Kesetaraan yang Membebaskan: Iman, Budaya, dan Harmoni dalam Terang Injil

Pendahuluan: Harmoni sebagai Mitos atau Realitas?

Dalam banyak masyarakat, termasuk budaya Jawa, harmoni dipandang sebagai nilai tertinggi. Namun, harmoni versi budaya ini sering berarti keheningan — menyingkirkan konflik bukan dengan penyelesaian adil, tapi dengan tunduk pada hirarki yang dianggap “alamiah.” Struktur sosial dan gender yang menempatkan laki-laki di atas perempuan, tua di atas muda, dan bangsawan di atas rakyat, dianggap bagian dari tatanan dunia yang harus dijaga demi persatuan.

Seperti dikemukakan oleh Sciortino dan Smith (1996), dalam budaya Jawa:

“Keharmonisan yang ideal dalam masyarakat tidak dapat dicapai dalam hubungan yang setara, tetapi lebih melalui penghormatan pada otoritas hirarkis yang terbentuk dari ideologi gender patriarkal.”

Pertanyaannya: benarkah struktur semacam ini sesuai dengan nilai Injil? Di sinilah iman Reformasi — khususnya dalam tradisi Calvinis — memberikan terang kritis dan pembebasan.

Budaya yang Menindas atas Nama Harmoni

Studi “Membisu demi Harmoni” menunjukkan bagaimana budaya bisa membentuk kebungkaman terhadap ketidakadilan. Demi menjaga "nama baik keluarga" atau “kerukunan desa,” banyak perempuan yang mengalami kekerasan rumah tangga memilih diam. Budaya menuntut penyesuaian pada sistem yang tidak setara, dan menyebut itu sebagai wujud kedewasaan sosial.

Tapi ketika sebuah budaya lebih melindungi pelaku daripada korban, itu bukan harmoni — itu penindasan.

Ilustrasi dari Drama Korea: Ketika Jeruk Hadir dalam Hidupmu

Nilai-nilai kesetaraan dan perjuangan melawan budaya patriarki yang menindas tidak hanya ditemukan dalam teologi atau kajian akademik, tetapi juga muncul dalam seni dan budaya populer. Salah satu contoh menarik adalah drama Korea terbaru berjudul "When Life Gives You Tangerines." Drama ini mengisahkan seorang perempuan muda bernama Oh Ae Sun yang hidup di tengah masyarakat agraris konservatif di pulau Jeju, tempat norma-norma patriarkal masih kuat mengakar.

Oh Ae Sun mengalami diskriminasi sejak kecil, dianggap tak seberharga anak laki-laki, dan diharapkan untuk mengorbankan mimpinya demi keluarga. Namun seiring waktu, ia mulai melawan narasi lama itu, berdiri untuk dirinya sendiri dan perempuan lain di sekitarnya. Dalam salah satu adegan paling menyentuh, Ae Sun berkata kepada ibunya:

"Kalau kita terus diam, siapa yang akan tahu bahwa kita juga bisa bersuara?"

Salah satu momen paling kuat lainnya adalah ketika Yang Gwan Sik, seorang pria muda yang dikenal lembut dan setia, membela Oh Ae Sun di hadapan nenek dan ibunya. Saat itu, Ae Sun difitnah karena dianggap terlalu mandiri dan tidak pantas menjadi istri. Gwan Sik, dengan tenang namun tegas, berkata:

"Kalau kalian menganggap perempuan harus selalu menunduk dan diam, maka kalian belum mengenal perempuan yang sejati. Ae Sun adalah orang yang mengajarkan aku tentang keberanian dan kejujuran. Aku akan berdiri di pihaknya, bukan karena aku kasihan, tapi karena dia layak dihormati."

Drama ini tidak hanya menyentuh sisi emosional, tetapi juga menyuguhkan kritik tajam terhadap sistem sosial yang melanggengkan ketimpangan gender. Perjalanan Ae Sun dan keberanian Gwan Sik menjadi simbol bahwa perubahan dimulai ketika seseorang berani bersuara — dan bahwa kesetaraan adalah perjuangan yang layak untuk diperjuangkan, meski pelan dan penuh tantangan.

Ilustrasi dari Sastra: Minke dan Nyai Ontosoroh dalam Bumi Manusia

Nilai-nilai kesetaraan dan keberanian melawan sistem patriarkal juga hadir kuat dalam karya sastra Indonesia klasik: Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer. Dalam novel ini, kita mengenal sosok Nyai Ontosoroh, seorang perempuan Jawa yang “hanya seorang gundik,” namun tampil sebagai perempuan berpendidikan, berani, dan bermartabat. Ia tidak tunduk pada sistem hukum kolonial yang menganggapnya warga kelas dua, dan ia menolak budaya Jawa yang memperlakukannya sebagai barang.

