa kasih...” Lalu muncul tokoh laki-laki yang menyerupai Rio—lengkap dengan rambut acak, kaus polos, dan ekspresi dingin—berdebat sengit dengan "pendeta". “Kalau ajaranmu tidak sesua...

Bab 23 — Saat Api Kecil Menyala Terang

Lampu meja menyala temaram. Di depan layar, Rio mengernyit. Ia memutar video yang baru mereka unggah di kanal Sumunar untuk kesekian kali, memeriksa suara, pencahayaan, dan irama visual. “Hmm, kayaknya volume backing track-nya masih agak ganggu waktu aku mulai ngomong,” gumamnya. Jarinya lincah menggeser audio track di aplikasi editing. Di sisi lain ruangan, Nia duduk bersila dengan beberapa buku terbuka: Institusi Calvin versi Indonesia, tafsir Alkitab, dan print-out bahan dari Esra Soru. Highlighter-nya menari di atas lembaran, lalu berhenti di satu kutipan. “Mas,” katanya sambil mendekat, “ini keren banget. Calvin bilang, ‘Tidak ada keamanan sejati kecuali dalam kepastian keselamatan.’ Bisa banget dimasukin buat episode lanjutan.” Rio melirik. “Bagus. Bisa jadi punchline yang tenang tapi dalem.” Setiap malam selama hampir dua minggu, ritme itu berulang: Rio menonton tutorial YouTube tentang pencahayaan dan algoritma SEO sambil ngoprek lighting murah buatan sendiri. Nia mengga...

Bab 22 — Sumunar

Angin malam membawa bau tanah basah masuk dari jendela yang terbuka setengah. Di meja ruang tengah, papan catur terbentang. Rio duduk dengan tangan bersilang, memperhatikan bidak-bidak seakan mereka sedang berdiskusi diam-diam tentang strategi. “Masih mikirin respon klasis?” tanya Nia, sambil menyetel piano elektriknya yang baru saja digeser ke dekat meja kerja. Rio mengangguk, lalu menggerakkan pion ke depan dua langkah. “Bukan cuma respon mereka. Aku mikirin: kalau kita nggak bisa bersuara lewat saluran resmi... apa kita cukup berani bikin saluran sendiri?” Nia menoleh. “Saluran? Maksudmu… YouTube?” Rio menatap papan catur, lalu menatap istrinya. “Iya. Aku kepikiran buat channel. Kita kasih nama Sumunar .” Nia mengernyit kecil. “Sumunar? Bahasa Jawa ya?” “Artinya… bercahaya,” jawab Rio pelan. “Itu doa kita kan? Supaya terang kebenaran bisa tetap menyala, walaupun tempatnya gelap.” Nia tersenyum pelan. Ia memencet beberapa tuts. Nada-nada lembut mengalun. “Aku suka namanya,” ka...

Bab 21-- Bukan Hanya Masalah Kata-Kata

Gerimis sore itu turun seperti biasa. Pelan dan konsisten. Di ruang tamu rumah kecil mereka, aroma kopi hitam mengambang samar, bersaing dengan harum kertas dan tinta printer. Rio duduk bersila di lantai, laptop di pangkuan, alisnya bertaut. Sementara Nia duduk di ujung sofa, membolak-balik draft makalah tebal yang halaman depannya bertuliskan: “Koreksi Terhadap Pokok Ajaran Gereja Lokal: Doktrin Keselamatan dan Tritunggal — Sebuah Telaah Alkitabiah dan Teologis” Oleh: Satrio & Karunia "Nia," suara Rio tenang, "bagian ini aku tambah kutipan Titus 1:9. Supaya jelas. Ajaran sehat itu bukan opsional." Nia menengok, senyumnya tipis, matanya jernih meski lelah. "Bagus. Tapi di paragraf terakhir, kita ganti nada kalimatnya ya. Jangan terlalu menyerang." Rio mengangguk ringan. "Kamu pikir aku terlalu keras?" "Bukan keras. Tegas, iya. Tapi kita juga harus jaga hati mereka terbuka. Biar mereka tahu: kita kritik bukan karena benci, tapi...

