Postingan

Menampilkan postingan dari 2013

Budaya Tulis dan Budaya Lisan

Aku masih melanjutkan membaca buku "Healing & Christianity", mungkin bakal aku perpanjang meminjamnya. Banyak hal menarik menarik yang aku dapatkan dari sejarah pelayanan kesembuhan ilahi dalam iman Kristen. Aku heran dan kagum akan ketelimam Pak Kesley, sang penulis buku, dalam menggali informasi dan memaparkannya secara runtut. Aku makin takjub pula dengan budaya tulis yang sudah mengurat akar dalam masyarakat Barat itu, sehingga menghasilkan karya-karya tulis yang membentuk sejarah dunia. Bagi masyarakat Timur, khususnya Indonesia yang lebih banyak bertutur lisan, budaya tulis baru dikembangkan kemudian. Tidak heran jika tidak/belum banyak dijumpai karya-karya tulis dari anak bangsa yang cukup menyejarah. Oleh karena itu, aku harus terus belajar menulis dan menulis lebih sering. Meskipun karya tulis ilmiah belum terlalu membudaya, bangsa Indonesia aku dapati kaya akan karya sastra. Bangsa Indonesia memang gagap dalam mengumpulkan dan memaparkan data-data secara ilmia

Tunduk dan Sabar

Sering terpikir olehku, mengapa aku yang cukup percaya akan kesembuhan ilahi ini harus membutuhkan obat rutin untuk menjagaku tetap stabil dari "mood swing" yang ekstrim. Untuk apa? Bukankah cukup hanya dengan percaya dan bergantung pada TUHAN, tanpa harus minum berbiji-biji obat mahal, aku sudah bisa disembuhkan? Mengapa harus repot-repot menunggu dinyatakan sembuh oleh dokter? Ini jawabanku saat ini. Mungkin aku perlu belajar berjalan dalam otoritas yang benar dengan penuh kesabaran, sebagai pelengkap dari imanku. Dengan hidup dalam otoritas yang benar, aku aman dari segala macam "tuduhan" dari si pendakwa. Dan mungkin dengan sikap tunduk itu, aku dapat menjembatani antara iman dengan pengetahuan. Maka, aku rela mnejadi pion TUHAN dalam rangka dialog iman dan pengetahuan ini. Dengan demikian, aku dapat melanjutkan hidupku dengan bangga dan penuh syukur.

Depresi yang Mengintip

Obat rutin yang kuminum sekarang diselingi absen 2 hari dalam seminggu. Untuk memudahkan, aku libur minum obat tiap hari Senin dan Kamis. Seperti puasa saja ya! Untuk kesekian kalinya, aku menjalani "tappering off" obat rutin. Semoga kali ini bisa sampai lepas obat secara perlahan-lahan. Tantangannya adalah kalau timbul episode mania dan/atau depresi yang hebat. Tapi berdasarkan pengalaman, biasanya ada "warning sign" terlebih dahulu sebelum episode yang nyata itu benar-benar muncul. Kalau mau mania, biasanya yang paling tampak adalah jam tidur yang makin berkurang. Sebaliknya, kalau mau depresi, jam tidurku menjadi bertambah. Dan saat ini aku sepertinya akan "swing" ke episode depresi. Untuk mengatasinya,  biasanya pada episode mania, aku menciptakan karya-karya yang kreatif entah itu tulisan, gambar, musik. Pada episode depresi, aku akan lebih banyak membaca, menulis, dan berinteraksi dengan sesama. Episode depresi harus kuatasi dengan tetap "terh

Tentang Kesembuhan Ilahi--Sebuah Pembelajaran

Hari-hari ini aku sedang membaca buku perpus berjudul "Healing and Christianity". Mengapa aku memilih buku ini? Atau, mengapa buku ini memilihku? Mungkin karena TUHAN ingin menyampaikan sesuatu secara khusus perihal kesembuhan ilahi. Mungkin aku memerlukan sepercik hikmat pengetahuan tentang kesembuhan, entah untuk diriku sendiri atau untuk kubagikan. Apapun itu, aku akan baca buku ini dengan hati yang terbuka dan penuh pengharapan. Selain membaca untuk kesenangan, aku membaca ini juga untuk belajar supaya terjadi transformasi hidup. Mungkin ini alasan aku memilih membaca buku tersebut secara khusus. Dalam hatiku, aku percaya akan "kesembuhan ilahi". Aku percaya bahwa TUHAN masih bekerja mengadakan mujizat kesembuhan sampat saat ini. Meskipun dunia medis klinis telah berkembang sedemikian rupa, aku percaya bahwa Dia masih sanggup dan mau melakukan intervensi kasih dan kuasa ke dalam dunia materi. Aku mendapati bahwa salah satu kendala adalah "bahasa". Ad

