Senyum Intan
“Bu Sum, jika ada waktu, bisakah saya bertemu siang nanti sehabis
pelajaran agama? Saya sudah tidak kuat lagi. Hidup saya sepertinya sudah tidak
berharga lagi –Intan L. Kencana”
Itulah
sepenggal surat yang kubaca suatu pagi. Intan adalah seorang muridku dalam mata
pelajaran agama Kristen di SMP tempatku mengajar. Aku sangat suka
memperhatikannya saat aku mengajar di depan kelas. Kulihat Intan selalu
tersenyum memperhatikan pelajaran yang kusampaikan. Senyumnya manis dan
membuatku tambah bersemangat. Tapi senyum itu menghilang beberapa waktu entah
mengapa.
Suatu
ketika aku menyapa Intan seusai pelajaran, “Halo, Intan! Apa kabar? Kok tidak
tersenyum seperti biasanya?” Intan hanya membalasku dengan senyuman hampa. Tatapannya
seperti menyimpan kesedihan yang mendalam.
“Baik,
Bu Sum. Selamat siang,” ia menjabat tanganku tanda berpamitan. Tidak ada kata,
tidak ada cerita. Aku pun semakin penasaran, ada apa gerangan dengan murid yang
kusayangi ini?
“Ya
Tuhan, tolonglah hamba untuk mengembalikan senyum anak-Mu Intan,” batinku
menyerukan doa setelah Intan pergi dari hadapanku. Tuhan pun tidak terlalu lama
menjawab doaku. Keesokan harinya, sepucuk amplop tertutup teronggok di atas
meja kerjaku. Tidak ada nama pengirimnya. Kubuka dan kubaca surat pendek itu.
Maka,
siang itu seusai mengajar, aku menunggu Intan di ruang agama. Tidak sabar aku
ingin bercakap-cakap dengannya, dari hati ke hati. Dari semua murid, Intan
termasuk anak yang cerdas. Temannya tidak banyak, mungkin karena ia tidak
pandai bicara ngalor ngidul. Namun sekali berbicara, banyak hal mendalam yang
disampaikannya. Ibarat air, Intan bagaikan air yang tenang dan dalam.
Menghanyutkan.
Langkah
kaki yang sudah kukenal itu membuyarkan lamunanku. Kupasang senyum tulus
terbaik dan kusambut ia yang langsung duduk di hadapanku.
“Selamat
siang, Intan,” senyum menyertai pandangan simpatikku. “Senang sekali Bu Sum
bisa bertemu dengan Intan sekarang. Mari, adakah yang hendak Intan sampaikan?”
Intan
tertunduk. Bahunya bergetar. Tidak ada kata yang terucap. Hening memenuhi
ruangan. Rupanya ia menahan tangis.
“Menangis
saja, Nak, jangan ditahan-tahan,” tanganku menyentuh bahunya. Ingin rasanya
kupeluk ia dengan penuh kasih. Naluri keibuanku mendorongku untuk merengkuhnya.
“Mari, menangis saja di bahu Bu Sum,” maka akupun memeluknya. Intan menangis
tersedu-sedu. Baju batik seragamku basah oleh air matanya. Tidak apa-apa, ini
adalah risiko dari kasih.
Lima
belas menit berlalu. Intan sudah lebih tenang. Nafasnya masih sesenggukan. Aku
menyodorkan berlembar-lembar tisu dan dihapusnya air dari mata dan hidung.
“Sudah
lega?” tanyaku dengan lembut dan penuh empati. Intan mengangguk satu kali.
“Nah,
Intan boleh lho bercerita apa saja. Bu Sum mendengarkan,” lanjutku.
“Bu
Sum jangan cerita ke siapa-siapa ya…” bisik Intan lirih. Aku pun berjanji.
Intan bercerita
tentang masalah dalam keluarganya. Ayah Intan adalah seorang pemborong
bangunan. Ibunya tidak bekerja formal di sektor publik, namun ia sangat rajin
dan bertanggung jawab mengurus rumah tangga. Karena tuntutan pekerjaan, ayah
Intan sering pergi ke luar kota bahkan luar pulau selama berminggu-minggu.
Selama ini tidak ada masalah dengan itu karena ayah Intan mengkompensasikannya
dengan oleh-oleh atau hadiah-hadiah cantik dan mahal. Setiap kali ayahnya
pulang, ibu Intan menyambutnya dengan hangat dan mesra. Mereka berpelukan dan
tidak malu mengekspresikan cinta di hadapan Intan. Intan sangat bahagia dengan
keluarganya ini. Rasanya, hidup serasa di surga.