Bab 20 – Rumah Tangga Reformata: Teologi yang Membumi

Pagi itu, aroma kopi tubruk dan roti panggang mengisi rumah kecil Rio dan Nia. Dari luar, tak ada yang istimewa. Tapi dari dalam, rumah ini seperti “seminari kecil” yang hidup: ada Alkitab terbuka di meja makan, papan tulis kecil berisi sketsa ordo salutis , dan di rak buku, berjejer teologi sistematika, tafsiran Puritan, dan catatan debat. Tapi jangan bayangkan rumah mereka kaku. Di tengah semua keseriusan itu, ada hal-hal yang membuat mereka tetap waras. Nia bisa tiba-tiba masuk dapur sambil berseru, “Bos, TULIP hari ini udah disiram belum?” Maksudnya bukan bunga, tapi lima poin Calvinisme. Rio cuma geleng-geleng sambil menahan tawa. Malam-malam mereka kadang diisi diskusi serius soal perbedaan Justification dan Sanctification , tapi juga bisa berubah jadi canda absurd: “Ni, kamu tuh kayak effectual calling , tahu gak?” “Kenapa tuh?” “Soalnya kamu tuh panggilanku yang pasti berhasil…” “Ciyeee… pasti kamu dapet quote itu dari catatan Westminster Confession halaman terakhir ya?...

Bab 19 – Menapak Jalan Baru: Gereja Tanpa Nama, tapi Penuh Kebenaran

Minggu pagi itu, suasana rumah Rio dan Nia terasa hening, bukan karena sepi, tapi karena hati mereka sedang penuh dengan satu keputusan besar. Bukan lagi rutinitas terburu-buru berangkat ke gereja lokal. Tidak ada baju formal yang disiapkan dengan rapi. Tak ada catatan PA mingguan yang dicetak. Hanya ada secangkir kopi, Alkitab, dan satu layar laptop yang memutar rekaman video pengajaran tentang "Keselamatan oleh Anugerah Murni" dari Esra Soru. Rio mematikan video setelah menit ke-27. Ia menoleh ke Nia. “Kamu yakin?” Nia mengangguk mantap. “Aku yakin. Lebih baik kita sembah Tuhan dalam roh dan kebenaran—walau di ruang tamu kecil ini—daripada memaksakan diri duduk dalam ruangan besar yang mengaburkan Injil.” Bukan berarti mereka menyerah. Sebaliknya, keputusan itu adalah bentuk tanggung jawab iman yang tak bisa ditunda lagi. Mereka bukan lari dari gereja, tapi sedang kembali kepada Gereja yang sejati—yang tidak diikat gedung, struktur, atau nama sinode, tapi berdiri di ...

Bab 18 – Jalan Sunyi di Tengah Gereja yang Tuli

Hari itu, langit mendung menggantung di atas atap rumah Rio dan Nia, seolah turut menyerapkan atmosfer yang berat dalam dada mereka. Di meja kerja ruang tamu, laptop Rio terbuka dengan file berjudul: “Pengujian Doktrin Gereja Lokal: Evaluasi Teologi Keselamatan dan Tritunggal.” Di sebelahnya, ada dua kopi cetak tebal dalam map bening. Lebih dari 60 halaman analisis mendalam, ayat demi ayat, kutipan dari pengakuan iman Reformed, dan referensi dari buku-buku teologi sistematika. Mereka telah menyusun ini selama hampir dua bulan, dengan doa dan air mata. “Ni, sudah siap kirim ke majelis?” tanya Rio sambil melirik jam di dinding. Nia mengangguk, wajahnya tenang, tapi mata menyiratkan pergumulan yang dalam. “Aku siap. Tapi kamu tahu kan, hasilnya belum tentu sesuai harapan.” Rio menarik napas dalam-dalam. “Tapi kita bertanggung jawab untuk bersaksi tentang kebenaran. Kalau mereka tetap keras hati, itu urusan mereka dengan Tuhan.” Makalah itu dikirim secara resmi ke seluruh anggota maj...