In Memoriam Boncel

Alkisah, hiduplah seekor anjing besar berbulu emas bernama Boncel. Sifatnya yang ceria dan suka tertawa membuat banyak orang yang melihatnya ikut senang dan gembira hati. Boncel terkenal dengan sifat ramah dan suka bersahabat, khas dimiliki oleh anjing serasnya, golden retriever. Tingkah polahnya yang suka pecicilan kerap menimbulkan gelak tawa orang-orang di sekitarnya. Keluargaku mengadopsi Boncel sejak ia berusia empat bulan. Waktu itu badannya masih kecil dan sifatnya masih malu-malu anjing. Pertama kali masuk ke rumah Pelem Kecut, anjing kecil berbulu emas itu belumlah bernama. Maka, kami sekeluarga mencari-cari nama yang tepat untuknya. Bapak sempat mengusulkan nama “Ribut” karena si kecil itu suka menggonggong keras-keras tidak tahu waktu. Ibu mengusulkan nama “Roy”, mungkin karena terdengar keren. Setelah berdiskusi dengan kakak yang waktu itu masih kuliah di Jepang, aku mengusulkan nama “Boncel” yang diterima secara aklamasi sebagai nama sah si anjing kecil berbulu emas. Bela

Perjalanan Menyembah Tuhan bersama Don Moen dkk

Sabtu sore tanggal 2 November 2013 kemarin, kami (saya, Mas Cah, Naomi dan suaminya, serta Stevany) melakukan perjalanan ke Solo untuk menikmati konser musik pujian penyembahan bersama Don Moen dan Lenny Le Blanc. Perjalanan yang ditempuh dengan mobil sewaan terbilang cukup menegangkan sehingga mampu membuat saya merapal kalimat doa mohon keselamatan sampai di tujuan berulang-ulang. Jalanan cukup padat merayap sehingga waktu tempuh yang kami butuhkan menjadi panjang. Belum cukup dengan itu, tiket gratisan yang kami punya mewajibkan kami untuk masuk pintu benteng Vas Ten Burg di seberang sana. Walhasil, jadilah perjalanan malam kami bertambah menu dengan lintas alam benteng cagar budaya yang menjadi landmark kota Solo itu. Tidak apa-apa, cukup menyehatkan jiwa dan raga kok. Beruntung, MaS Cah membawa lampu senter kecilnya yang amat sangat bermanfaat itu. Kami memasuki lokasi konser sudah terlambat lebih dari satu jam dari jadwal. Baru sekitar jam tujuh konser dibuka dengan menampil

Atmosfer Surga

Atmosfer kemenangan yang ada pada gereja yang sudah menang itu kubawa dalam hidupku di dunia dalam gereja yang berjuang. Atmosfer kemenangan itu kualami dan kurasakan manakala kurenungkan janji kehidupan kekal bersama TUHAN. Hati dan pikiranku dipenuhi bayangan dan suasana yang terasa saat aku benar-benar hidup kekal bersama TUHAN. Contoh bayangan indah dan "nengsemake" itu adalah bagaimana orang-orang yang mengasihiku dan mengenalku memberiku semangat untuk terus berjuang dalam atmosfer kemenangan. Aku membayangkan misalnya bagaimana mbah Kasmolo dan mbah Giyono menyemangatiku dari surga sana. Aku membayangkan TUHAN berkata, "Lihat itu, Kasmolo, Giyono, cucumu yang sedang berjuang itu! Beri semangatlah dan banggalah..." dst dst. Membayangkan itu membuat hatiku penuh rasa haru karena bahagia yang amat sangat. Semangat hidupku terpompa. Dan aku biarkan suasana surga itu melingkupi hati dan pikiranku. Demikianlah yang kudapatkan sewaktu aku lari-lari pagi ini. Barukh

