Blame Free Culture
Aku mau menuliskan sesuatu saat ini. Tentang “blame
free culture”. Sejauh ini aku mendengar dan kadang melihat iklim dan budaya
yang tidak sehat yang ada di tempatku bekerja. Kebanyakan orang suka mencari
dan menyoroti kesalahan orang lain, kemudian membicarakan di belakangnya. Terus,
kalau ada forum-forum atau rapat-rapat, yang ada bukanlah rasa senang, semangat,
antusias, atau happy karena dapat berkumpul mempererat tali persaudaraan dan
kekompakan melainkan rasa was was dan tidak aman kalau-kalau bakalan “dibantai”
atau disalahkan. Kebanyakan orang di sini masih cenderung mencari siapa yang
salah jika ada suatu permasalahan yang muncul ke permukaan, bukannya mencari
solusi atau jalan keluarnya. Sebagai contoh ya kemarin itu waktu ada rapat SMF
umum, di mana aku mendapati mbak Onny merasa fobia karena biasanya rapat-rapat
yang dia ikuti isinya ya seperti itu tadi, seperti mencari kambing hitam untuk
disalah-salahkan. Mencari titik lemah (berupa pribadi) untuk semakin ditikam
dan ditusuk-tusuk sehingga semakin parah kondisinya. Mungkin ada semacam
kepuasan tersendiri ya dalam hal seperti itu. Entahlah. Aku pernah baca di
bukunya Rick Joyner berjudul “Pencarian Terakhir”, di mana seorang tawanan yang
sudah terluka dan jatuh malah akan semakin mendapat pukulan dan tusukan oleh
rekan-rekan selama tawanan. Sungguh mengenaskan. Masalahnya adalah karena dalam
kondisi tertawan, seseorang tidak dapat melihat dengan jelas dan bertindak
hanya berdasarkan rasa sakit (hati) yang dirasakannya. Solusinya, bebaskan
tawanan dan sembuhkan luka (hati)nya sehingga dia dapat melihat dengan jelas
dan berhenti melakukan “pembunuhan” terhadap sesamanya lagi.
Bagaimana dengan di tempatku bekerja ini? Mungkin masih
banyak orang yang dalam kondisi tertawan (hatinya). Tertawan oleh apa? Oleh dosa,
kepahitan, sakit hati, dll. Semua itu membuat rasa tidak aman yang juga muncul
dalam sikap sehari-hari. Rasa tidak aman
itu pun diproyeksikan ke orang lain sehingga membuat orang lain merasa
tidak nyaman juga. Orang yang tidak merasa aman biasanya akan mencari “teman”
untuk merasakan “nasib” yang serupa. Hal yang mengerikan seperti itu haruslah
dihentikan! Bagaimana? Dengan memutus mata rantai. Sudah bukan lagi saatnya
untuk mengutuk kegelapan. Sekarang saatnya untuk menyalakan lilin. Bukan lagi
zamannya untuk membalas kejahatan dengan kejahatan. Sebab kerajaanMu sudah
datang. Sekarang waktunya iman, pengharapan, dan kasih untuk mengalir dengan
bebas. Sekarang waktunya untuk memberkati siapa pun yang menganiaya dan bukan
mengutuk. Minimal lakukan dari diri sendiri. Tidak perlu menunggu orang lain
untuk berubah. Perubahan atau transformasi itu terjadi melalui diri sendiri. Saat
diri kita berubah, maka sekeliling kita pun akan terkena dampaknya.
Kalau aku, aku menanamkan sungguh-sungguh “blame free
culture” dalam pemikiran, perasaan, dan perbuatanku sehari-hari. Aku tidak
terlalu peduli dengan sikap orang lain yang masih suka mencari-cari kesalahan
orang lain. Kalau sampai aku ditegur atau disalahkan, aku akan mengedepankan
sikap mental yang positif. Prinsip yang telah kupelajari: lebih baik teguran
yang nyata-nyata daripada kasih yang tersembunyi. Dan sikap yang aku kedepankan
adalah berterima kasih untuk perhatian yang diberikan (berupa teguran yang
nyata tersebut) serta kesediaan yang rendah hati untuk melakukan yang terbaik. Mari
kita buktikan bahwa kebaikan dan kebenaran pasti menang melawan kejahatan dan
kekejaman. Yosh!
Komentar