Yadi Si Dokter Galau
Perkenalkan, namaku Yadi.
Komplitnya Suyadi. Jadul? Biarlah. Itu nama pemberian orang tuaku. Tidak akan kurombak-rombak. Aku cukup bangga dengan nama
pemberian orang tua karena bagiku, orang tua adalah figur wakil Tuhan di muka
bumi, sehingga setiap pemberian mereka akan selalu kuterima dengan ikhlas hati dan lapang dada.
Aku hidup, tinggal, dan bertumbuh di sebuah kota paling nyaman di seluruh
dunia—menurutku—yaitu Yogyakarta. Ya, nyaman. Nyaman bagi hatiku yang sedang
dirundung galau ini, meminjam istilah populer anak muda zaman sekarang. Galau,
sungguh galau memang. Bagaimana tidak? Aku harus merelakan istri terkasih pergi
menuntut ilmu selama tiga tahun di negeri orang—bukan negeri binatang, tumbuhan,
ataupun makhluk halus—di mana matahari dikatakan terbit di Asia, yaitu Jepang.
Pasti
kalian akan bertanya-tanya, bagaimana ceritanya sehingga makhluk galau seperti
diriku ini bisa menjadi sedemikian
galaunya. Bagaimana bisa makhluk galau menjadi dokter, punya istri, lagi? Yah,
panjang ceritanya. Tapi tidak terlalu panjang juga sih. Panjang atau pendek kan
relatif. Aku kuliah di fakultas kedokteran di sebuah kota di Indonesia, tidak
perlu kusebut namanya, malu. Di fakultas tersebut, aku bertemu dengan kekasih
hatiku, yang saat ini sudah resmi menjadi isteriku. Kami adalah rekan satu
angkatan. Aku lupa siapa yang menembak duluan, gak penting. Yang kuingat,
tahu-tahu kami sudah jadian. Simpel, begitu saja. Kami pacaran selama kuliah.
Tidak neko-neko memang, lurus-lurus saja. Maklum, aku adalah anak yang cukup
alim karena bapakku adalah seorang hamba Tuhan. Iyalah, masa’ hamba setan?
Serius, bapakku adalah seorang pendeta jemaat di kota kelahiranku. Mungkin
karena pengaruh doa bapak yang mustajab, aku bisa melalui masa-masa perkuliahan
disertai pacaran dengan sukses dan selamat. Yah, setidaknya selamat sampai
memasuki jenjang pernikahan kudus di gereja. Selamat tanpa harus mengalami
kecelakaan seperti yang banyak dialami rekan-rekan segenerasiku, generasi Y
ini.
Aku
menikah tepat setelah disumpah menjadi dokter. Rani, isteriku, sangatlah
beruntung. Ia lahir dari keluarga pendidik, alias dosen. Itu pulalah yang
membentuknya sehingga ia pun berjiwa pendidik. Rani pernah curhat padaku bahwa
ia merasa tidak cocok bekerja sebagai dokter klinisi. Ia lebih cocok berkutat
dengan jurnal-jurnal dan penelitian. Maka, dengan bulat hati, dipilihlah jalur
karier sebagai seorang peneliti. Setelah lulus jadi dokter, ia pun mengambil
jenjang pendidikan selanjutnya yaitu setingkat S2 dan S3. Tidak
tanggung-tanggung, ia memilih pergi ke Jepang. Konon, di sana ia merasa lebih
nyaman dan sejahtera dalam belajar dan meneliti. Tidak seperti di sini, yang
katanya sangat tidak nyaman karena banyak hal yang tidak relevan terjadi. Tidak
usahlah kusebutkan, kita pasti tahu apa itu.
Setelah
Rani berangkat ke Jepang, aku luntang-lantung di kota kelahiranku ini. Sebuah
pengumuman lowongan pekerjaan terpampang di gereja tempatku berjemaat. Bapak
menyuruhku menerima lowongan tersebut. Lowongan itu adalah untuk tenaga dokter
umum di sebuah rumah sakit swasta yang cukup terkenal di kota Jogja. Karena aku
tidak punya rencana lain, maka kusanggupi
permintaan bapak itu. Tanpa ba bi bu, aku mendaftar dan diterima di sana. Maka,
perjalananku sebagai seorang dokter galau pun dimulai.