Dunia Menanti Jawaban

Dunia ini penuh dengan misteri di balik berbagai masalah yang belum terpecahkan. Kebencian mewarnai sikap hidup manusia yang dicengkeram ketakutan akan hal yang tidak diketahuinya. Jawaban yang klise dan dangkal dari para manusia yang dipandang ahli dan "linuwih" itu membuat muak, bosan, dan menyuburkan apatisme. Kehausan dan kelaparan akan kebenaran yang sejati dan hakiki sedang melanda generasi manusia yang hidup di zaman akhir ini. Kegelapan semakin kelam, masa depan semakin suram. Dalam lembah bayang-bayang maut ini, terserulah jeritan minta tolong dari jiwa-jiwa yang sengsara, "Aku melayangkan mataku ke gunung-gunung, dari manakah datangnya pertolonganku?" Jawaban yang sudah akrab itu bisa datang segera, tapi bisa juga lama setelah jiwa-jiwa itu kembali ke kekekalan. Jeda waktu menunggu jawaban kadang dimanfaatkan oleh mereka-mereka yang sudah hilang akal, kesabaran, dan pengharapan. Maka, muncullah ide-ide dan cita-cita yang meniadakan keabsolutan yang merup

Dunia dan TUHAN

Ternyata tidak sesederhana yang kubayangkan dunia ini, jalannya sejarah manusia ini. Semakin kupelajari, semakin membuatku pusing. Rumit dan penuh liku-liku, itulah manusia dengan berbagai atributnya. Namun, semakin aku sadar betapa maha dahsyatnya TUHAN itu, sang pencipta manusia. Jika melihat hasil ciptaan-Nya yang super duper canggih dalam hal berpikir abstrak hingga mewujudkan ide-ide tersebut di dunia nyata, betapa lebih super super canggihnya pikiran TUHAN! TUHAN pasti tidak sampai pusing tujuh hingga dua belas keliling dalam mengatur dunia dan segala isinya ini. Dalam menanamkan program kecerdasan dalam diri manusia pun TUHAN pasti sudah memperhitungkan semuanya. Pribadi TUHAN pun pasti tidak sedingin Sang Arsitek dalam trilogi film "The Matrix" itu. Mau tahu seperti apa TUHAN itu? Sederhananya, lihat saja pada Yesus Kristus dari Nazaret itu! Lalu? Mulailah segala pencarian akan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan eksistensial itu dari pribadi Yesus Kristus. Dengan de

Hidup Penuh Makna

Keberadaanku di perpus yang bak kemewahan surgaawi ini bukanlah suatu hal yang harus membuatku merasa bersalah. Aku tidak harus merasa bersalah karena bisa menikmati kemewahan ini sementara di bawah sana rekan-rekan kolegaku berjibaku dengan sibuknya jadwal jaga. Aku mencoba bepikir demikian. Mereka yang berjuang setengah mati menolong pasien memperoleh derajat kesehatan yang lebih baik itu tentu berharap supaya dengan derajat kesehatan yang lebih baik, pasien dapat menjalani kehidupan yang penuh makna. Nah, apakah yang sedang kulakukan di perpus ini? Bukankah itu merupakan kehidupan yang penuh makna juga, setidaknya bagiku? Dengan demikian, bukankah aku sudah menikmati apa yang diperjuangkan oleh rekan-rekanku di garis depan? Untuk inilah--kehidupan yang penuh makna--perjuangan mempertahankan hidup di tengah gempuran maut itu berlangsung. Maka, tidak semestinyalah aku merasa bersalah atas anugerah yang kuterima ini. Sebaliknya, aku harus senantiasa bersyukur dengan mengingat bahwa seg

Bermain Bersama Bayi

Aku dan Asa habis bermain bersama. Asa bermain dan bereksplorasi. Aku menjaga dan menyemangati. Kami sama-sama belajar dan berproses sampai terobosan demi terobosan terjadi. Aku belum tahu apa yang Asa pikir dan rasakan karena dia belum bisa ngomong seperti orang dewasa. Maka, aku pun belajar menjalin komunikasi dengan cara-cara yang sederhana. Dengan bahasa tubuh dan ilmu kira-kira, aku berusaha memahami dan dipahami Asa. Prinsipku dalam belajar ini adalah tidak terlalu ngoyo tapi juga tidak malas atau asal-asalan. "Samadyane" saja. Aku kerjakan apapun yang aku bisa. Urusan selanjutnya, aku serahkan kepada Tuhan. Segala kekuatiran dan kebingungan tidak kuadopsi dalam pikiran dan perasaanku. Aku dan Asa bermain di ruang keluarga, ruang tamu, dan kamar tidur utama. Segala macam benda dapat menjadi bahan permainan dan penjelajahan Asa. Aku dan Tuhan memastikan bahwa Asa bermain dengan aman. Aku berusaha menghindari kata-kata larangan yang berlebihan. Aku gantikan dengan kata

