Cuci Piring Pagi Hari
Aku bangun jam setengah enam pagi
lalu segera ke dapur. Kubuka kran, air sejuk mengalir membasahi kedua tanganku.
Suara gemericiknya membuatku terjaga, demikian juga kesegarannya menghilangkan
kantukku. Kulihat di bak cuci sudah banyak gelas, piring, mangkuk, sendok, dan
garpu yang kotor bekas makan semalam. Rasa malas membayangi benakku. Kesal aku,
mengapa harus aku yang membersihkan semua ini? Mengapa tidak dilakukannya sendiri?
Mencuci piring adalah pekerjaan yang menyebalkan. Selalu!
Setahun
sudah aku hidup bersama suami yang kupilih dan disetujui oleh ayah ibuku.
Setahun sudah aku menjalani rutinitas mencuci piring setiap pagi. Tidak pernah
aku mendapati suamiku mencuci piring atau gelasnya sendiri. Padahal, dulu
ketika pacaran, ia selalu menggembar-gemborkan untuk bisa bekerja sama dalam
berumah tangga. Tapi mana buktinya? Ia membiarkanku melakukan pekerjaan yang
tidak kreatif ini sendirian, sementara ia asyik browsing sendiri. Aku ingin
pekerjaan cuci piring yang membosankan ini cepat selesai sehingga bisa segera
melakukan hal lain yang lebih menyenangkan.
Ah,
tinggal satu gelas dan satu piring lagi yang perlu dibilas. Tidak sabar aku
ingin beranjak dari sini. Kudengar ia berjalan ke dapur, mungkinkah ia berniat
membantu? Bruk! Ia menambahkan nampan, mug, poci, mangkuk, dan beberapa sendok
garpu yang belum dicuci. Rupanya baru saja dipakai untuk minum kopi dan makan
pagi ini. Kemudian ia pergi lagi, melanjutkan browsing. “Arrggghhh!!!” teriakku dalam hati.
Sepuluh menit kemudian…
Selesai
sudah kewajibanku mencuci piring. Rasa lega yang kudambakan memenuhi hatiku.
Sekarang waktunya untuk menyeterika. Bertumpuk-tumpuk pakaian menjejali ember.
Satu per satu aku menggosokkan seterika panas pada baju, celana, rok, dan
pakaian-pakaian dalam. Kulipat rapi dan kususun menjadi satu tumpukan. Ini pun
bukanlah pekerjaan yang kunikmati. Kembali anganku menerawang ke masa-masa
sebelum berumah tangga.
Dulu,
dia dan aku sepakat membangun rumah tangga. Dia bekerja, dan aku di rumah.
Tunggu, di rumah pun aku mengerjakan hal-hal domestik. Berarti, aku pun
bekerja, bukan? Baiklah, aku ralat. Kami sama-sama bekerja. Dia di sektor
publik, alias lebih banyak berhubungan dengan orang lain di luar rumah. Kami
sepakat untuk membangun hubungan yang didasari nilai-nilai kerja sama, gotong
royong, saling membantu. Tanpa pernah kusadari, bentuk kerja sama itu seperti
apa.
Dulu,
kupikir kami akan sama-sama melakukan berbagai hal dengan gembira. Kupikir kami
akan sering bersama menyelesaikan pekerjaan rumah tangga sehingga tidak terasa
membosankan. Ternyata, dia lebih sering pergi berurusan dengan klien-kliennya.
Di rumah, dia sibuk browsing urusan
pekerjaan yang adalah hobbynya itu.
Sedangkan aku? Aku harus merelakan kesenanganku membaca dan menulis demi
menyelesaikan hal-hal rutin yang membekukan pikiran. Adilkah ini?
Setengah
tumpukan baju selesai kurapikan. Masih setengahnya lagi. Kusemangati diriku
yang bermandikan peluh karena gerah. Ventilasi di ruang setrika ini memang kurang,
harus ada sedikit perombakan. Ini pun perlu dijadikan diskusi bersamanya.
Semoga dia tidak terlalu sibuk malam ini.
Setahun berlalu
dengan cukup menyenangkan bersamanya. Makin lama makin kulihat sisi-sisi
negatif darinya yang sebelumnya tidak pernah kuketahui. Ia rupanya tidak
sabaran manakala sedang dalam kondisi capek. Ia pun kurang peka terhadap
perasaanku. Empatinya kurang. Buktinya, dibiarkannya aku melakukan hal-hal
membosankan ini sendiri sementara ia bersenang-senang browsing.
