Penyembahan Puja
Kacau! Kacau sekali jalannya
ibadah di tempat pemujaan pagi itu. Penyanyi dan pemusik kejar-kejaran nada.
Jemaat pun sangat tidak antusias dalam melantunkan puji-pujian. Tidak ada
suasana penyembahan yang syahdu menghanyutkan kalbu. Yang ada hanyalah gerutuan
dalam hati yang memuncak menjadi nyanyian sumbang. Mana mungkin ada damai
sejahtera yang melegakan kalau begini caranya! Duh, Tuhan, ampunilah kami.
Persiapanku
menjadi sia-sia, acara ibadah menjadi berantakan. Padahal aku dan rekan-rekan
sudah latihan dan berdoa dengan sungguh-sungguh. Alat-alat musik dan sound
sistem sudah dicek semua. Demikian juga perlengkapan multi media, semua sudah
siap, rapi jali. Kurang apa lagi? Apakah memang jemaat di tempat kami ini
ditakdirkan untuk tidak bisa mengekspresikan pujian dan penyembahan dengan
segenap keberadaan? Bukankah Tuhan merindukan umat-Nya untuk menyembah-Nya
dengan segenap kekuatan, akal budi, dan tentunya roh jiwa?
Ah,
sudahlah. Aku sudah kapok memimpin pujian dan penyembahan di mana tidak ada
keselarasan antara tim ibadah dengan jemaat. Meletihkan sekali rasanya.
Bayangkan saja bagaimana kita sudah bersemangat mengajak jemaat untuk
menyanyikan gita nada bagi Tuhan tapi jemaat sepertinya adem ayem saja. Atau
mereka bertepuk tangan tapi lirak-lirik samping kiri kanan karena tidak percaya
diri dan malah sibuk melihat orang lain yang juga sama-sama tidak antusias.
Apalagi saat masuk ke dalam musik penyembahan yang lembut mengalun. Semestinya,
semua dapat masuk ke dalam suasana doa sembari menyanyi. Tapi kenyataannya?
Garing! Pujian yang diulang-ulang terasa sangat lama dan membosankan. Salah
siapa ini?
Namaku
Puja Rahayuningtyas. Setengah tahun sudah aku memimpin tim ibadah ekspresif di
tempat pemujaan ini. Tantangannya banyak sekali. Mulai dari kebiasaan dan tata
cara ibadah yang terkesan monoton dan kurang bergairah, sampai ke gegar budaya
antara generasi senior dan junior yang berbeda selera musik dan pemahaman
teologisnya. Aku yang berada di antara gap generasi itu, dalam usiaku yang
menginjak kepala tiga ini, harus menjadi mediator untuk menjaga komunikasi dan
menyampaikan aspirasi. Tempat pemujaan ini, lebih tepatnya disebut gereja,
adalah gereja yang cukup dinamis bagi denominasinya. Namun
sedinamis-dinamisnya, tetap saja ada karakter yang melekat yang menjadi semacam
penghalang bagiku untuk mengajak jemaat mencoba lebih ekspresif dalam
ibadahnya, khususnya dalam melantunkan pujian sembahyang.
“Mbak
Puja,” kata bapak pendeta suatu ketika,”Mungkin ada baiknya Mbak Puja istirahat
dulu dari melayani pujian di depan.”
“Maksud
Bapak? Apakah saya sudah tidak layak lagi?”
“Bukan,
bukan begitu. Saya melihat Mbak Puja sepertinya terlalu letih. Itu saja.”
“Jadi?”
“Ambillah
waktu untuk retret pribadi, Mbak. Siapa tahu akan ada penyegaran dari Tuhan.
Untuk ibadah Natal dan Tahun Baru kali ini, biar diserahkan ke anak-anak pemuda
dan remaja saja.”
Maka,
di sinilah aku pada malam tahun baru kali ini. Tidak ada hingar-bingar
persiapan acara Natal dan tahun baru di gereja. Aku lebih banyak berdiam diri
di rumah, mengurus acara natal kecil keluargaku. Dan acara itu pun bukan aku
yang menyusun. Aku hanya membantu mengiringi musiknya saja. Ya, aku bisa
bermain piano atau kibor sekadarnya. Dan waktu-waktu luang yang ada lebih
banyak kugunakan untuk mencari wajah Tuhan—istilah umum untuk bermeditasi
secara imanku—di kamar atau di tempat aku bisa berdua saja dengan-Nya.
Kudapati
memang aku letih, lesu, dan berbeban berat. Aku terlalu terobsesi untuk membawa
jemaat bisa ikut dalam pujian penyembahan yang mengalir dalam suasana hadirat
Tuhan yang syahdu itu, meskipun tetap dalam pakem tata liturgi yang menjadi
ciri khas gerejaku. Begitu terobsesinya aku sehingga aku melupakan esensi dari
penyembahan dan pujian itu sendiri. Ya, memuji dan menyembah Tuhan itu bukanlah
paksaan dari luar. Itu adalah sikap hati yang murni. Sikap hati yang murni itu
akan terekspresikan dengan sendirinya secara alamiah tanpa dibuat-buat. Dan
manakala hati yang murni itu bersentuhan dengan hati Tuhan, maka terciptalah
atmosfer pujian penyembahan yang sangat indah. Dalam suasana itulah, hati
kita—roh dan jiwa, serta tubuh—benar-benar dapat merasakan, bahkan melihat dan
mendengar Tuhan sendiri ada bersama-sama kita.
Malam
tahun baru di rumah keluarga besarku, kami sekeluarga duduk melingkar di atas
tikar pandan yang hangat. Setelah mendengarkan renungan dari seorang saudaraku,
tibalah saatnya untuk bersaat teduh. Dengan mantap, aku memainkan musik lembut
untuk membantu saudara-saudaraku merenungkan isi firman Tuhan yang disampaikan.
Jemariku dengan lancar menari-nari menekan nada-nada merdu yang meneduhkan. Dan
tanpa kutahan-tahan, aku bersenandung mengikuti alunan nada itu. Hatiku
terangkat dalam sukacita dan damai surgawi. Kudengar satu per satu anggota
keluargaku pun turut bersenandung mengikuti irama dan musik yang lembut.
Meskipun tanpa lagu khusus, kami masing-masing mengangkat pujian spontan dari
hati masing-masing. Maka, terciptalah musik penyembahan yang maha indah dalam
balutan kesederhanaan.
Tak
satu pun yang ketinggalan dalam alunan penyembahan malam tahun baru itu. Tak
satu pun yang pulang dengan sia-sia. Semua mendapatkan berkat dan rahmat yang
tiada terhingga. Wajah-wajah penuh syukur dan pengagungan menghiasi ruangan.
Aku percaya, malaikat-malaikat pun ikut bersenandung bahagia melihatnya.
Terlebih lagi Tuhan yang menerima ungkapan syukur, doa, dan pujian itu. Maka,
aku pun bersyukur atas segala yang ada dalam hidupku. Tak sia-sia aku
menghidupi namaku, Puja. Rahayu. Ning Tyas. Pujian, damai sejahtera, di dalam
hati yang bening. ***
Komentar