Percikan Inspirasi: Dua Meskipun

Ada dua percikan inspirasi yang aku dapatkan hari ini sembari mencuci perkakas di dapur. Pertama, meskipun aku belum atau bahkan tidak pernah bisa merumuskan tujuan hidupku dengan tepat dan terperinci, aku akan tetap terus melakukan apa saja di hadapanku dengan hati yang antusias dan gembira. Itu berarti meskipun sampai akhir hayat aku akan terus meraba-raba, aku akan tetap menikmati rutinitas hidup sehari-hari karena itulah yang dikehendaki TUHAN. Aku tetap bersyukur karena meskipun mungkin aku tidak akan tahu persis apakah panggilan hidupku itu, aku tidak terjebak dalam ketidaksadaran massal dalam pekerjaan sehari-hari. Setidaknya, aku masih sempat 'eling lan waspada' akan siapa diriku dan ke mana seharusnya aku berada. Setidaknya, naluri elangku tidak terninabobokan oleh atmosfer lingkungan ayam. Kedua, walau aku mendapat perlakuan kurang menyenangkan dan sering terkecewakan, aku akan tetap memandang bahwa TUHAN itu baik. Aku tidak akan latah dalam merenungkn kebaikan TUHA

Iman bagi Pertanyaan Eksistensial

Ibrani 11: 8 (BIS) Karena beriman, maka Abraham mentaati Allah ketika Allah memanggilnya dan menyuruhnya pergi ke negeri yang Allah janjikan kepadanya. Lalu Abraham berangkat dengan tidak tahu ke mana akan pergi. Bagaimana bisa? Bagaimana mungkin? Bapa orang beriman itu hanya pergi begitu saja tanpa tahu arah tujuannya, tanpa bisa merumuskan dengan jelas 'destiny'nya. Bagi TUHAN, itulah hakikat karunia iman yang sejati. Beriman berarti pasrah bongkokan pada sang pemberi iman itu sendiri. Ke mana Ia mengutus, ke situlah kita pergi. Tidak perlu kita tanya sampai memperoleh jawaban yang detil. Cukuplah kita tahu garis besarnya saja. Pegangannya adalah janji TUHAN atas hidup kita yang tidak pernah gagal. Bagian kita hanya percaya saja dan melangkah terus. Kita akan tahu dan mengerti setelah kita melangkah dalam iman dan ketaatan. Kita akan memahami saat kita sudah sampai ke tujuan. Selama perjalanan, kita munbgkin masih meraba-raba dan mengira-ira. Tidak apa-apa, yang penting

Pilihan Menjadi Dokter

Mengapa begitu banyak orang yang ingin menjadi dokter? Demi apa? Status? Kekayaan? Atau panggilan? Kepuasan? Di Indonesia, dan seluruh dunia pada umumnya, anak-anak kecil bercita-cita ingin menjadi dokter. Dalam benak mereka, dokter adalah pribadi yang luhur mulia. Jas putih yang disandang melambangkan kesucian dan kemurnian hati yang sigap menolong. Ketenangan hati dan ketajaman pikiran seorang dokter menjadi syarat utama kesembuhan. Obat-obatan dan tindakan medis menjadi sarana efektif di tangan dokter yang cakap. Berurusan dengan penyakit dan kondisi kritis merupakan makanan sehari-hari seorang dokter. Karena kemampuannya dalam mendiagnosa dan memberi terapi itulah banyak orang mempercayakan proses kesembuhan di tangan dokter. Tidak heran, profesi dokter masih dihormati dalam masyarakat sampai sekarang. Ketika aku memilih profesi dokter sebagai bagian dari identitasku, aku melakukannya bukan tanpa sadar. Aku memilih dengan kesadaran bahwa profesi dokter dapat menjadi sarana efekti