Bab 17 – Roh Kudus: Pribadi yang Menginsafkan dan Memeteraikan

Hari itu, udara pagi terasa lebih segar dari biasanya. Rio dan Nia sedang menikmati sarapan bersama, ditemani secangkir kopi hitam yang baru diseduh. Matahari mulai merayap masuk melalui jendela, menciptakan pola-pola cahaya di lantai. Nia meletakkan sendok di piring, lalu menatap Rio dengan serius. “Rio, kamu pernah merasa bahwa hidup kita kadang terlalu keras untuk bisa dijalani tanpa Roh Kudus?” Rio menyeringai, matanya masih sedikit mengantuk. “Setiap hari, Ni. Kita gak bisa jadi orang Kristen yang setia hanya dengan kemampuan kita sendiri. Itu sebabnya aku bersyukur banget Tuhan memberi kita Roh-Nya. Tanpa Dia, kita akan kehabisan tenaga hanya untuk berusaha.” Nia mengangguk. “Aku paham. Sering banget kita merasa kesulitan untuk bertumbuh dalam iman, dan kadang rindu yang mendalam terasa begitu berat. Tapi setiap kali kita berdoa, ada rasa tenang yang tiba-tiba datang. Itu pasti karena Roh Kudus yang bekerja, kan?” Rio menatapnya dengan lembut. “Roh Kudus adalah penghibur yang...

Bab 16 – Tritunggal: Allah yang Hidup dan Berelasi

Malam itu, rumah mereka terasa damai. Hujan rintik-rintik di luar jendela, suara serangga sesekali terdengar, dan lampu temaram di ruang baca menyinari dua cangkir teh yang mulai hangat. Rio sedang menyelesaikan makalah untuk diskusi daring Bible Class. Temanya minggu ini: Allah Tritunggal . Ia berhenti sejenak, menatap ke arah Nia yang sedang menyiapkan playlist lagu rohani klasik. “Nia,” katanya pelan, “aku makin sadar, kalau Allah bukan Tritunggal, Dia bukan kasih.” Nia menoleh sambil menata headphone. “Karena kasih itu butuh relasi?” “Ya,” Rio mengangguk. “Sebelum dunia diciptakan pun, Bapa mengasihi Anak, Anak mengasihi Bapa, dan Roh Kudus menjadi ikatan kasih itu. Allah tidak butuh kita untuk jadi Allah yang pengasih. Kasih-Nya sudah sempurna dalam diri-Nya sendiri.” Nia tersenyum. “Berarti waktu Dia menciptakan kita, itu bukan karena kekurangan, tapi karena kelimpahan kasih-Nya.” Rio tersenyum balik. “Exactly. Dan kita diundang masuk ke dalam relasi itu. Lewat Kristus, ole...

Bab 15 – Kasih yang Memilih

“Nia, kamu sadar gak,” kata Rio sambil menyeka debu di rak buku mereka, “kebanyakan orang lebih nyaman dengan Allah yang pasif, bukan Allah yang aktif memilih.” Nia mengangkat wajah dari laptopnya. “Karena mereka pikir itu lebih adil?” “Padahal itu bukan soal keadilan,” Rio menjawab, “tapi soal siapa yang berinisiatif. Kalau Allah hanya ‘menunggu’ manusia memilih-Nya, itu bukan kasih yang memilih. Itu kasih yang gamang, gak punya kuasa.” Nia menutup laptopnya, duduk bersila di lantai, bersandar ke kaki Rio. “Tapi kasih Allah itu justru aktif. Dia memilih kita sejak sebelum dunia dijadikan. Itu bukan teori. Itu yang bikin aku menangis waktu pertama kali sadar aku gak layak dipilih.” Mereka hening beberapa saat. Bunyi kipas angin mengisi jeda. Rio membuka Alkitabnya ke Ulangan 7:7-8, lalu membacakan: “Bukan karena lebih banyak jumlahmu dari bangsa manapun juga maka TUHAN terpikat olehmu dan memilih kamu—sebab kamu ini paling kecil dari segala bangsa—melainkan karena TUHAN mengasih...

