Berbagi Kegelisahan dengan “Impian dari Yogyakarta” (Y.B. Mangunwijaya)
Saat ini aku sedang menyelesaikan
membaca buku “Impian dari Yogyakarta”, kumpulan esai masalah pendidikan dari
Y.B. Mangunwijaya. Buku terbitan KOMPAS tahun 2003 itu masih berbicara lantang
menggelisahkan hati sanubariku. Romo Mangun masih abadi jiwa dan semangatnya
melalui tulisan-tulisan buah pikirannya yang bernas dan menggelitik, seperti
biasanya. Kali ini kegelisahan Sang Romo tentang pendidikan dasar Indonesia
telah menyalakan juga kegelisahanku yang senada. Romo Mangun yang mumpuni dalam
bidangnya telah meninggalkan warisan yang sangat berharga perihal pandangannya
tentang pendidikan dasar yang semestinya. Aku yang sedang belajar dan akan
terus belajar ini menjadi semakin terpacu, meskipun sedikit pusing, untuk terus
menggelorakan semangat kemanusiaan yang sejati.
Dari
ribuan kata dan kalimat yang tesusun secara apik itu, aku hanya mampu menangkap
satu hal yang sangat penting dan relevan bagiku. Hal itu adalah mengenai naluri
bertanya atau bereksplorasi yang secara alamiah telah diberikan Tuhan kepada
setiap anak manusia. Sejak lahir, bayi, kanak-kanak, remaja, dewasa, sampai tua
dan meninggal dunia, naluri dasariah itu semestinya terus ada dan terus
terpupuk supaya manusia tetap menjadi manusia yang utuh. Sayang sekali, naluri
dasar tersebut telah dikerdilkan, digembosi, dan dimatikan oleh sistem pendidikan
dasar Indonesia selama tiga puluh tahunan. Itu terbukti dengan yang kualami
selama duduk di bangku sekolah dan efeknya pun masih terasa sampai saat ini. Aku
tidak lagi punya kehausan untuk bertanya atau mempertanyakan setiap jawaban
yang ada. Aku terlalu cepat puas dengan apa yang ada sehingga secara tidak
sadar aku mengalami kerugian yang amat fatal. Ini yang kualami sendiri, entah
dengan orang lain.
Kebiasaan
bertanya itu baik, harus dipupuk sejak dini. Sejak anak bisa berbicara dan
takjub akan segala sesuatu, ia akan secara naluriah bertanya tentang apa pun
yang dilihat, didengar, dirasakan, maupun dialaminya. Mungkin sebagai orang
yang lebih tua kita sering jengah dan bosan ditanyai hal-hal yang kita anggap
remeh itu. Sebagai akibatnya, kita pun asal-asalan menjawabnya atau lebih parah
lagi, menyuruh si anak untuk diam dan jangan bertanya-tanya lagi. Tanpa sadar,
kita secara sistematis mematikan kemampuan dasar anak manusia untuk berkembang
menjadi dirinya sepenuhnya. Hasilnya, lahirlah generasi yang hanya bisa jadi
beo siap pakai (meminjam istilah Romo Mangun) tanpa pernah mengetahui untuk apa
dan siapa ia dipakai. Tragis memang, tapi itulah realitas yang terjadi
berpuluh-puluh tahun di negeri ini.
Sang
Romo memang sudah pergi, tapi jejaknya masih bisa kita temui di mana-mana
asalkan kita cermat memperhatikan. Salah satu jejaknya adalah kumpulan esai “Impian
dari Yogyakarta” ini, yang aku rekomendasikan bagi siapa pun yang punya beban
dan kerinduan yang tulus terhadap pendidikan Indonesia. Dengan membaca esai
tersebut, setidaknya kita bisa berbagi beban dengan Romo Mangun yang sangat
peduli terhadap harkat dan martabat anak bangsa itu. Dengan membaca esai
tersebut, bersiaplah untuk menjadi ikut gelisah dan tergelitik untuk melakukan
sesuatu. Syukur kepada Tuhan untuk munculnya orang-orang mumpuni pada masa kini
seperti Mas Menteri Anies dan Pak Bukik yang juga sangat peduli terhadap
masalah pendidikan dasar di sini. Syukur kepada Tuhan karena kesadaran itu
mulai muncul dan menyebar bagaikan nyala lilin yang saling membakar satu sama
lain.
Semoga
renungan pendek ini dapat menjadi pemantik kegelisahan kudus demi proses
pendidikan yang semakin manusiawi di negeri ini. Salam damai!
Komentar