Sekali Lagi Tentang Kegelisahan Kudus

TUHAN Yesus, (Terima kasih untuk harta karun rohani yang kita temukan dan nikmati bersama melalui buah pikiran manusia dalam bentuk tulisan yang dibukukan) Proses, perjalanan, pencarian kita masih berlangsung. Mengutip Paulus sang rasul, bukan seolah-olah aku sudah memperolehnya. Aku rindu dan ingin betul menemukan harta rohani yang Engkau taruh supaya kutemukan. Setelah ketemu, akan kuamati, kugosok-gosok, kupoles, kuasah, kubentuk hingga menjadi sebongkah berlian rohani yang cantik dan mahal. Apapun itu, akan kucari dan kukejar sampai ketemu. Aku mencari hikmat terdalam, pengetahuan tertinggi, kesadaran diri yang sejati yang sudah kudapatkan dalam-Mu, Yesus. Aku sedang berproses membuka bungkus kado selapis demi selapis. Aku akan buka terus bungkusan itu sampai kudapatkan intisari anugerah-Mu. Akan kutuliskan perjalanan ini, entah panjang entah pendek, entah sampai kapan, entah sampai menemukan atau tidak. (Karena aku tahu apa yang kulakukan ini tidaklah sia-sia). Dan, perjalana

Asa Sakit

Asa sakit. Aku malah tertidur lama. Syukurlah ada ibu yang masih sigap menolong. Tapi, tetap saja ini tidak baik. Secara wang sinawang pun tidak. Bukankah aku adalah ibunya Asa? Seharusnya, akulah yang ambil tanggung jawab terbesar untuk menolong dan menghibur Asa, bukannya melimpahkannya pada ibu dan Lek Sar. Meskipun, aku menginap di Pelem Kecut dan di sini adalah kesempatanku untuk beristirahat dari capeknya mengasuh bayi. Aku kudu mengingat kembali janji dan komitmen yang pernah kubuat perihal tugas dan tanggung jawabku sebagai ibu. Aku pernah berjanji pada TUHAN untuk menjadi ibu bagi Asa dengan segala hak dan kewajiban istimewanya. Itu berarti, aku harus siap kehilangan jam-jam tidurku yang nyaman itu. Aku harus rela mengantuk ria manakala Asa rewel minta digendong saat hari sudah larut malam atau masih dini hari. Selama ini, aku masih terlalu mengandalkan kehadiran dan kesediaan mereka-mereka yang ada di dekatku untuk menolong Asa. Syukur masih ada, kalau sudah tidak ada bagaiam

Utusan Khusus dengan Tugas Khusus

Perasaan atau kesadaran bahwa diri kita adalah 'utusan khusus' dan memiliki 'tugas khusus' itu penting. Hal ini menjadi motivasi intrinsik yang mendorong kita untuk menjalani hidup yang lebih bermakna. Dengan menumbuhkan kesadaran bahwa diri kita adalah benar-benar 'utusan khusus' dari surga atau Kerajaan Allah, kita akan memiliki rasa kebanggaan akan identitas. Kita akan merasa dimiliki. Kita akan dengan mudah mengeyahkan perasaan terasing atau terhilang. 'Tugas khusus' yang kita emban sanggup mendorong kita untuk bekerja di atas rata-rata, tidak biasa-biasa saja. Setiap hari, kita dapat memperbarui atau membentuk ulang 'tugas khusus' kita untuk membuat rutinitas sehari-hari menjadi lebih menantang. Misalnya, tugasku sebagai dokter yang ditempatkan di bagian rekam medis dan piutang ini. Karena setiap hari berkutat dengan hal-hal administratif yang tidak bersentuhan langsung dengan pasien, aku rawan untuk terserang rasa bosan dan disorientasi t

Metanoia

Ternyata aku masih melakukan metawork hari ini. Apa itu metawork? Dari bacaan spirit motivator dua hari yang lalu, metawork diartikan sebagai seolah-olah melakukan suatu pekerjaan padahal sebenarnya hanya pekerjaan semu. Dengan kata lain, metawork adalah nampaknya saja sedang bekerja tapi sebenarnya tidak menghasilkan apa-apa. Tampaknya aku sedang sibuk berpikir dan menulis-nulis sesuatu, padahal sebenarnya apa yang kupikirkan dan kutuliskan itu tidak relevan dengan kehidupanku. Benarkah demikian? Tidak juga. Dalam berpikir itu, aku sedang berproses mencari dan belajar. Aku sedang mencari tahu kembali apa yang menjadi passion hidupku. Berarti selama ini aku ngapain aja? Terlalu sibuk dengan apa? Aku terlalu sibuk dengan hal-hal yang sekunder dan tersier mungkin. Aku terlalu asyik berlari ke sana ke mari tanpa mau berhenti untuk menekuni apa yang menjadi tugas dan tanggung jawabku. Aku mungkin belum kena batunya lagi. Tapi apakah harus menunggu sampai kena batunya dulu baru aku sadar d

