Sekelumit Pandanganku tentang Pendidikan

Habis jalan-jalan sama mas Cah di Togamas jalan Gejayan. Tujuan utama adalah memburu buku 'Where There Is No Doctor' sampai ketemu. Dan tidak terlalu susah juga mencarinya. Tinggal memanfaatkan komputer yang tersedia di toko, maka buku yang dicari pun segera ketemu. Yang bikin aku dan mas Cah betah berlama-lama di Togamas sampai jam tutup adalah karena kami menemukan buku-buku yang menarik perhatian masing-masing. Mas Cah segera tenggelam dalam buku-buku praktis tentang elektronik di sudut toko. Sedangkan aku? Setelah menemukan buku target, aku tertarik dengan buku-buku teks psikiatri yang terpajang. Nggak aku beli sih, cuma aku catat saja. Mungkin lain kali belinya. Mau aku baca sampai khatam sebelum masuk sekolah lagi, kalau Tuhan Yesus berkehendak. Joss!

Aku percaya ini bukanlah kebetulan. Tuhan pasti yang mengarahkanku dan menarik perhatianku untuk melirik buku-buku tentang pendidikan di Indonesia. Lihat sana, lihat sini. Baca sekilas. Aku sangat antusias dengan apa yang aku temukan. Aku catat beberapa judul buku yang sangat menarik perhatianku itu, siapa tahu nanti aku akan sempat membeli dan membacanya. Dan karena begitu bersemangatnya, aku beli satu buku kecil tipis tentang Homecshooling: Pendidikan Multikultur untuk Remaja. Cukup menarik perhatianku saat ini. Bukan hanya tertarik, melainkan juga sangat berminat. Aku sangat terkesan dengan wawasan yang dibagikan oleh tiga serangkai penulis buku tersebut.

Dari buku tersebut, aku belajar bahwa pendidikan alternatif seperti homeschooling dapat digunakan untuk mengajarkan kehidupan konkret yang multikultur kepada anak-anak dan remaja. Yang penting, dalam belajar itu (entah di sekolah konvensional maupun di sekolah alternatif), anak tidak merasa terpaksa. Sebaliknya, anak belajar atas kemauannya sendiri. Tugas orang tua dan pendidik bukanlah sebagai guru yang mahatahu melainkan sebagai fasilitator saja. Sistem belajar yang pasif dan hanya sebagai penerima input satu arah seperti yang selama ini terjadi di sekolah-sekolah pada umumnya (entah sekolah sekarang seperti apa, tapi waktu aku sekolah dulu aku merasa seperti itu) ternyata merupakan suatu bentuk dehumanisasi. Tidak memanusiakan manusia. Yang ideal adalah sistem pembelajaran yang dialogis, di mana anak atau remaja dapat aktif mengemukakan pendapatnya dan membagikan wawasan serta pengalamannya.

Mungkin apa yang aku tuliskan di atas cuma dipandang sebagai teori yang sulit untuk diaplikasikan secara nyata sekarang ini. Tapi aku pikir lebih baik menyuarakan isi hati dan pikiran terlebih dahulu (meskipun kemudian dicap tukang gombal kebanyakan teori) daripada stres memendam banyak hal. Dengan demikian, aku bisa lega dan puas karena telah menyalurkan hasrat hati. Semoga apa yang kutulis ini dapat berguna dan membangkitkan minat anda yang membaca untuk berani berpikir lebih dalam lagi. Amin!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kasta

Doa bagi Kota Tercinta

Yehova Zebaoth, TUHAN semesta alam.