Masa Orientasi
Setahun
pertama adalah masa-masa perkenalanku dengan dunia kerja. Sebagai dokter umum,
aku ditugaskan untuk jaga di IGD. Karena baru saja lulus dan minim sekali
pengalaman, aku masih harus bekerja di bawah supervisi dokter-dokter senior. Setahun
aku menjalani masa-masa orientasi di rumah sakit. Seperti masa-masa menjadi
dokter muda (istilah untuk koas saat ini), aku diharuskan menjalani stase-stase
di masing-masing bagian. Aku harus mengikuti dokter spesialis yang ditunjuk
oleh masing-masing bagian ke manapun mereka pergi selama dinas di rumah sakit.
Selama mengikuti dokter spesialis, aku bebas tugas dari IGD. Ini adalah
saat-saat yang menyenangkan namun kadang membosankan. Menyenangkan karena aku
bisa berleha-leha sementara dari capeknya bertugas di IGD. Membosankan karena
aku tidak melakukan apa pun yang cukup menantang secara intektual, hanya
mengikuti ritme kerja para spesialis. Tidak banyak yang berkesan selama masa
orientasi kerja ini. Paling-paling aku mendapat tambahan ilmu dan keterampilan
yang bisa membekaliku untuk tugas jaga di IGD. Masa-masa ini, aku punya waktu
yang cukup berkualitas dan berkuantitas dalam komunikasi dengan Rani melalui
fasilitas chatting di media sosial dan kadang-kadang melalui Skype. Rani pun
sempat cuti selama dua minggu dalam tahun orientasi itu, sehingga aku punya
waktu berdua yang sangat spesial dengannya. Tidak perlu kuceritakan ya detilnya, malu. Tapi aku harus
berhati-hati supaya Rani tidak sampai hamil selama dia menjalani masa
pendidikannya. Yah, inilah salah satu sumber kegalauanku. Tidak puas memang,
tapi mau bagaimana lagi? Hiks hiks...
Jaga... jaga... jaga...
Tahun
kedua adalah masa-masa kawah Candradimuka bagiku. Aku mulai dijadwal jaga di IGD secara semi
mandiri. Pagi, siang, dan malam, tidak tentu setiap hari. Tidak ada hari libur.
Tanggal merah pun aku sering tetap dijadwal jaga. Tidak jarang, rekan-rekan
sejawatku yang juga sama-sama dokter junior memintaku tukar jaga dengan
berbagai macam alasan. Yang mau ikut pelatihanlah, acara keluargalah, atau sekedar
ingin istirahat. Karena aku tidak ada tanggungan keluarga, belum, maka aku pun
selalu menyanggupi permintaan-permintaan itu. Ada untungnya juga aku dan Rani
terpisah oleh samudera. Aku jadi leluasa untuk dijagakan. Ini untung apa rugi
ya? Entahlah.
Karena
waktu kerja yang menggila, kesempatan untuk komunikasi dengan Rani menjadi
berkurang. Apalagi, ada aturan baru yang melarang kami para karyawan
menggunakan multimedia untuk hal-hal yang tidak berhubungan dengan pekerjaan
selama jam kerja. Padahal, jam kerjaku bisa sampai 24 jam sehari, itu pun masih
ditambah lembur pada hari libur nasional. Karena komunikasi yang kurang intens,
aku kurang mendapat informasi tentang Rani dan apa yang sedang dikerjakannya.
Setiap kali ada waktu istirahat, kugunakan
untuk tidur. Dan kalau waktu tidur sudah habis, aku pun kembali disibukkan
dengan kerja pelayanan. Otomatis, tidak ada lagi waktu untuk chatting sampai
puas. Sering, aku lebih memilih untuk tidur daripada chatting dengan Rani. Hal
ini menyebabkan hubungan kami agak renggang. Kami mulai jarang berbagi cerita,
curhat, ataupun saling menyemangati seperti biasanya. Rani semakin sibuk dengan
penelitiannya, aku semakin lelah dengan pekerjaan yang tiada habisnya. Badan
remuk, hati pun lelah. Tahun ini Rani tidak pulang selama cutinya. Lengkaplah
sudah kegalauanku. Maka, aku pun memilih untuk tidur lebih banyak. Mau
bagaimana lagi?