Memulai dan Menemukan Tujuan

Gambar
Saat yang paling terasa berat adalah saat memulai sesuatu, misalnya saat hendak membaca, menulis, belajar, bekerja, dll. Rasanya seperti ada halangan tak terlihat yang menahan kita untuk sekedar beranjak dari stadium diam. Belum lagi jika stadium diam itu adalah kondisi jiwa terendah alias malas berbuat apa-apa. Diperlukan lompatan iman yang diikuti perbuatan yang nyata untuk merobohkan hambatan tak terlihat itu. Jika hanya lompatan iman, maka tidak akan terjadi apa-apa. Betul apa kata penulis Alkitab (kitab Yakobus) yaitu bahwa iman tanpa perbuatan pada hakikatnya adalah mati. Untuk memulai sesuatu saja dibutuhkan iman dan perbuatan, apalagi untuk meneruskan secara konsisten sampai selesai. Sesungguhnya, apa yang membuat kita malas dan tidak bersemangat? Mungkin itu karena kegagalan dalam menemukan passion yang tepat bagi jiwa. Hidup jadi asal mengalir saja, tanpa tujuan yang pasti. Kehidupan jadi tampak semu, karena hanya merupakan tiruan saja dari kehidupan sejati. Jika dibiarka

Avatar

Saya senang mengikuti cerita Avatar-The Legend Of Aang maupun Avatar-The Legend of Korra . Cerita yang dikemas dalam serial animasi dua dimensi yang sangat sarat akan hikmat dan pengetahuan. Di situ diceritakan tentang adanya manusia-manusia tertentu yang memiliki kemampuan mengendalikan empat unsur alam, yaitu air, udara, api, dan bumi/tanah. Biasanya satu orang hanya mampu menguasai salah satu unsur. Sedangkan yang dinamakan dengan “avatar” adalah orang yang menguasai keempat unsur tersebut. Avatar akan terus muncul dalam setiap generasi manusia. Meskipun pribadi-pribadi avatar itu berbeda-beda, mereka punya keterhubungan dengan avatar-avatar di masa lalu. Tugas utama avatar adalah menjaga keharmonisan dunia (nyata dan roh).                 Dalam kepercayaan tertentu, avatar diartikan sebagai orang yang menjadi titisan dari pribadi yang lebih unggul seperti dewa-dewi. Avatar menjadi penghubung antara manusia dengan roh yang dihormati. Berbagai macam manusia muncul dan dianggap s

Suamiku Sahabatku

                Orangnya lucu, humoris, penuh canda tawa. Setiap ucapan dan gerak-geriknya acap kali mengundang tawa geli meskipun ia tidak pernah bermaksud melucu. Dialah Mas Cah, sang suami, pasangan hidupku yang dianugerahkan TUHAN kepadaku. Nama lengkapnya Cahyono Satriyo Wibawa. Nama panggilannya ada macam-macam, tergantung siapa yang memanggil. Di lingkungan keluarganya, dia biasa dipanggil dengan nama Bowo. Di lingkungan pekerjaannya, dia sering dipanggil sebagai Caca. Beberapa temannya memanggilnya dengan sebutan Mas Cah. Bahkan, salah seorang teman di dunia maya memberinya julukan baru “Ayok”. Ibuku malah memanggilnya dengan julukan “Cahaya”. Aku sendiri sering berubah-ubah memanggilnya. Kadang-kadang aku memanggilnya “Mas Cah” seperti beberapa temannya biasa memanggil. Tapi sering sekali aku memanggilnya dengan sebutan “popo”, pelesetan dari kata “papa”. Jika Krisdayanti dulu memanggil mantan suaminya, Anang, dengan sebutan “pipi” maka aku pun tidak mau kalah memanggil su

