Perjalanan Bersahaja: Seminggu dari Rumah Cahaya ke Rumah Sakit Bethesda

Seminggu berlalu dengan bersahaja bagiku di Rumah Cahaya, ruang aman bagi jiwa yang mengembara di dunia dalam zaman akhir ini. Dimulai dari anugerah yang memberikan iman bahwa keselamatan hanya ada di dalam Kristus Yesus Tuhan satu-satunya jalan kepada Bapa, kemudian bergulir dalam pengharapan bahwa Dia akan segera datang kembali, dan wujud nyata kasih sebagai bukti bahwa hidup kekal bersama Allah Tritunggal itu telah ada dan dimulai di sini sampai nanti di kekekalan. Ini sinkron dengan sepenggal ayat Alkitab yaitu Matius 6:33 yang tertempel di dinding ruang jaga satpam gedung Petronella RS Bethesda Yogyakarta, tempatku biasanya menunggu jemputan pulang di sore hari. 

"Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu"

Matius 6:33 di dinding pintu masuk gedung Petronella RS Bethesda Yogyakarta

Kekayaan yang begitu limpah ruah dan dalam itu dapat diperoleh asalkan kita tekun menggali kebenaran firman yaitu Alkitab, tentu saja dengan sikap batin yang menempatkan semangat kembali ke Alkitab sebagai kebenaran utama atau sola scriptura di atas referensi-referensi yang lain. Semangat yang demikian akan menajamkan akal dan mengasah kepekaan nurani dalam menavigasi hidup di tengah arus gelombang zaman yang sarat akan banjir informasi, narasi, dan propaganda. Dengan dasar dan akar yang kuat dan kokoh itu sebagai pedoman dan filter, kita dapat dengan lebih leluasa mengulik berbagai macam bacaan seperti sastra, ilmu pengetahuan alam, humaniora, manajemen, dll. tanpa kehilangan orientasi. Ini juga yang kusyukuri sebagai salah satu anugerah dan talenta dari Tuhan, yaitu minat akan bacaan dan tulisan sejak kecil sampai sekarang, yang terus terfasilitasi sedemikian rupa. 

Sebagian koleksi bacaan yang tertata di atas meja belajarku di Rumah Cahaya, terdiri dari tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer (sedang membaca kembali sampai Jejak Langkah), buku kumpulan esai karya St. Kartono yang kubaca ulang di saat senggang, novel karya J.S. Khairen berjudul Kami Bukan Sarjana Kertas yang menunggu giliran dibaca, novel seri Dylan milik Hadasa, komik manga OnePiece pinjaman dari Pelemkecut, serta buku karya Pdt. Esra Alfred Soru tentang Israel berdasarkan apa yang tertulis di Alkitab.

Beberapa buku nonfiksi pun perlu kubaca dan pelajari juga untuk mengasah nalar logika dan sisi akademik, di samping bacaan fiksi yang memanusiawikan. Tampak di atas buku teks tentang Manajemen, Perilaku organisasi, dan buku karya Dr. Pinzon, SpN tentang neuropati.

Kegemaranku belajar atau membaca aneka ragam itu membuatku kurang berminat mengambil spesialisasi sehingga aku lebih memilih menjadi dokter umum saja. Itu pun masih kukombinasikan dengan menggeluti bidang manajemen (mutu) rumah sakit. Pernah aku berdebat dengan ibuku yang spesialis bedah lebih dari satu dasawarsa yang lalu tentang keenggananku untuk secara penuh terjun di aspek klinis seperti di IGD, lebih memilih ditempatkan di bidang administratif, dengan alasan aku bisa punya waktu untuk belajar apa pun. Ibuku yang tumbuh dengan pola pemikiran era generasi baby boomer mungkin kurang memahami gejolak jiwa anaknya yang generasi Y atau milenial ini, yang cenderung mengejar passion lebih dari sekadar bekerja mencari uang atau kemapanan. 