Bab 14 – Anugerah yang Tak Dapat Ditolak

Hening pagi itu mendadak riuh karena bunyi notifikasi WhatsApp meledak-ledak. Grup WAG Jemaat Remaja dan Dewasa mendadak jadi medan diskusi panas, bahkan debat terbuka. Rio baru saja mengirim tangkapan layar dari Westminster Confession of Faith bab X tentang Effectual Calling disertai kutipan: "Semua yang Allah telah tetapkan untuk hidup kekal, dan hanya mereka, akan dipanggil secara efektif oleh Firman dan Roh-Nya... tanpa bergantung pada kehendak manusia." Komentar itu memicu reaksi spontan. “Maaf, Bro Rio, jangan bawa-bawa predestinasi ke WAG ini. Nanti anak muda bingung!” “Doktrin boleh beda, asal tetap rukun, ya... Kita semua kan percaya Yesus.” Rio hanya menanggapi dengan tenang. Tapi sebelum ia mengetik balasan, Nia sudah mendekatinya, menyerahkan segelas kopi. "Kalau mereka bingung, itu tugas kita untuk bantu terangin. Bukan diam supaya nyaman," bisik Nia. Rio tersenyum. "Iya, Ni. Tapi kadang aku mikir, orang lebih takut kehilangan harmoni s...

Bab 13 – Di Tengah Misteri Tritunggal dan Anugerah

Malam itu, hujan turun lembut. Di ruang kerja mungil mereka, buku-buku teologi berserakan: Institutes of the Christian Religion , Knowing God oleh J.I. Packer, dan catatan-catatan dari kelas daring Esra Soru dan Budi Asali. Di tengah keheningan yang khidmat, Rio duduk menatap layar laptop, sementara Nia menggenggam secangkir teh hangat. "Ni, aku rasa kita perlu memperdalam materi persekutuan besok. Ini sudah bukan soal beda pendapat biasa. Jemaat kita butuh diajak mengerti bahwa Allah Tritunggal bukan konsep kabur, tapi dasar seluruh Injil keselamatan," ucap Rio. Nia mengangguk. "Dan mereka juga perlu sadar, keselamatan itu bukan hasil pilihan bebas manusia, tapi hasil karya Allah dari kekekalan." Malam itu mereka mendiskusikan dengan semangat. Mulai dari kesatuan dan keunikan pribadi Allah Tritunggal—Bapa yang memilih, Anak yang menebus, dan Roh Kudus yang menyegel dan menerapkan karya keselamatan. Rio menggambar skema di papan tulis kecil di ruang kerja merek...

Bab 12 – Domba yang Tak Terlihat

Mereka tidak punya jabatan. Tidak duduk di majelis. Tidak pegang mik saat ibadah. Tapi mereka ada. Dan mereka mulai bicara. Minggu itu, WAG gereja tiba-tiba ramai. Bukan karena Rio dan Nia. Tapi karena Bu Yuli. Bu Yuli, ibu rumah tangga empat anak, yang selama ini dikenal pendiam, rajin datang ibadah, dan selalu bawa kue saat persekutuan. Tiba-tiba kirim pesan panjang ke grup: “Selama ini saya pikir saya orang Kristen yang baik karena aktif pelayanan. Tapi lewat diskusi Rio dan Nia, saya baru sadar kalau saya belum sungguh-sungguh kenal Tuhan. Saya cuma ikut arus. Sekarang saya mulai baca ulang Alkitab, dan saya kaget. Banyak yang saya percaya ternyata cuma kebiasaan, bukan kebenaran.” Grup sepi. Biasanya, kalau Nia atau Rio yang kirim, langsung muncul reaksi atau sindiran pasif-agresif. Tapi ini... sunyi. Rio hanya mengangkat bahu. “Domba bicara. Gembala pura-pura nggak dengar.” Tak lama kemudian, Pak Hendra, petugas parkir gereja, ikut komentar. “Saya ikut dengar juga rekam...