Dalam percakapannya dengan Minke, Nyai Ontosoroh berkata:

“Aku telah belajar menerima diriku sebagai manusia. Bukan sebagai barang, bukan sebagai milik, bukan sebagai budak. Aku manusia, dan itu cukup.”

Kisah Nyai Ontosoroh adalah kritik tajam terhadap budaya yang meminggirkan perempuan. Ia tidak hanya bertahan, tapi melawan dengan pikiran, kata-kata, dan kasih kepada anaknya. Ia menjadi cermin bahwa martabat manusia bukan ditentukan oleh status sosial, gender, atau pengakuan negara, tetapi oleh kesadaran dirinya sebagai ciptaan Allah yang utuh.

Sementara Minke — tokoh utama pria — yang semula bangga dengan pendidikan Eropa-nya, justru banyak belajar tentang kemanusiaan dan keberanian dari perempuan yang oleh masyarakat disebut hina. Relasi mereka menjadi cermin bahwa kesetaraan tidak selalu datang dari sistem, tapi bisa lahir dari relasi yang jujur dan saling menghormati.

Iman yang Membebaskan: Kesetaraan dalam Kristus

Injil memperkenalkan paradigma baru: bahwa setiap manusia — laki-laki dan perempuan, tua dan muda, miskin atau kaya — adalah sama berharganya di hadapan Allah.

“Dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus.”
(Galatia 3:28)

Dan dari sinilah, nilai-nilai Calvinisme memberi dasar teologis yang kuat untuk menentang sistem budaya yang tidak adil.

Nilai-Nilai Calvinisme sebagai Kritik terhadap Ketidakadilan Budaya

1. Imago Dei – Martabat Semua Manusia

Calvin menekankan bahwa setiap manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah (Imago Dei), terlepas dari status sosial atau gender. Ini berarti tidak ada justifikasi teologis untuk sistem yang merendahkan martabat perempuan atau kaum miskin.

“Kita tidak bisa melihat manusia lain, betapa rendah dan hina pun kelihatannya, tanpa melihat pantulan gambar Allah di dalamnya.”
(John Calvin, Institutes of the Christian Religion, II.8.39)

Berhadapan dengan budaya Jawa yang mengagungkan kelas dan usia, pandangan ini menuntut kesetaraan dalam perlakuan dan penghargaan.

2. Kedaulatan Allah – Bukan Manusia atau Struktur Sosial

Calvinisme mengajarkan bahwa Allah yang berdaulat — bukan sistem manusia, bukan struktur budaya, bukan tradisi patriarkal. Oleh karena itu, sistem sosial apapun yang memperbudak sesama atau melanggengkan ketidakadilan harus dipertanyakan dan ditaklukkan di bawah otoritas Kristus.

Ini kontras dengan budaya yang menjadikan hirarki sebagai titah alam atau kodrat sosial, seolah itu tak bisa diubah.

3. Prinsip Kehidupan yang Diubah – Panggilan Bertransformasi

Dalam pemikiran Calvin, iman yang sejati menghasilkan transformasi hidup. Termasuk di dalamnya adalah pembaruan cara kita memperlakukan sesama.

“Kamu telah belajar mengenal Kristus ... supaya kamu dibaharui di dalam roh dan pikiranmu.”
(Efesus 4:20-23)

Iman Kristen bukan hanya soal masuk surga, tetapi soal menjadi terang dan garam — menghadirkan keadilan, kasih, dan kebenaran dalam relasi sosial yang rusak.

Menuju Harmoni yang Adil dan Sejati

Dengan demikian, iman Kristen — dan khususnya warisan Calvinis — memberi kita dasar untuk mengatakan: harmoni sejati tidak lahir dari penindasan, melainkan dari keadilan. Dalam Kristus, kita tidak hanya dipanggil untuk hidup damai, tapi untuk memperjuangkan damai yang berkeadilan dan setara.

Kesetaraan bukan sekadar gagasan modern atau nilai barat — ia adalah inti dari ciptaan dan penebusan. Dan suara iman kita dibutuhkan, bukan untuk menjaga status quo budaya, melainkan untuk bersaksi tentang kasih Allah yang memulihkan relasi-relasi yang timpang.

Penutup: Saatnya Tidak Membisu Lagi

Budaya Jawa mengajarkan kita pentingnya tenggang rasa dan menjaga keharmonisan. Namun, ketika harmoni dicapai dengan membungkam ketidakadilan, maka sudah saatnya iman berbicara.

Iman Kristen — dalam terang Injil dan nilai-nilai Reformasi — memanggil kita bukan untuk membisu demi harmoni, melainkan bersuara demi keadilan. Karena hanya ketika martabat semua manusia diakui dan dilindungi, barulah harmoni sejati bisa terwujud.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Doa bagi Kota Tercinta

Kasta

Yehova Zebaoth, TUHAN semesta alam.