Postingan

Menampilkan postingan dari Januari, 2015

Elang Mati

Ini adalah cerita tentang seekor elang yang menyia-nyiakan hidupnya. Alkisah, ada seorang pemburu yang menaruh beberapa ekor telur elang di antara kawanan ayam hutan. Telur-telur tersebut menetas, menghasilkan elang-elang aneka rupa. Mereka hidup bersama-sama dengan ayam-ayam hutan, mengais-ngais tanah, berburu cacing, berkotek-kotek, dan terbang rendah ke sana ke mari. Tidak ada yang merisaukan hati para elang itu meskipun tubuh besar mereka merupakan keganjilan yang nyata bagi siapa pun yang melihat.                 Hingga suatu saat, elang-elang muda itu melihat seekor elang besar terbang tinggi jauh di langit biru yang cerah. Sayap lebarnya mengembang dengan gagahnya. Salah seorang elang muda itu bertanya, “Wah, kerennya, siapakah gerangan dia?”                 “Dia adalah burung elang, sang raja para burung,” sahut salah seekor ayam hutan muda, “Sudah, jangan melihatnya terus. Ayo lanjutkan tugas kita berburu cacing!”                 Para elang muda itu pun kembali menekuni

Senyum Intan

“Bu Sum, jika ada waktu, bisakah saya bertemu siang nanti sehabis pelajaran agama? Saya sudah tidak kuat lagi. Hidup saya sepertinya sudah tidak berharga lagi –Intan L. Kencana”                 Itulah sepenggal surat yang kubaca suatu pagi. Intan adalah seorang muridku dalam mata pelajaran agama Kristen di SMP tempatku mengajar. Aku sangat suka memperhatikannya saat aku mengajar di depan kelas. Kulihat Intan selalu tersenyum memperhatikan pelajaran yang kusampaikan. Senyumnya manis dan membuatku tambah bersemangat. Tapi senyum itu menghilang beberapa waktu entah mengapa.                 Suatu ketika aku menyapa Intan seusai pelajaran, “Halo, Intan! Apa kabar? Kok tidak tersenyum seperti biasanya?” Intan hanya membalasku dengan senyuman hampa. Tatapannya seperti menyimpan kesedihan yang mendalam.                 “Baik, Bu Sum. Selamat siang,” ia menjabat tanganku tanda berpamitan. Tidak ada kata, tidak ada cerita. Aku pun semakin penasaran, ada apa gerangan dengan murid yang kusa

Cuci Piring Pagi Hari

Aku bangun jam setengah enam pagi lalu segera ke dapur. Kubuka kran, air sejuk mengalir membasahi kedua tanganku. Suara gemericiknya membuatku terjaga, demikian juga kesegarannya menghilangkan kantukku. Kulihat di bak cuci sudah banyak gelas, piring, mangkuk, sendok, dan garpu yang kotor bekas makan semalam. Rasa malas membayangi benakku. Kesal aku, mengapa harus aku yang membersihkan semua ini? Mengapa tidak dilakukannya sendiri? Mencuci piring adalah pekerjaan yang menyebalkan. Selalu!                 Setahun sudah aku hidup bersama suami yang kupilih dan disetujui oleh ayah ibuku. Setahun sudah aku menjalani rutinitas mencuci piring setiap pagi. Tidak pernah aku mendapati suamiku mencuci piring atau gelasnya sendiri. Padahal, dulu ketika pacaran, ia selalu menggembar-gemborkan untuk bisa bekerja sama dalam berumah tangga. Tapi mana buktinya? Ia membiarkanku melakukan pekerjaan yang tidak kreatif ini sendirian, sementara ia asyik browsing sendiri.  Aku ingin pekerjaan cuci piring

Penyembahan Puja

Kacau! Kacau sekali jalannya ibadah di tempat pemujaan pagi itu. Penyanyi dan pemusik kejar-kejaran nada. Jemaat pun sangat tidak antusias dalam melantunkan puji-pujian. Tidak ada suasana penyembahan yang syahdu menghanyutkan kalbu. Yang ada hanyalah gerutuan dalam hati yang memuncak menjadi nyanyian sumbang. Mana mungkin ada damai sejahtera yang melegakan kalau begini caranya! Duh, Tuhan, ampunilah kami.                 Persiapanku menjadi sia-sia, acara ibadah menjadi berantakan. Padahal aku dan rekan-rekan sudah latihan dan berdoa dengan sungguh-sungguh. Alat-alat musik dan sound sistem sudah dicek semua. Demikian juga perlengkapan multi media, semua sudah siap, rapi jali. Kurang apa lagi? Apakah memang jemaat di tempat kami ini ditakdirkan untuk tidak bisa mengekspresikan pujian dan penyembahan dengan segenap keberadaan? Bukankah Tuhan merindukan umat-Nya untuk menyembah-Nya dengan segenap kekuatan, akal budi, dan tentunya roh jiwa?                 Ah, sudahlah. Aku sudah kapo

Naik Bus Kota

“Asa, bangun! Ayo, bangun. Waktunya mandi pagi!” seru mama, membuatku terbangun dari tidur bertaburan mimpi indah. Aku pun bangun sambil masih terkantuk-kantuk. Rasa haus mendorongku berteriak minta sebotol susu, “Mimiiiiik!” Dengan sigap, mama membuatkanku susu dan kuhisap dengan lahap. Sensasi mengenyot dot karet dengan menggigitinya merupakan hal ternikmat bagiku yang masih batita ini. Kata seseorang bernama Freud, entah siapa itu, aku sedang fase oral yaitu merasakan kenikmatan terbesar melalui mulut.                 Selesai berfase oral ria, aku pun mandi pagi dibantu mama dan papa. Byur, byur! Hangatnya air di ember membuatku ingin berlama-lama bermain air. Tapi seperti biasa, pasti aku disuruh cepat-cepat gosok gigi dan menyudahi acara mandi pagi yang menyenangkan. Rasa kantuk berangsur-angsur menghilang, digantikan rasa antusias. Aku merasakan gejolak euforia pagi. Endorfin dan serotonin sedang berlomba-lomba mencerahkan suasan hatiku. Rasanya ingin segera berlarian dan berm