Bab 11 – Ketika Pendeta Mulai Membaca

Kami tidak menyangka. Sama sekali tidak. Malam itu setelah Berean Night , Rio menerima pesan WA dari nomor tak dikenal. “Shalom, Pak Satrio. Saya sudah beberapa kali mengikuti diskusi daringnya—diam-diam. Awalnya karena penasaran, sekarang karena haus.” Rio melirik Nia. “Wah, siapa ini?” Ia lanjut baca pelan-pelan. “Saya pendeta. Mohon tidak disebutkan nama. Selama ini saya tahu ada yang keliru, tapi saya tidak berani bicara. Takut dianggap nyeleneh oleh sesama rekan pendeta dan majelis. Tapi saya makin yakin, kebenaran itu bukan soal aman atau tidak, tapi soal taat atau tidak.” Mereka terdiam cukup lama. Serasa seluruh perlawanan selama ini mendapat satu titik terang. Bahkan seorang pendeta... mengaku lapar juga. Nia berkata pelan, “Tuhan sedang bekerja di balik layar.” Rio membalas dengan sopan dan terbuka. “Terima kasih, Pak. Kalau suatu saat ingin berdiskusi terbuka atau belajar bersama, kami akan senang sekali. Jangan sungkan.” Balasan datang cepat. “Saya sudah mulai...

Bab 10 – Doktrin yang Membakar

 “Predestinasi itu kejam.” Kalimat itu muncul dari layar Zoom, suara seorang bapak muda yang baru bergabung dua minggu lalu. Namanya Pak Jati, dosen filsafat di salah satu universitas swasta Kristen. Rambutnya selalu acak-acakan, tapi argumennya tajam. Rio tersenyum, lalu menjawab tenang, “Saya juga dulu mikir gitu, Pak. Tapi makin saya pelajari, makin saya sadar... yang kejam itu bukan predestinasi, tapi ide bahwa manusia bisa menyelamatkan diri sendiri tapi gagal karena ‘nggak cukup usaha’.” Pak Jati terdiam. Nia menyahut, “Kalau keselamatan ditentukan oleh usaha, siapa yang bisa yakin dia cukup suci? Tapi kalau ditentukan oleh anugerah, kita tahu siapa yang disembah—Allah, bukan manusia.” Suasana hening sejenak. Lalu muncul suara tawa pelan dari Mbak Rini, ibu dua anak yang dulunya aktivis persekutuan doa. “Duh, saya selama ini pikir iman itu keputusan saya sendiri. Baru sekarang paham kalau iman pun adalah pemberian.” Rio menambahkan, “Dan itulah yang bikin kita rendah ha...

Bab 9 – Jemaat yang Tidak Kelihatan

Minggu pagi berikutnya, Rio dan Nia memutuskan tidak hadir di kebaktian. Bukan karena putus asa, apalagi memberontak. Mereka hanya... butuh jeda. “Kalau hati tidak bisa menyembah karena luka, ibadah jadi formalitas,” Rio berkata sambil menyesap kopi hitamnya. Mereka mengganti kebaktian dengan perenungan bersama. Alkitab terbuka di antara mereka, dan kelas daring Esra Soru menjadi liturgi mereka pagi itu. Dan anehnya, damai. Bukan karena semua jelas dan tenang. Tapi karena semua sungguh dan nyata. Lalu pesan itu masuk. “Shalom, Bu Nia. Saya baca tulisan-tulisan njenengan di grup, dan terus terang, saya setuju. Tapi saya nggak berani komentar terbuka. Matur nuwun ya, sudah berani menyuarakan yang banyak dari kami pikirkan tapi nggak berani sampaikan.” Nia membaca pelan, lalu menunjukkannya ke Rio. Ia mengangkat alis. “Satu lagi.” Beberapa hari kemudian, datang pesan lain dari jemaat yang selama ini mereka kira ‘diam saja’. Lalu satu lagi. Dan satu lagi. Sebagian besar diam-dia...