Senior oh Senior
Siang ini, aku
mendapat teguran yang cukup keras dari seorang dokter senior supervisiku. Tidak
tahu apa sebabnya, tahu-tahu doker tersebut menghardikku. Ia menegur ketika aku
hendak pulang. Katanya, aku melakukan kesalahan fatal. Pasien yang kemarin kutangani
kondisinya menurun. Kata sang senior, aku kurang melakukan tindakan yang
dibutuhkan. Aku juga katanya lalai melaporkan kondisi yang seharusnya
diwaspadai. Tanpa tedeng aling-aling, beliau menyebut segala hal yang
seharusnya kulakukan. Aku hanya bisa
diam dan diam. Tidak tahu aku harus berkata apa. Untunglah, senior itu tidak
menghardikku di depan rekan-rekan sejawat yang lain. Kalau tidak, entah apa
jadinya. Pasti aku akan malu dan down berat. Mungkin aku akan depresi.
Sesampaiku
di rumah, kurenungi apa-apa yang sudah kulalui. Rasa terkejut dan malu masih menggelayuti
hati dan pikiranku. Kesepian dan kesedihan karena jauh dari Rani pun semakin
mendera. Aku tidak tahu harus apa lagi. Mau tidur kok rasanya tidak terlalu
mengantuk. Mau mengajak Rani chatting kok belum waktunya. Saat itu pastilah
Rani sedang sibuk-sibuknya dengan kegiatannya di laboratorium yang sejuk dan
nyaman. Sungguh jauh berbeda dengan kondisi mirisku di sini. Kalau boleh
memilih, ingin rasanya aku pergi ke Jepang untuk menemani Rani. Mungkin di sana
aku bisa beroleh kelegaan sejenak dari penatnya kerja keras tiada henti.
Oase
Hari-hari
berikutnya, aku semakin tidak bersemangat untuk bekerja. Aku semakin sering
datang terlambat untuk tugas jaga. Kesibukan di IGD berlalu begitu saja tanpa
benar-benar kunikmati. Sejawat senior semakin sering mengomentari
kekurangsigapanku. Tidak tahu mereka betapa galaunya diriku. Rekan-rekan sesama
dokter junior masing-masing sibuk dengan tugasnya. Tidak ada lagi tempat
berlabuh. Aku lelah. Capek. Ingin istirahat.
Rupanya,
dokter kepala IGD melihat kondisiku yang semakin tidak prima itu. Diberikannya
izin supaya aku mengambil cuti sementara waktu. Kumanfaatkan saja kesempatan
ini untuk berlibur ke Jepang menemani Rani. Di situlah kegalauanku memperoleh
penawarnya.
“Begitulah
Dek Rani, yang aku alami selama hampir tiga tahun ini,” aku mengeluhkan semua
itu sambil duduk di bangku sebuah taman yang terkenal oleh patung Hachikonya.
“Wah
berat sekali ya bebanmu, Mas. Seandainya aku bisa terus menemanimu di Jogja,” Rani
memegang sebelah tanganku dengan lembut. Pandangannya ia arahkan sepenuhnya
kepadaku dengan penuh simpati.
“Yah,
mau bagaimana lagi? Inilah risiko menjadi dokter yang melayani orang banyak.”
“Sabar
ya, sebentar lagi penelitianku selesai. Aku akan segera pulang dengan membawa
oleh-oleh gelar PhD,” hiburnya dengan senyum termanis.
“Selamat
ya, Dek,” aku tersenyum.
“Terus?
Cuma itu?” alis mata Rani naik. Ia mengharapkanku mengucapkan sesuatu yang
lebih.
“Sementara
itu dulu. Aku bingung mau bilang apa lagi. Stres aku, Dek. Pekerjaan gak ada
habisnya. Tidur rasanya kurang melulu. Hancur badan ini,” nada bicaraku mulai
meninggi.
“Sabar,
Mas. Tenang, sekarang nikmati liburan dulu. Jangan mikir pekerjaan. Santai. Di
sini gak ada senior yang menjengkelkan, gak ada pasien yang rewel, gak ada
jadwal jaga yang menggila.”