Namun, gambaran
surga itu hancur seketika. Ayah yang sangat Intan kagumi ternyata berselingkuh
dengan seorang pegawainya. Dan lebih jauh dari itu, sang ayah pun sudah
mempunyai seorang anak dari hasil perselingkuhannya. Ibu Intan tidak dapat
menerima hal itu. Perceraian mulai diajukan. Ayah Intan menetap di luar kota
bersama wanita lain dan anak hasil hubungan mereka. Sedangkan Intan tetap
tinggal di kota ini bersama ibunya. Ibu Intan pun mulai bekerja di sektor
publik, tidak lagi hanya diam di rumah.
“Aku sedih, Bu
Sum. Hancur sudah hidupku!” seru Intan sedih bercampur marah dan geram.
“Keluargaku sudah seperti neraka. Aku benci ayahku. Kini aku cuma punya ibu.”
“Tenang, Intan.
Kamu tidak sendirian. Kamu masih punya Bu Sum, bukan?” hiburku. Aku sangat
kaget mendengar penuturan Intan yang demikian gamblang.
“Semuanya
sia-sia, Bu Sum! Buat apa aku juara kelas namun keluargaku hancur begini? Apa
gunanya aku berprestasi tinggi tapi orang tuaku bercerai? Rasanya hidupku sudah
tidak berarti lagi!” kembali Intan menumpahkan kemarahannya yang selama ini
dipendam.
“Tidak ada yang
sia-sia, Intan. Jangan putus asa, Tuhan tahu pergumulanmu,” aku berusaha
membangkitkan optimisme Intan meskipun sepertinya sangat sulit. Kucoba
mengingat-ingat ayat firman Tuhan yang tepat untuk saat itu.
“Bu Sum, aku
tidak tahu apa lagi yang harus kulakukan. Rasanya aku sudah tidak mau
menghadapi hari esok. Sudah capek,” perkataan Intan ini membuatku terhenyak.
Jangan-jangan ia akan melakukan tindakan nekad. Aku harus melakukan sesuatu.
Sejenak aku
diam, menyerukan doa singkat nan darurat kepada-Nya, “Tuhan, tolong berikan
hamba hikmat dan perkataan yang sesuai untuk menyemangati Intan. Amin.”
Sejurus
kemudian, aku mendapat gagasan yang sepertinya baik. “Intan, mari kita berdoa
bersama.”
Intan tampak
kebingungan. Tapi ia tidak menolak. Maka aku memimpin doa bersama. Kugenggam
kedua tangannya, kututup mataku, dan mulai memanjatkan doa.
“Bapa yang baik,
di sini kami datang di hadirat-Mu yang kudus dengan membawa segenap pergumulan
yang dialami oleh anak-Mu yang kekasih, Intan. Bapa, saat ini Intan sedang
sedih karena masalah dalam keluarganya. Engkau tahu masalah apa itu. Ayah dan
ibu Intan sedang dalam proses perceraian. Dan, Intan sedih karena hidupnya
terasa sia-sia, tidak berharga lagi,” kumulai kalimat-kalimat awal dengan
bahasa yang sederhana.
“Intan, sekarang
akuilah perasaan yang ada dalam hatimu di hadapan Tuhan. Berdoalah dengan
kata-katamu sendiri saat ini,” kugenggam tangan Intan lebih erat.
“Ya Tuhan…”
suara Intan bergetar menahan tangis, “Aku mengaku saat ini sedang merasa sedih,
marah, dan kecewa terhadap orang tuaku, khususnya terhadap ayahku. Aku marah
karena ayah mengkhianati ibu dan meninggalkan kami. Aku marah terhadap ibu
karena membiarkan ayah pergi dan memilih bercerai. Aku sedih terhadap diriku
sendiri karena hidupku terasa tidak berarti.”
Aku melanjutkan
memimpin doa, “Ya Bapa, inilah pengakuan anak-Mu yang Kau kasihi. Sekarang
tirukan kata-kata Bu Sum, ya, Intan: ‘Ya Tuhan, saya mengaku bahwa saya telah
terluka. Hati saya terluka oleh (sebut siapa yang telah melukai) yang telah
(sebut perbuatan apa yang melukai). Maka saat ini, saya mengampuni (sebut
siapa). Saya mengakui bahwa keinginan saya untuk membalas sakit hati saya ini
adalah dosa. Saya bertobat. Ampunilah saya.’”