Bab 8 – Gereja dalam Cermin

Malam itu pulangnya sepi. Jalanan Yogyakarta sudah sepi juga. Tapi di kepala Rio dan Nia, lalu lintas pikiran padat merayap. “Jadi ini puncaknya,” Nia berkata pelan, sambil selonjoran di sofa. “Dipanggil, diperingatkan, dan mungkin... dikeluarkan secara halus.” Rio duduk di lantai, bersandar di meja kecil tempat Alkitabnya terbuka. Ia menatap kosong ke arah lampu gantung. “Kalau gereja itu tubuh Kristus, lalu kenapa ada organ yang dikeluarkan hanya karena bilang ‘ini salah’?” Nia menatapnya. “Mungkin karena tubuh itu sedang kena autoimun. Sistemnya keliru mengenali musuh.” Rio menoleh. “Analogi yang... menarik.” Ia nyengir tipis. Mereka diam sejenak. Lalu Nia bangkit, menuang teh hangat, dan duduk di sebelahnya. “Aku nggak nyesel,” katanya. “Kalau harus diasingkan demi Firman, itu lebih baik daripada diterima karena kompromi.” Rio mengangguk. “Aku juga. Tapi... jujur, aku sedih. Bukan karena kehilangan jabatan pelayanan. Tapi karena mereka nggak sadar kalau yang mereka bela buk...

Bab 7 – Undangan yang Tak Ramah

 Undangan itu datang lewat WA, dikirim oleh Sekretaris Majelis. Singkat. Formal. Dingin. “Shalom, Pak Rio dan Bu Nia. Dengan ini kami mengundang Bapak dan Ibu untuk hadir dalam pertemuan klarifikasi bersama Majelis dan Pendeta, hari Kamis pukul 19.00 di ruang pertemuan gereja. Terima kasih. Tuhan memberkati.” Rio membacanya sambil mengangkat alis. “Klarifikasi? Kita ini tamu dari luar planet, ya?” Nia hanya tersenyum. “Ya sudah, datang saja. Pakai baju terbaik. Biar kelihatan elegan meskipun dijemput amarah.” Hari Kamis malam, mereka datang tepat waktu. Ruang pertemuan sudah penuh: semua majelis, sekretaris, bendahara, dan tentu saja—Pendeta. Meja panjang di tengah. Rio dan aku duduk di sisi seberang. Seperti sidang. Pendeta membuka pertemuan. Suaranya lembut, tapi intonasinya mengandung tekanan. “Kami mengundang karena merasa perlu meluruskan berbagai hal yang sudah berkembang di grup WA jemaat. Ada banyak keresahan yang timbul karena sikap kritis Bapak dan Ibu yang disam...

Bab 6 – Jemaat dalam Bayang-Bayang

Sejak beberapa minggu terakhir, suasana ibadah berubah. Bukan karena tata liturgi—itu masih seperti biasa: lagu pujian, doa syafaat, kotbah yang makin dangkal. Tapi aura di dalam ruang ibadah itu… tegang. Seperti ada percikan api yang ditutup karpet tebal—tidak terlihat, tapi terasa panasnya. Setiap kali Rio dan Nia datang, beberapa kepala langsung menoleh. Entah karena penasaran, atau karena mereka dianggap ancaman. Rio tetap berjalan tenang. Senyum tipis. Duduk di bangku belakang seperti biasa. Nia menggamit lengannya dan berbisik, “Kita kayak tokoh antagonis di sinetron gerejawi.” Rio tertawa. “Tapi justru antagonis yang pakai ayat. Ironis.” Satu hal yang menarik: makin banyak chat pribadi masuk. Kadang dari orang yang tak mereka duga. Ada yang bilang, “Kami baca semua penjelasan Pak Rio. Jujur, kami baru sadar banyak hal yang selama ini kami anggap biasa, ternyata nggak sesuai Alkitab.” Ada juga yang lebih hati-hati, “Tolong jangan sebut nama saya ya, tapi saya dukung. Terus...