Satu jam berlalu…
Ia
membelikanku nasi, lauk, sayur. Lumayan untuk makan pagi. Aku memang belum bisa
memasak, dan entah kapan akan bisa. Sambil makan, aku memperhatikannya yang
sedang bersiap-siap hendak pergi. Tampak bersemangat sekali pagi ini, seperti
biasanya. Dicangklongnya tas hitam berisi peralatan, nyawa pekerjaannya. “Semoga
lancar dan berhasil”, demikian doaku. Dalam diam kuhabiskan makanku. Kenyang.
Syukur. Puji Tuhan.
*
Rutinitas
pagi seperti itu selalu berulang. Cuci piring, menyeterika, makan, minus memasak.
Kemudian kami sibuk sendiri-sendiri. Ia di luar, aku di rumah. Kuhabiskan waktu
yang ada dengan melakukan apa pun yang bisa mengangkat semangatku. Pokoknya
jangan sampai terlalu banyak tidur saja. Begitu terus setiap hari. Bosan.
Jenuh. “Tuhan, tolong aku. Bebaskan aku. Lakukanlah sesuatu. Ubahlah sesuatu,”
seruku sungguh-sungguh.
Esok
pagi, aku masih cuci piring. Masih menyeterika. Masih minus memasak. Masih
mengeluh. Tidak ada yang berubah.
Esoknya
lagi, masih cuci piring. Seterika. Minus memasak. Masih sama.
Esoknya
lagi.
Lagi.
**
Jam
setengah lima pagi, aku bangun. Ia masih tertidur. Aku tersenyum memandanginya.
Ia masih sama, aku juga. Kuteduhkan hatiku, kuheningkan pikiranku. Kusapa Dia
yang selalu ada. Setengah jam berlalu dalam keheningan yang kudus.
Aku
melangkahkan kaki ke dapur. Kubuka kran air. Air mengalir sejuk membasahi kedua
tanganku. Sejuk dan segar, membangkitkan semangatku untuk menyambut hari yang
baru. Kulihat piring-piring, gelas, mangkuk, sendok, dan garpu yang kotor bekas
makan semalam. Tersenyum aku melihatnya dan kumulai mencuci satu per satu. Satu
demi satu kubersihkan dengan sabun cuci cair beraroma lemon. Hmmm, wangi.
Bersih. Kubilas satu demi satu dengan penuh perhatian. Tidak terasa semua
piring gelas mangkuk sendok garpu itu sudah selesai kucuci. Lega dan puas
memenuhi hati sanubari. “Terima kasih, Tuhan, pagi ini indah sekali!” batinku
sambil menyunggingkan senyum.
Kulanjutkan
dengan menyeterika baju-baju yang teronggok berjejalan di ember. Satu per satu kurapikan,
kugosok, dan kulipat rapi. Kutumpuk menjadi satu, siap kumasukkan ke dalam
lemari. Dalam hatiku ada nyanyian yang menyeruak ingin segera didendangkan.
“Hari bahagia dalam hidupku, berjalan bersama-Mu, Yesus Tuhanku… Sebab Kau
sertaku, selalu sertaku… Sepanjang hidupku… bahagia selalu… sertaku…” Tanpa
terasa, semua baju celana rok pakaian dalam pun rapi tertumpuk. Puas, lega.
Kulihat
ia sudah membelikanku makan pagi. Nasi, sayur, lauk dan susu kedelai. Kumakan
dengan penuh syukur. Kuperhatikan dia yang sedang makan juga di hadapanku.
Lahap betul! Kusunggingkan senyum, mataku menyipit, ekspresi kebahagiaan murni.
Ia pun membalas tersenyum. Betapa senangnya hatiku. Kulihat ia sudah
bersiap-siap hendak menemui kliennya, entah yang mana dan di mana. Tas hitam
kesayangannya tidak lupa dicangklongnya, nyawa pekerjaannya. “Semangat,
semangat, sukses, sukses,” doaku dalam hati. Kuantarkan dia sampai di gebang
depan. Dia pun berpamitan, melambaikan tangannya, dan pergi menyambut rejeki.
Aku
duduk bersandar di sofa ruang tamu. Kuhirup nafas sedalam-dalamnya. Kuhembuskan
sambil menyebut nama-Nya. Kupejamkan kedua bola mataku. Konsentrasiku penuh
akan kehadiran-Nya. Ungkapan syukur yang tak terkatakan memenuhi kalbuku.
“Terima kasih, Tuhan! Engkau sungguh baik!” Tuhan telah menjawab doaku.
Sekelilingku masih tetap sama. Aku masih mencuci piring, masih menyeterika tiap
pagi, dan masih belum bisa memasak. Tapi satu hal telah berubah. Hatiku. ***
Komentar