Didengarkan dan Dimengerti sebagai Wujud Terapi

Dari pengalamanku selama ini mengontrolkan diri setiap bulan untuk kondisi kejiwaanku, aku mendapati bahwa aku sangat senang jika diperlakukan sebagai manusia seutuhnya oleh sang terapis (psikiater), dan bukan hanya sebagai diagnosa berjalan. Selama ini sudah terhitung tiga orang psikiater yang menanganiku. Psikiater pertama adalah teman kuliah bapakku. Beliau adalah tokoh terkenal yang sering menulis di koran. Tulisannya bagus-bagus. Sayangnya, aku kurang bisa mempercayai beliau karena beliau pun tidak bisa mempercayaiku. Setiap kali memeriksakan diri, aku mendapati bahwa beliau tidak pernah mempercayai setiap ucapanku, meskipun mungkin memang banyak ucapanku yang tidak relevan. Beliau hanya berkutat pada diagnosa dan terapi tanpa pernah mengajakku berbicara secara personal sebagai manusia seutuhnya. Walhasil, aku bersikap defensif terhadap setiap langkah terapetisnya. Aku malas minum obat-obat resepannya yang sebagian besar hanya membuatku mengantuk dan tidak bisa melakukan aktivitas

Bersyukur Atas Stigma

Mungkin ini saatnya aku kembali bercerita tentang hidupku, yang jarang sekali kuungkapkan, kecuali kepada orang-orang yang sungguh-sungguh kupercaya. Ini tentang kondisi kejiwaan yang ada padaku sejak usia remaja. Mungkin juga sudah ada yang tahu dan maklum akan keadaan yang aku alami. Tapi izinkan di sini aku untuk menceritakan kembali dengan bahasaku yang semoga dapat mudah dimengerti. Baiklah, kita mulai saja ya. Aku menerima bahwa diriku didiagnosa gangguan manik bipolar. Sejak kapan tepatnya aku tidak begitu ingat. Tapi aku hanya ingin menekankan bahwa aku bersyukur dengan keadaan yang menurut pandangan umum dianggap sebagai stigma ini. Ya, stigma. Stigma sebagai orang yang 'gila', tidak waras, tidak normal, tidak umum. Aku menerima dengan rasa syukur segala macam stigma itu. Malah, aku cukup bangga dengan dianggap sebagai orang yang tidak umum, karena itu berarti aku bukanlah orang pasaran. Itu berarti ada nilai keunikan dan kehususan yang ada padaku, yang tidak dimilik

Bapakku yang Baik

                Bapak, atau ‘pak’, demikian aku memanggil ayahku. Bapak adalah seorang ayah yang menjalankan fungsinya dengan luar biasa baik. Beliau selalu berusaha menjadi suami dan ayah yang baik dengan perbuatan yang nyata. Kata-kata verbalnya memang irit dan cenderung minimal. Tapi itulah bapakku. Jika sudah asyik bekerja, lupalah beliau akan keharusan untuk berkata-kata atau bercakap-cakap. Pekerjaan sehari-harinya adalah membersihkan dan merapikan rumah dengan segala isinya. Setelah rumah beres dan bersih, barulah beliau berangkat ke kantor atau tempat kerjanya di rumah sakit ladang TUHAN di Yogyakarta. Kebiasaan uniknya ini kadang membuat ibuku gemas dan kesal karena adanya perbedaan prinsip dan pendirian. Maklum, ibuku lebih suka datang pagi-pagi tepat waktu sedangkan bapakku lebih suka datang santai tanpa mengikuti aturan jam kantor.                 Nama panggilan bapak di rumah maupun di kantor adalah sama, yaitu Erry. Lengkapnya Erry Guthomo. Beliau berprofesi resmi seb

Murakabi Selayang Pandang

Setiap Rabu sore sampai malam, aku dan Mas Cah biasanya menghadiri acara persekutuan doa dan pendalaman Alkitab kalangan keluarga berjiwa muda di lingkungan GKJ Gondokusuman Yogyakarta. Persekutuan ini akrab disebut sebagai persekutuan keluarga Murakabi, disingkat PKM. Pada awal pembentukannya, PKM ini merupakan singkatan dari Persekutuan Keluarga Muda karena awalnya dibentuk sebagai wadah bersekutu keluarga-keluarga anggota jemaat GKJ Gondokusuman yang masih terbilang muda usia perkawinannya. Seiring berjalannya waktu, ternyata bukan hanya keluarga muda saja yang menjadi anggota aktifnya, melainkan juga para ibu-ibu yang sudah janda ataupun lama usia perkawinannya. Dengan hikmat dan kearifan yang ada, maka dipakailah nama “murakabi” sebagai pengganti kata “muda”.                 Murakabi sendiri kurang lebih berarti menjangkau sampai luas, bukan hanya berguna bagi lingkungan keluarga atau kelompok sendiri. Dengan filosofi yang indah itulah persekutuan ini bertumbuh. Anggota yang d

