Postingan

Menampilkan postingan dari Februari, 2013

Doa bagi Kota Tercinta

Saya masih ingat, waktu itu saya masih kelas satu SMP. Suasana negeri terasa sedemikian mencekam. Isu-isu akan adanya pembakaran atau perusakan rumah-rumah ibadah menghantui kota-kota di Indonesia, termasuk kota di mana saya tinggal, Yogyakarta. Kerusuhan-kerusuhan dimulai dengan peristiwa penyerbuan markas sebuah partai politik pada tanggal 27 Juli 1996, menyebar ke Situbondo (meskipun mungkin tidak berhubungan secara langsung), Surabaya, Kerawang, Rengasdengklok, Pekalongan, Tasikmalaya, dan Kalimantan Barat. Suasana sungguh kelam dan mencekam.                 Yang masih menjadi ingatan yang sangat membekas adalah waktu itu, ketika masih pelajaran agama, seorang kakak kelas dengan gaduh menangis mengabarkan berita buruk. Waktu itu internet belum seperti sekarang, baru beberapa orang saja yang bisa mengaksesnya. Ia, sang kakak kelas (mbak Tina), dengan sesenggukan melapor ke Bu Indarti (guru agama SMP 5) tentang isu bahwa Yogyakarta akan segera bernasib sama seperti Situbondo dll.

Sabar

Kasih itu sabar (1 Korintus 13:4a)                 Bahasa Inggris dari kata sabar kita kenal sebagai patient. Bukan kebetulan bahwa kata ini, patient , berkorelasi atau berhubungan dengan kata “pasien” dalam konteks rumah sakit. Kita mengenal kata “pasien” sebagai orang yang mempercayakan dirinya untuk diperiksa oleh dokter, untuk mengetahui apakah dirinya sehat atau sakit. Kegiatan yang paling jamak kita jumpai diakukan oleh pasien adalah menunggu. Entah itu menunggu waktu untuk diperiksa, menunggu dipanggil perawat, menunggu hasil pemeriksaan, menunggu waktu rawat inap, menunggu kapan diperbolehkan pulang oleh dokter, dan lain sebagainya. Dalam kegiatan menunggu itulah diperlukan apa yang dinamakan sebagai ‘sabar’. Sabar menunggu. Sabar menanti kepastian.                 Bukan hanya pasien yang memerlukan kata ‘sabar’ dalam keseharian mereka. Para perawat pun sangat akrab dengan kata ini. Mereka harus sabar saat dikomplain atau digerutui pasien yang sudah kehilangan kesabaran

Sangkakala Berkumandang di Solo

Gambar
Hari Minggu yang cerah. Rombongan paduan suara Sangkakala telah tiba di gedung Gereja Kristen Jawa Manahan Surakarta (Solo). Waktu masih menunjukkan pukul enam pagi. Rasa kantuk masih menggelayuti sebagian anggota Sangkakala. Maklumlah. Mereka harus bangun pagi-pagi sekali sebelum jam empat pagi untuk kemudian melakukan perjalanan sekitar 60 km. Dari Yogyakarta alias Jogja ke Surakarta alias Solo. Dari GKJ Gondokusuman ke GKJ Manahan. Rasa lapar diobati dengan sebekal arem-arem. Cukup mengenyangkan, memberi energi cukup untuk bernyanyi. Ada apa gerangan sehingga Sangakakala yang terbilang sudah adiyuswa ini harus bersusah-payah sedemikian rupa?                 Rupanya, ini adalah perwujudan dari hasil musyawarah Sangkakala beberapa waktu yang lalu di mana akhirnya sebagian anggota memutuskan untuk pergi melawat ke GKJ Manahan dan pepathannya (Blulukan), mengikuti tugas sinodal tukar mimbar Pdt. Siswadi. Dalam lawatan ini, sedianya Sangkakala akan membawakan dua lagu yang suda

Presentasi Bak Tahta Pengadilan TUHAN

Siang ini, teman sekerjaku, dr. Yohan, mendapat tugas mempresentasikan kasus menarik dalam setting pelayanan gawat darurat. Dr. Yohan harus mempresentasikan kasusnya di depan Komite Medik, yaitu semacam dewan perkumpulan dokter-dokter dalam rumah sakit. Tujuan dari presentasi ini adalah terutama untuk menilai dan menguji apakah sang presentator sudah cukup menguasai permasalahan dan apakah ia layak untuk ditempatkan di IGD. Sudah dua setengah tahun dr. Yohan, begitu juga aku, berstatus sebagai pegawai kontrak di Rumah Sakit Bethesda. Dalam waktu dua setengah tahun itu, kami para dokter kontrak ini diwajibkan mengikuti rotasi di berbagai bagian dan jaga di IGD maupun Balai Pengobatan satelit untuk belajar mengenal tugas-tugas sebagai dokter umum dan mengetahui kompetensi apa saja yang harus kami miliki. Waktu dua setengah tahun pun berlalu dengan suka dukanya. Dan, inilah saat salah satu dari kami dinilai melalui presentasi kasus. Giliran dr. Yohan kali ini, yang pertama dari angkata

Sopir Taksi yang Ramah

TUHAN… Tolong ya, supaya aku dapat sopir taksi yang baik dan ramah. Amin.                 Waktu menunjukkan jam dua siang. Waktu pulang kerja. Hujan turun dengan derasnya. Untung tidak disertai angin kencang. Aku dan Mas Cah, pasangan hidupku alias suamiku, menjemput Asa di Tempat Penitipan Anak (TPA) seperti biasanya. Asa adalah anak anugerah TUHAN yang Dia percayakan untuk kami rawat. Baru berumur lima bulan dia, tapi polah tingkahnya sungguh luar biasa. Aktif dan terkenal ramah. Puji Tuhan! Kembali ke setting TPA… Hujan masih belum  berhenti, tapi sudah tidak sederas sebelumnya. Kami memutuskan untuk membawa pulang Asa dengan taksi saja. Yang naik taksi adalah aku dan Asa, sedangkan Mas Cah naik motor sambil membawa tas-tas.                 Sambil menunggu Mas Cah memanggil taksi, aku berdoa dalam hati supaya mendapat sopir taksi yang ramah dan baik hati, tidak judes atau dingin. Sudah dua kali aku naik taksi sambil menggendong Asa sebelum ini. Dua kali pula aku mendapat s