“Susah,
Dek. Di sana gak ada kamu. Aku harus pintar-pintar curi waktu hanya untuk jumpa
di dunia maya.”
“Hei,
sekarang kan kita sudah ketemu di dunia nyata. Lihatlah sekitar kita, Jepang
yang penuh dengan keramahan. Taman yang sederhana namun indah ini cukup untuk
rekreasi dan refleksi, bukan?”
“Ya,
di Jepang sini semuanya serba teratur dan nyaman. Kesederhanaan yang penuh
makna terlihat di mana-mana.
Orang-orangnya juga berbudaya. Mereka masih memegang nilai-nilai luhur
tradisional di samping mengembangkan teknologi praktis yang sedemikian
canggihnya. Tidak seperti di negeri kita, Dek. Di sana untuk antri saja susah,
semuanya berebutan. Dunia kerjanya apalagi. Telikung sini telikung sana, senior
menindas junior, junor harus pintar-pintar menjilat supaya posisinya aman.
Belum budaya korupsinya yang sudah mengurat akar. Doh...”
“Aduh
Mas, jangan terlalu banyak mengumbar keluh kesah seperti itu. Lama-lama nanti
jadi mengutuki diri sendiri lho. Cobalah melihat hal-hal baiknya.
“Misalnya?”
“Misalnya,
kita masih bisa bernafas menghirup oksigen secara gratis. Coba bayangkan
pasien-pasien yang harus pakai ventilator di ICU itu. Berapa rupiah mereka
harus keluarkan setiap harinya? Belum lagi obat-obatan, jasa medis, dan tetek
bengek lainnya. Masih sangat beruntunglah kita yang sehat dan bisa bekerja
ini.”
“Enak
sekali kamu Dek bisa ngomong seperti itu. Di sini kamu tidak menjumpai
ketegangan dan kelelahan seperti yang kualami. Tidak ada pasien yang tiba-tiba
apneu, tidak ada jeritan kesakitan mereka yang cedera karena kecelakaan, tidak
ada tekanan dari keluarga pasien yang panik. Sungguh beruntung kamu bisa
bekerja dengan tenang.”
“Di
satu sisi bisa dibilang begitu, Mas. Tapi aku selalu ingat akan rekan-rekan
sejawat yang lain, yang berjibaku di garis depan seperti di pelosok-pelosok
negeri kita. Mereka mengandalkan pengetahuan medis seadanya untuk menolong
masyarakat. Perkembangan dan kemajuan dalam dunia medis jarang mereka ketahui kalau mereka tidak beroleh kesempatan untuk
itu. Tugasku di sini adalah menjadi salah satu mata rantai ilmu pengetahuan
untuk memberi jawaban atas permasalahan kesehatan yang ada di dunia, termasuk
di negeri kita. Aku harus ingat itu semua, kalau tidak, aku bisa terlena dan lupa.”
Sejenak
kami diam merenungi kegelisahan masing-masing. Tidak kusangka ternyata Rani pun
mengalami kegalauan yang tidak kalah beratnya dariku. Suasana taman di sekitar
kami yang asri tidak berhasil membuat kami cukup berbahagia. Patung Hachiko
yang menjadi maskot taman seolah turut merasakan kugundahan kami. Beruntunglah
engkau, Hachiko. Engkau hidup dan mati dengan mulia dan terhormat, menjadi
teladan kesetiaan yang tulus antara anjing dan tuannya. Engkau tidak
dibingungkan dengan ironi dan paradoks tragis seperti yang kami alami.
Sederhana sekali hidupmu yang penuh integritas itu.
“Sudah
sore, Mas. Ayo kita pulang,” kata Rani memecah keheningan syahdu itu.
“Mari,
Dek. Selamat tinggal, Hachiko. Sampai jumpa lagi,” aku menggandeng Rani dan
melangkah dengan lebih santai. Memang tidak semua kerisauan hatiku terhapus,
tapi aku cukup lega bisa mencurahkan isi hatiku bersama isteri tercinta ini.
Terima kasih, Tuhan, untuk perjalanan yang penuh makna ini.
Komentar