Kudengar Intan
mengikuti doa itu kata demi kata dengan sedikit terbata-bata. Memang berat
mengampuni orang yang telah melukai hati kita. Tapi kita harus melakukannya
karena jika tidak, maka kita pun tidak diampuni. Sebab, demikianlah prinsip
kebenaran firman Tuhan dalam hal pengampunan. Pembalasan adalah hak-Nya.
Sekali-kali kita tidak boleh menuntut balas atas perbuatan orang lain yang
telah melukai kita.
Dan inilah
bagian yang paling mendebarkan. “Ya Tuhan, mari nyatakan kepada Intan peristiwa
apa dalam keluarganya yang pertama kali membuat Intan terluka. Mari, Roh Kudus,
nyatakanlah itu kepada Intan.” Aku diam, Intan pun diam. Kami sama-sama
menunggu.
Aku membuka
mataku dan kulihat ekspresi wajah Intan. Beberapa menit kemudian, ada perubahan
dalam air mukanya. Intan tampak meneteskan air mata. “Adakah sesuatu yang Roh
Kudus nyatakan saat ini, Intan?” Intan mengangguk pelan.
“Apakah itu?”
tanyaku. Suasana doa masih melingkupi kami berdua.
“Aku diingatkan
ketika ibu menangis di kamar sendirian. Waktu itu ibu baru tahu kalau ayah
selingkuh. Aku tidak tahu harus berbuat apa,” kata Intan dengan mata yang masih
terpejam. “Aku merasa duniaku hancur saat itu juga. Aku tidak bisa berpikir.
Semuanya terasa seperti mimpi buruk.”
“Baiklah, mari
kita berdoa lagi,” aku kembali memegang tangan dan bahu Intan dengan lembut.
“Ya Tuhan, saat ini kami minta Engkau mengobati luka yang terjadi saat Intan
melihat ibunya menangis sendirian di kamar. Kami minta Engkau menyatakan saat
itu kepada Intan, apakah yang menjadi isi hati-Mu. Kami mohon,” kembali terjadi
keheningan. Kami menunggu.
Beberapa waktu
berlalu, kulihat ekspresi wajah Intan melembut. Air mata masih menetes di kedua
pipinya. Namun kali ini kulihat ada tarikan bibir ke samping yang membentuk
senyuman manis.
“Adakah yang
Tuhan nyatakan saat ini, Intan?” aku masih terpesona melihat senyuman Intan
yang luar biasa indah itu.
“Ya… aku seperti
mendengar ada yang mengatakan, ‘Jangan
takut. Ini Aku. Aku selalu menyertaimu’”. Senyuman itu masih ada di sana,
begitu manis dan lembut. Hadirat Tuhan yang penuh kasih terasa dengan amat
kuat.
“Sungguh kami
amat bersyukur pada-Mu, Ya Bapa, yang maha kasih dan maha kuasa. Terima kasih
untuk apa yang telah Engkau nyatakan dalam diri Intan. Betapa luar biasa
penyertaan-Mu, Bapa, terutama dalam saat-saat tergelap hidup Intan. Mari, Roh
Kudus, saat ini teguhkanlah iman anak-Mu ini supaya dapat terus tegak berdiri
menjalani hidup. Sebab hidupnya adalah sangat berharga di hadapan-Mu. Kami
serahkan dan naikkan doa ini di dalam nama Tuhan Yesus, penebus dan juruselamat
kami yang hidup. Amin.”
Itulah saat-saat
terindah yang kukenang bersama Intan Luh Kencana puluhan tahun yang lalu. Saat
ini aku sudah pensiun. Dan salah satu kenangan indah tentang murid-muridku
adalah saat aku berdoa bersama mereka, bersama-sama menanggung beban berat yang
mereka rasakan. Intan adalah salah satu di antaranya. Saat ini ia sudah
melangkah dalam terangnya hidup yang penuh harapan. Ayah dan ibunya telah
bercerai, namun Intan tetap tegar dan tetap mampu tersenyum. Senyumnya bukanlah
senyum yang dipaksakan. Senyum itu lahir dari hati yang telah mengampuni.
Senyum itu pula yang mengantarnya menjadi seorang perempuan yang berbahagia dan
sukses. Terpujilah nama Tuhan! ***
Komentar