Ibuku Pahlawanku

Ibu adalah orang terdekat yang mengenalkanku pada TUHAN dan kasih-Nya sejak aku masih kecil. Ibu jugalah yang membimbing, membombong, dan menstimulasiku sehingga aku menjadi seperti sekarang ini. Banyak hal yang ibuku lakukan yang mempengaruhiku baik aku sadar maupun tidak menyadarinya. Tulisan ini adalah sebagai penghargaan dan wujud cinta kasihku kepada ibuku, sang Kartini ladang anggur TUHAN di Yogyakarta.                 Lahir sebagai anak kelima dari delapan bersaudara, ibuku tumbuh sebagai seorang perempuan kuat yang sangat peduli kepada keluarganya. Beliau biasa dipanggil dengan nama kecilnya di tengah keluarga besar kami, yaitu sebagai bude, tante, eyang, dan ibu Titiek. Nama lengkapnya adalah Pudji Sri Rasmiati. Dengan gelar profesi kebanggannya, yaitu dokter, beliau lebih dikenal sebagai dr. Pudji di lingkungan kerja rumah sakit. Tapi bagiku, apa pun jabatan atau profesinya, ibuku tetaplah ibu yang luar biasa. Beliau tetap kupandang dan kuperlakukan sebagai ibu meskipun p

Pak Harto, Sang Pemerhati yang Penuh Aksi

Penampilannya sederhana, tidak terlalu menyolok. Pekerjaan rutinnya pun tidak terbilang spektakuler, ‘hanya’ berkutat di depan komputer menekuni data-data rekam medis. Jika aku menjadi beliau, aku pasti sudah mati kebosanan. Dialah Pak Daniel Suharta. Kami akrab memanggilnya Pak Harto, seperti nama presiden kedua Indonesia itu. Setiap hari aku berjumpa dengan Pak Harto. Bukan suatu kebetulan jika aku ditempatkan di ruangan besar kantor rekam medis bersebelahan dengan Pak Harto. Setiap pagi, kami selalu bersalam komando ria dan menyapa dengan yel “jiwa korsa”, seolah-olah kami adalah anggota Kopasus sungguhan. Maklum, aku dan Pak Harto masih berkerabat dekat dengan abdi negara alias tentara di keluarga masing-masing. Adanya persinggungan dengan para jiwa korsa di keluarga itu membuat aku dan Pak Harto memiliki pula jiwa militan yang kuat dan tangguh. Hal itu tampak dari langgam bahasa percakapan kami sehari-hari. Tidak ada rasa mengasihani diri sendiri, pesimistik, negativistik, dan b

Terima Kasih, Bu Sari

            Kami memanggilnya Bu Sari. Seorang perempuan ramah yang setia menyapa kami, para pekerja rumah sakit ini, dengan berbagai macam makanan dagangannya. Setiap jam delapan sampai sembilan pagi, Bu Sari selalu datang menyambangi kami di kulon desa , tempat favorit kami untuk makan-makan, begitu kami menyebutnya. Di kulon desa itulah keakraban yang murni dan alami terjadi manakala kami menyantap makanan dagangan Bu Sari. Ada nasi kucing (nasi dengan lauk teri atau tempe ditambah sedikit sambal khas angkringan Jogja), nasi gudangan (nasi dengan lauk sayur bayam, taoge, dengan disertai parutan kelapa), nasi pecel, dan yang terbaru adalah nasi jinggo. Minumannya pun beraneka macam ragamnya. Ada jus jambu, jus alpokat, susu kedelai, dan kadang teh hangat. Belum cukup itu, masih ditambah lagi gorengan tempe dan kletik-kletik­ khas desa seperti lanting, kacang polong goreng, ketela berbentuk kubus kecil-kecil yang digoreng, dsb. Suasana sangat meriah ditimpali senda gurau para kar