Roro Mendut dan Lusi Lindri Versi Romo Mangun
Selesai sudah saya membaca dua
novel dari trilogi Roro Mendut karya Y. B. Mangunwijaya alias Romo Mangun. Trilogi
Roro Mendut terdiri dari tiga novel yang saling berkaitan yaitu Roro Mendut,
Genduk Duku, dan Lusi Lindri. Yang sudah saya lalap habis adalah Roro Mendut
dan Lusi Lindri. Yang Genduk Duku masih menunggu saatnya dipertemukan dengan
saya karena di perpustakaan yang sering saya kunjungi, novel tersebut sudah
lama raib tidak dikembalikan oleh peminjam teakhir. Meskipun demikian, saya
sangat bersyukur dan terberkati dengan kedua novel sejarah tersebut. Berikut
ini saya coba untuk menuliskan sedikit kesan yang saya dapatkan.
Mengapa
saya membaca novel Roro Mendut dan Lusi Lindri? Selain karena gratis, saya
sangat tertarik karena novel-novel ini adalah karya Romo Mangun. Beberapa karya
Romo Mangun telah pula saya baca. Di antaranya adalah Burung-Burung Rantau, Burung-Burung
Manyar, dan beberapa karya nonfiksi. Semua karya tulis Romo Mangun selalu
berhasil membuat saya merasa terberkati. Terberkati karena terhibur dan
tersemangati oleh kecerdasan dan kelucuan-kelucuan khas Romo Mangun. Cara
beliau menyentil realita budaya masyarakat yang ada begitu cerdas dan sangat
pas rasanya. Tidak terlalu menggurui. Jika toh harus menyampaikan pengajaran,
tidak pula terasa seperti sok pintar atau yang paling tahu. Hal ini membuat
saya menjadi terdorong untuk menggali dan mengembangkan keingintahuan saya juga.
Hal
yang menarik lagi, setiap karya Romo Mangun khususnya novel sering mengangkat
tema kewanitaan yang tangguh. Setiap tokoh wanita atau perempuan yang
diciptakan dalam novel-novel Romo Mangun sering digambarkan sebagai pribadi
yang cerdas, mempunyai kebebasan berpikir dan berekspresi yang tidak didikte
oleh budaya pada umumnya, dan selalu menantang ketidakadilan budaya dalam
memperlakukan perempuan. Bahkan, tidak tanggung-tanggung, tokoh-tokoh perempuan
tersebut digambarkan seolah ‘menampar’ kaum pria. Budaya yang lebih
mengagung-agungkan kejantanan dan harga diri kaum pria diobrak-abrik oleh Romo
Mangun dengan apiknya melalui sepak terjang dan sepak pikir tokoh-tokoh
perempuan dalam novel beliau. Saya pun menyimpulkan bahwa Romo Mangun adalah
seorang penulis yang cenderung feminis, meskipun beliau adalah seorang
laki-laki. Kesimpulan saya ini ternyata diamini pula oleh Dra. Wiyatmi, MHum
dalam kajiannya terhadap 22 judul novel yang mengangkat tema-tema feminisme (Kedaulatan
Rakyat, 28 Oktober 2012).
Novel
Roro Mendut dan Lusi Lindri bercerita tentang pribadi-pribadi perempuan tangguh
yang hidup pada zaman kerajaan Mataram Islam, khususnya pada masa pemerintahan
Sultan Agung Hanyokrokusumo dan Amangkurat I. Pribadi-pribadi tangguh tersebut
dilukiskan dalam tokoh Roro Mendut, Genduk Duku (abdi Roro Mendut), dan Lusi
Lindri (anak Genduk Duku). Diceritakan dengan apik bagaimana perjalanan hidup
mereka yang seolah terjebak dalam kekejaman sejarah Mataram yang penuh
pertumpahan darah. Roro Mendut yang merdeka, berasal dari pantai utara Pulau Jawa,
harus menjadi selir Tumenggung Wiroguno dari kerajaan Mataram, yang juga sudah
beristeri banyak sebetulnya. Dikisahkan dalam novel tersebut bagaimana
keteguhan hati Roro Mendut untuk merebut kembali kemerdekaannya meskipun harus
mengorbankan nyawa. Keteguhan hati dan keberanian Roro Mendut itu menginspirasi
Genduk Duku yang kemudian diwariskan pula kepada Lusi Lindri. Berbeda dengan
Roro Mendut yang harus mati tragis, Genduk Duku dan Lusi Lindri tetap hidup menyaksikan
bagaimana carut marutnya Kerajaan Mataram sepeninggal Sultan Agung. Meskipun
mati yang tampak tragis, Roro Mendut tetaplah menang atas kebebasan jiwa dan
cinta sejatinya. Genduk Duku dan Lusi Lindri pun demikian. Mereka beroleh cinta
sejati masing-masing.
Kesan
yang timbul setelah saya membaca novel Roro Mendut dan Lusi Lindri begitu
membekas dalam hati dan pikiran. Selain beroleh tambahan pengetahuan dan
pemahaman tentang sejarah Mataram, saya pun beroleh tambahan kekayaan rasa dan
olah batin. Saya sangat terkesan dengan pemahaman Romo Mangun akan kehidupan,
keharmonisan, kedamaian, kebaikan, dan nilai-nilai berharga lainnya. Dengan bahasa
khasnya, Romo Mangun mampu menampilkan hal-hal tersurat dari kenyataan budaya
yang ada sepanjang masa. Yang paling menonjol menurut saya adalah bagaimana
peran perempuan yang mulia sangat dijunjung tinggi oleh Romo Mangun. Tidak ada
kesan vulgar atau saru bahkan ketika Romo Mangun menceritakan hal-hal yang
berhubungan dengan seksualitas sekalipun. Yang ada adalah perasaan kagum dan paham
akan kodrat dan maksud Tuhan semesta alam yang menciptakan manusia laki-laki
dan perempuan dengan segala perbedaan dan perannya itu. Kekayaan budaya dan
kearifan lokal khas Jawa ditampilkan dengan sangat indah dan manis. Tembang,
geguritan, parikan, dan segala macam bentuk kesenian khas Jawa lengkap dengan
ungkapan-ungkapannya yang penuh humor banyak mengisi dialog para tokoh.
Yang
menarik adalah bagaimana perpaduan antara fakta dan fiksi yang tidak terlalu
kasar atau tampak terlalu dipaksakan. Karena novel Roro Mendut dan Lusi Lindri
adalah novel sejarah, maka harus ada riset sejarah terlebih dahulu. Dan luar
biasanya, Romo Mangun mampu membangun cerita yang hidup, menarik, dan indah
dari fakta-fakta sejarah yang ada. Alur cerita tidak terasa terlalu lambat atau
bertele-tele karena ditutup dengan tambahan pengetahuan yang cukup
mengenyangkan hati dan pikiran. Latar belakang sejarah terasa cukup menyatu
dengan jalannya cerita. Secara keseluruhan, trilogi novel ini sangat bagus dan
dapat digolongkan sebagai novel wajib baca. Siapa saja boleh, bahkan haruslah,
membacanya supaya dapat mengenal lebih dekat kekayaan budaya dan sejarah bangsa
dan negara. Para guru sejarah pun perlu membaca novel-novel seperti ini supaya
dalam mengajarkan materi sejarah pun dapat lebih hidup dan mengena di hati para
murid.
Komentar