Hari-hari menjelang akhir tahun 2024 ini, saya cukup banyak mengobrol dengan Bu Martini, staf administrasi kantor Instalasi Rawat Inap (IRNA) RS Bethesda Yogyakarta tempat saya bekerja. Obrolan yang cukup menguras emosi dan air mata karena menjelang berakhirnya SK kami para pejabat struktural di tahun 2024 dan akan berganti dengan susunan pejabat struktural yang baru di tahun 2025. Berbagai pertanyaan menyeruak, terutama terkait kepemimpinan dan budaya organisasi yang menurut kami, kaum ibu-ibu ini, begitu kompleks dan nggegirisi. Kami mendapati bahwa di setiap masa, termasuk masa transisi ini, ada pemimpin yang tegas dan berani mengambil keputusan dengan berbagai risikonya, dan ada pula yang cenderung main aman serta menghindari konflik apa pun. Hal ini saya kaitkan dengan fenomena fatherless generation yang berdampak terhadap gaya kepemimpinan dan mempengaruhi budaya organisasi yang dipimpinnya.
Fenomena fatherless generation yang berdampak terhadap gaya kepemimpinan itu nampak pada karakteristik 7 presiden Indonesia seperti uraian di bawah ini:
- Soekarno, yang sering berpindah-pindah tempat tinggal dan kehilangan bimbingan langsung ayahnya di usia muda, memiliki gaya kepemimpinan yang karismatik dan penuh visi serta berfokus pada ide besar seperti "Indonesia Merdeka". Ketidakhadiran figur ayah yang konstan itu mungkin membuatnya mencari validasi melalui retorika dan popularitas. Selain itu, lebih besarnya dominansi dalam pengambilan keputusan, mencerminkan kebutuhan untuk membuktikan kepemimpinannya.
- Soeharto, yang kehilangan ayahnya saat masih kecil dan hidup dalam kondisi sulit, memiliki gaya kepemimpinan otoriter dengan pendekatan teknokratis. Trauma kehilangan ayah mungkin mempengaruhi kebutuhannya akan stabilitas dan kontrol penuh dalam kepemimpinannya. Ia sangat kuat menunjukkan gaya paternalistik dalam mengelola negara, seperti seorang "bapak" yang mengatur masyarakat.
- B.J. Habibie, yang kehilangan ayahnya di usia 14 tahun, sangat besar dampaknya pada motivasi dan ambisinya. Karakteristiknya yang intelekt dan berbasis inovasi, menggantikan figur ayah dengan mentor dan pendidikan tinggi. Gaya kepemimpinannya yang fokus pada demokrasi dan transparansi menunjukkan pengaruh pola pikir modern.
- Aburrahman Wahid, yang kehilangan bimbingan ayahnya (yang adalah tokoh besar), mengembangkan gaya kepemimpinan yang egaliter dan humanis dengan kecenderungan menciptakan dialog antar kelompok. Kepribadiannya yang santai dan humoris mungkin berkembang dari upaya mengatasi kehilangan figur otoritas keluarga.
- Megawati Soekarnoputri, yang kehilangan ayahnya pada masa remaja dalam kondisi politik yang sulit, mempunyai karakteristik yang relatif konservatif dengan pendekatan simbolik yang kuat terhadap warisan ayahnya. Gaya kepemimpinannya yagn sering dikritik karena kurang proaktif mungkin mencerminkan tekanan emosional dari kehilangan sang ayah.
- Susilo Bambang Yudhoyono, yang kehilangan ayah saat muda meskipun memiliki figur pengganti yang mendukung pendidikannya, memiliki karakteristik cenderung diplomatis dan berhati-hati. Hal ini kemungkinan mencerminkan kebutuhan akan stabilitas emosional. Gaya kepemimpinannya yang berfokus pada konsensus dan menghindari konflik terbuka bisa menjadi strategi untuk menghadapi rasa kehilangan.
- Joko Widodo, meskipun memiliki ayah, latar belakang keluarganya yang penuh perjuangan ekonomi membuatnya mandiri sejak kecil. Karakteristiknya yang pragmatis dan merakyat mencerminkan gaya kepemimpinan yang empatik dan berbasis pengalaman pribadi. Ketidakstabilan ekonomi keluarga mungkin memengaruhi pendekatannya yang berfokus pada infrastruktur dan pemberdayaan masyarakat.
