Pilihan Ganda?

 "Sekelas surveior, masa ujiannya hanya berupa pilihan ganda? Masa sama seperti anak SD, SMP, SMA? Masa hanya menghafal soal dan jawaban?" Itu pertanyaan saya di tengah-tengah sibuknya para surveior senior belajar mempersiapkan post test di hari terakhir workshop Pitselnas IX KARS tahun 2025 ini.

"Lalu mau pakai apa?" tanya balik seorang surveior senior, yang cukup memantik pemikiran yang perlu perenungan lebih dalam.

Coba bayangkan! Sejak SD sampai SMA, setiap ujian akhir sekolah, soal-soal pilihan ganda menjadi cara mengukur kemampuan akademis kita selama ini. Nilai-nilai ujian itu prosesnya sebagian besar melalui cara menghafal teori. Itu masih lebih mendingan. Yang lebih parah lagi adalah menghafal soal dan jawaban, hanya demi nilai agar lulus, agar dapat ijazah yang menandakan bahwa kita pernah bersekolah tapi belum tentu pernah berpikir (meminjam ungkapan dari Rocky Gerung).

Belajar dan ujian seperti itu (baca: metode menghafal) sepertinya telah dinormalisasi dan menjadi kewajaran di kehidupan masyarakat Indonesia ini, hampir di semua bidang kehidupan. Sebagai contoh di dunia profesi dan karier yang saya jalani yaitu sebagai surveior akreditasi rumah sakit. Tugas surveior adalah memastikan kesesuaian antara implementasi standar mutu di lapangan dengan elemen-elemen penilaiannya yang ada di instrumen standar akreditasi. Untuk memastikan bahwa seorang surveior itu kompeten dan mampu melakukan tugasnya, diperlukan sistem seleksi dan ujian yang terukur. Saat ini, sistem pelatihan dan uji kompetensi surveior itu diselenggarakan oleh Lembaga Independen Penyelenggara Akreditasi (LIPA) dan dimonitor oleh Kemenkes. 

Tidak masalah dengan maksud dan tujuan yang baik itu. Namun, metode atau cara menilai kompetensi surveior itulah yang bagi saya perlu dikritisi. Apakah pembelajaran dan ujian dengan cara klasikal dan "menghafal" soal dan jawaban ujian pilihan ganda itu dapat menghasilkan surveior-surveior handal yang berpikiran cerdas, analisisnya tajam, serta mampu memberikan rekomendasi yang tepat saat survei akreditasi? Tidak adakah cara yang lebih kreatif dan menantang pemikiran para surveior?

Saya teringat tentang tayangan Ted-X  di Youtube yang inspiratif dan menggugah semangat. Di Ted-X, para ahli di bidangnya mempresentasikan hasil penelitian, pengalaman, atau karyanya dengan cara yang menarik. Bagaimana jika KARS sebagai LIPA mengadopsi (baca: amati, tiru, modifikasi) cara tersebut untuk menilai pemahaman dan kompetensi surveior-surveiornya? Saya pikir akan jauh lebih baik jika para surveior diminta membuat presentasi sekitar 5 menit mengenai sebagian konsep atau bab yang ada dalam standar akreditasi rumah sakit untuk memperlihatkan sejauh mana pemahaman dan kemampuannya sebagai pejuang peningkatan mutu rumah sakit. Cara ini akan lebih menantang daripada mempertahankan gaya belajar "sistem kebut semalam" yang tidak benar-benar mencerdaskan.

Jangan sampai para surveior terjebak dalam "ilusi kompetensi" yang puas semata-mata hanya dengan lulus ujian pilihan ganda dan memperoleh selembar sertifikat beserta gelar non akademis yang bernilai sekian SKP. Sebaliknya, surveior perlul diberi "stimulus" yang kreatif untuk mengembangkan skill, knowledge, dan attitude-nya. Surveior yangn benar-benar cerdas akan menjadi agen pembangunan sistem mutu rumah sakit yang lebih efektif daripada surveior yang "pura-pura" cerdas. 

Gambar: Acara penyegaran standar akreditasi rumah sakit pada tanggal 11 Agustus 2025 untuk para surveior Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS) di Hotel Atria, Gading, Serpong

Gambar: Acara pleno PITSELNAS IX KARS 2025 di ICE BSD Serpong pada 12 Agustus 2025, dihadiri oleh para surveior dan rumah sakit mitra KARS







Komentar

Postingan populer dari blog ini

Doa bagi Kota Tercinta

Yehova Zebaoth, TUHAN semesta alam.

Highlight Obrolan: Isu Kesehatan Mental