Bab 5 – Yes Men dan Para Pengkultus

Hari Minggu, usai ibadah, mereka tak langsung pulang. Seperti biasa, mereka duduk di bangku paling belakang, menunggu jemaat bubar. Rio ingin berbicara langsung dengan salah satu majelis yang mereka rasa masih bisa diajak berpikir jernih—Pak Daniel. “Pak Dan, saya boleh ngobrol sebentar?” Pak Daniel agak kaget, tapi tersenyum. “Oh iya, Pak Rio… ayo.” Mereka duduk di bangku kosong, hanya bertiga. Rio langsung to the point. “Pak Dan, saya dan Nia makin gelisah, karena beberapa kotbah akhir-akhir ini makin jauh dari teks. Terutama soal natur manusia dan kedaulatan Allah. Kami sudah coba sampaikan ke Pak Pendeta langsung, tapi tidak ditanggapi. Kami juga menyampaikan di grup, tapi malah disindir balik.” Pak Daniel tertunduk. Wajahnya tak sekeras pendeta. Tapi juga tak cukup kuat untuk berdiri tegak. “Saya ngerti keresahan kalian, Pak Rio. Tapi… begini ya… kadang memang lebih baik kita jaga damai. Biar Tuhan sendiri yang urus.” Rio tersenyum tipis. “Itu ayat mana, Pak, tentang ‘jag...

Bab 4 – WAG Memanas

 Seminggu berlalu sejak pesan pertama Rio dikirimkan. Satu per satu, kalimat kritis mulai muncul di grup WhatsApp jemaat. Tapi bukan dari pendeta. Bukan juga dari majelis. Dari Rio dan Nia. Mereka tak pernah berniat membuat keributan. Tapi kebenaran kadang memang terdengar seperti gangguan di telinga yang terlalu lama nyaman. Hari itu Rio mengirim satu gambar berisi kutipan: “Manusia mati dalam dosa. Kapan terakhir kali kita mendengar ini dikotbahkan?” — Budi Asali Disusul dengan penjelasan singkat dan beberapa ayat pendukung. Beberapa jemaat menjawab dengan emoji jempol. Tapi tak lama kemudian, seorang majelis—Pak Adrian—menulis: “Mungkin tidak semua hal perlu dibahas di WAG jemaat, Pak Rio. Bikin nggak nyaman juga.” Rio membalas sopan. “Terima kasih tanggapannya, Pak. Kami hanya berharap kebenaran menjadi topik yang wajar dibicarakan bersama, bukan sesuatu yang dianggap mengganggu. Kalau bukan di komunitas gereja, lalu di mana lagi kita saling menajamkan?” Suny...

Bab 3 – Teguran Pertama

Hari itu Senin. Cuaca mendung, hujan rintik-rintik di luar. Rio duduk di meja makan, Alkitab terbuka di sebelah laptopnya, dan secangkir kopi yang sejak tadi tidak disentuh. Ia sedang menyusun pesan WhatsApp. Kalimat pertama sudah diketik, lalu dihapus. Diketik ulang. Dihapus lagi. Nia duduk di sofa, melipat cucian sambil mengamati gerak-geriknya. Rio memang perfeksionis dalam merangkai kata, apalagi kalau menyangkut hal serius seperti ini. Akhirnya, dia kirimkan padaku: “Nia, ini udah cukup sopan belum?” Nia membaca perlahan. Bunyinya begini: Selamat pagi, Pak Pendeta. Saya dan istri selama beberapa bulan terakhir mendalami doktrin Alkitabiah tentang keselamatan, dan kami bersyukur Tuhan menolong kami melihat banyak hal yang sebelumnya kami anggap biasa. Kami menyimak kotbah kemarin, dan ingin menyampaikan beberapa pertanyaan dan catatan terkait bagian yang menyebutkan bahwa Tuhan menunggu manusia membuka hati terlebih dahulu. Mohon ijin, kami lampirkan beberapa ayat dan pen...