Demikian juga dengan karakteristik dan gaya kepemimpinan masing-masing direktur RS Bethesda Yogyakarta dari masa ke masa, sejak berdirinya di tahun 1899 sampai saat ini. Masing-masing era ada orangnya, dan masing-masing orang (pemimpin) ada eranya. [bisa juga dikaitkan dengan perkembangan zaman sejak zaman revolusi industri, kolonial, kemerdekaan, orde lama, orde baru, reformasi, dst)
Ada satu peristiwa sejarah yang tidak bisa dipungkiri terjadi dan menyebabkan fenomena fatherless generation yang masif terjadi di Indonesia, yaitu peristiwa tahun 1965 yang dipicu oleh Gerakan 30 September (G30S) itu. Banyak keluarga telah kehilangan figur ayah, baik secara fisik maupun emosional, sehingga berdampak besar terhadap perkembangan individu dan bangsa dalam jangka panjang setelah peristiwa tersebut. Bukan hanya keluarga para jendral yang telah diangkat menjadi pahlawan itu saja yang mengalami fatherless generation, melainkan (bahkan terutama) juga keluarga-keluarga di berbagai daerah yang terdampak operasi pembersihan oleh militer terhadap anggota dan simpatisan PKI. Hal ini telah menimbulkan gelombang besar kekerasan, penangkapan, dan eksekusi massal yang juga telah dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat.
Sebagai seorang Kristen Protestan dengan mazhab Calvinisme yang tinggal di Yogyakarta, saya memaknai fenomena fatherless generation yang terkait peristiwa sejarah tahun 1965 itu sebagai bagian dari Providence of God, atau penyelenggaraan Ilahi. Dalam peristiwa apa pun sepanjang sejarah, Allah berdaulat penuh. Tidak ada yang luput dari pandangan-Nya, tidak ada yang namanya kebetulan atau kecelakaan dalam sudut pandang-Nya, termasuk peristiwa sejarah kelam bangsa manapun. Demikian juga timbulnya fenomena fatherless generation ini, itu pun sudah masuk dalam ketetapan-Nya yang kekal sejak sebelum dunia ini ada.
Meskipun Allah berdaulat penuh, manusia tetap bertanggung jawab terhadap apa pun yang dilakukannya. Peristiwa kelam pelanggaran HAM berat tahun 1965 itu memang sudah ditetapkan oleh Allah, namun para pelaku pelanggaran HAM tetap harus bertanggung jawab terhadap perbuatan mereka. Bagi para manusia pilihan-Nya, berlaku Roma 8:28 yaitu Allah bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan. Sekelam apa pun peristiwa, semengerikan apa pun dampaknya, dan semenderita apa pun yang dialami, orang percaya selalu beroleh penghiburan dan pengharapan yang pasti bahwa semua itu digunakan Allah untuk kebaikan dan kemuliaan-Nya. Mungkin saat menjalani proses yang penuh air mata dan tanda tanya itu kita, orang-orang pilihan-Nya, belum memahami maksud dan tujuan apa dibalik semua yang terjadi. Namun, suatu saat nanti, entah di dunia ini atau di akhir zaman nanti, barulah kita akan memahami bahwa semua itu memang Allah kehendaki terjadi untuk menyatakan kemuliaan-Nya.
Fenomena fatherless generation yang masif ini pun adalah bagian dari rencana dan kehendak Allah yang sempurna, yang jauh melampaui nalar logika kita manusia. Tugas dan tanggung jawab kita adalah menyelidiki, memahami, dan memaknai fenomena ini sebaik mungkin untuk kemudian bisa merencanakan strategi dan solusi yang tepat sasaran sehingga dapat meminimalkan disfungsi dan memaksimalkan setiap potensi yang ada.
Kembali ke keprihatinan saya di awal tulisan ini, keterkaitan antara fatherless generation dengan kepemimpinan dan budaya organisasi di RS Bethesda Yogyakarta ini sangatlah erat berdasarkan uraian di atas. Menentukan dan menempatkan orang yang tepat sebagai pemimpin, entah itu di posisi puncak, menengah, maupun bawah adalah hal strategis dalam organisasi karena sangat menentukan arah dan langkah ke depan akan ke mana dan seperti apa. Tidak bisa dipungkiri, berdasarkan data dan fakta sejarah, sebagian orang telah, sedang, dan akan mengalami fatherless generation yang terlihat dalam gaya kepemimpinan dan budaya organisasi yang dibangunnya. Memahami latar belakang ini adalah langkah awal untuk membangun pemahaman bahwa di samping tidak ada manusia yang sempurna, ada peristiwa-peristiwa tertentu yang menjadi faktor penentu sehingga seseorang menjadi pemimpin yang efektif atau tidak.
Sebagai penutup, saya akan sampaikan ke Bu Martini saat ngobrol nanti agar tidak terlalu sedih ataupun khawatir akan apa yang bakal terjadi. Percayalah, Allah mengatur setiap langkah dan jalannya sejarah hidup setiap bangsa, organisasi/institusi, dan bahkan setiap orang, mulai dari pucuk pimpinan sampai rakyat jelata. Dan jika itu yang terjadi, ya memang itulah yang Dia kehendaki. Bagian kita adalah tetap berjalan dalam kebenaran yang kita yakini dan telah teruji.
Komentar