Bab 2 – Beda Itu Nyata

Mereka masih rutin ikut ibadah online gereja lokal tiap Minggu pagi. Duduk rapi di ruang tamu, kopi hangat di tangan, catatan Alkitab terbuka di pangkuan. Tapi makin hari, kotbah-kotbah itu mulai terdengar asing. Ada kalimat-kalimat yang dulu mereka terima begitu saja, tapi sekarang justru bikin mereka saling lirik. Seperti: “Tuhan menunggu kita membuka hati, baru Dia bisa bekerja…” Atau: “Manusia punya kehendak bebas mutlak untuk menerima atau menolak keselamatan…” Rio mengerutkan dahi. Nia langsung mencatat ayat Efesus 2:1 di notes-nya: “Kamu dahulu mati karena pelanggaran-pelanggaran dan dosa-dosamu.” Mati. Bukan sakit. Bukan lemah. Tapi mati. Gimana mungkin orang mati bisa "memilih"? Mereka mulai gelisah. Bukan karena mereka mau cari-cari salah, tapi karena mereka sungguh-sungguh ingin tahu: benarkah ini yang Alkitab ajarkan? Sejak itu, mereka mulai mencocokkan kotbah Minggu dengan ayat-ayat. Mereka beri highlight di Alkitab, buka tafsiran, tonton ulang kela...

Bab 1 – Awal dari Semua Ini

Pandemi memang mengubah segalanya. Bukan cuma protokol, masker, dan cara bersalaman. Tapi juga cara berpikir. Buat mereka berdua—Rio dan Nia—itu jadi awal dari sesuatu yang tak mereka duga: perjalanan menyelami kebenaran firman dengan sungguh-sungguh. Waktu dunia melambat, gereja beralih ke YouTube, dan aktivitas pelayanan dibatasi, mereka justru mulai punya ruang untuk bertanya. Tentang apa yang sebenarnya mereka percaya. Tentang kenapa banyak khotbah yang terasa menghibur tapi kosong. Tentang kenapa Tuhan harus "menunggu" manusia, padahal Dia Maha Kuasa. Awalnya cuma iseng. Nonton kelas teologi Budi Asali dari playlist YouTube yang muncul di beranda. Judulnya "Kedaulatan Allah dalam Keselamatan" . Rio menonton. Nia ikut duduk di samping, sambil lipat cucian. Setelah 15 menit, mereka saling pandang. "Yo," kata Nia lirih, "kok ini beda banget ya... dari yang biasa kita denger tiap Minggu?" Rio mengangguk. "Dan... jauh lebih masuk...

Merancang Kepercayaan, Meninggalkan Jejak: Persahabatan di Flamboyan

Kehidupan di rumah sakit sering kali diwarnai oleh ketegangan yang datang dan pergi, terutama bagi mereka yang bekerja di tingkat manajerial. Namun, di balik ketegangan itu, ada satu hubungan yang terus bertumbuh kuat dan stabil: hubungan antara dr. Tamarin, kepala instalasi rawat inap, dan Ns. Yonathan, kepala pelaksana harian instalasi. Kolaborasi mereka penuh dengan dinamika, saling mengisi, dan keteguhan hati. Hubungan itu menjalin benang merah yang menghubungkan mereka di tengah tantangan dan hiruk-pikuk rumah sakit yang tak pernah berhenti. Di tengah keberhasilan mereka menyelesaikan tantangan renovasi ruang Flamboyan—ruang rawat inap kelas 1—yang berhasil memenuhi kriteria kelas rawat inap standar meski dengan anggaran terbatas, kedekatan mereka tidak hanya terlihat dalam diskusi formal. Ada momen-momen yang lebih sederhana dan lebih intim di luar meja rapat yang memperlihatkan keutuhan hubungan mereka. Suatu Siang, Setelah Rapat Setelah rapat selesai, Tamarin dan Yonathan berja...