Pasang surut interaksi antara ibu dan anak yang beda generasi itu kini kupahami sebagai cara Tuhan membentuk karakterku dari waktu ke waktu. Dengan adanya Hadasa yang adalah generasi Z atau zilenial akhir, yang makin sadar akan keseimbangan hidup dan kesehatan mental, aku semakin memahami bahwa proses pembentukan itu terus berjalan seumur hidup. Aku jadi paham bagaimana perasaan ibuku terhadap anaknya yang bandel dan keras hati ini. Ternyata kami memiliki keteguhan pendirian sesuai dengan tuntutan zamannya masing-masing. 

Ibuku, ibu Pudji Sri Rasmiati, sedang berinteraksi dengan cucunya, Hadasa Mazeltov Puji Pangastuti di ruang makan rumah Pelemkecut. Beda generasi, beda pula pola pemikirannya. 

Di sisi lain, interaksi beda generasi antara bapakku yang ahli bius dengan Pak Cahyono yang ahli menyoldir itu ternyata diam-diam sangat menyenangkan. Siapa sangka, para bapak itu sama-sama senang mengisi waktu luang dengan bekerja di rumah. Mengerjakan apa pun. Seperti membetulkan atap, lampu, bersih-bersih, merapikan apa pun. Tidak suka diam menganggur. Mungkin memang demikianlah Allah menciptakan manusia (Adam), yaitu membekali dengan kegemaran bekerja. Sehingga, semakin nyatalah bahwa bekerja itu bukanlah hukuman atau kesengsaraan, melainkan sebagian dari kodrat atau maksud tujuan manusia ada. Bekerja dengan senang adalah berkat dari hidup kekal, yang bertolak belakang dari bekerja sebagai budak akibat dosa. 

Interaksi bapak Erry Guthomo dengan Pak Cahyono Satriyo Wibawa yang tampak asyik membetulkan atap atau entah apa itu.

Di rumah Plumbon pun Pak Cahyono suka bekerja membetulkan atap garasi.

Dengan berbekal pemahaman bahwa bekerja bukanlah hukuman atau beban, aku memaknai pekerjaan di kantor atau rumah sakit, baik itu sebagai profesional pemberi asuhan (PPA) maupun sebagai administratur, adalah kegiatan yang menggembirakan. Semacam hobi yang dibayar. Bahkan ketika ada perselisihan antara pihak yang dinamakan pemberi kerja dengan pihak pekerja, yang mewarnai tugas-tugas pekerjaan pelayanan, itu tidak sampai membuatku disorientasi atau kehilangan arah. Justru itu semakin membuatku terasah. Itu adalah kesempatan belajar banyak hal, yang sangat relevan dan nyambung dengan ilmu manajemen dan perilaku organisasi, seperti buku-buku yang sedang kubaca di bagian awal tulisan ini. Bahkan itu nyambung pula dengan manajemen mutu rumah sakit, khususnya dalam bab Tata Kelola Rumah Sakit (TKRS) dan bab Kualifikasi dan Pendidikan Staf (KPS) dalam standar akreditasi rumah sakit (STARKES). 

Kantor Komite Mutu Rumah Sakit (KMRS), ruang untuk belajar banyak hal tentang manajemen mutu, yang tidak tumbuh dalam ruang hampa tetapi terus berkembang seiring dinamika rumah sakit.

Di sela-sela riuh rendah urusan pekerjaan, ada waktu yang perlu kuambil untuk beristirahat memulihkan energi jiwa. Salah satunya dengan quality time bersama keluarga, seperti jalan-jalan dan menikmati makan malam bersama Pak Cahyono di Kampung Ambarukmo. Hanya berdua, sebab Hadasa dkk sedang kegiatan live in di Saptosari Gunungkidul selama tiga hari kemarin. Hanya bersenda gurau sambil menikmati suasana malam yang sejuk, di pinggiran rel kereta yang dinaungi pepohonan entah apa namanya (sepertinya bagus kalau setiap pohon dipasangi namanya, baik itu nama ilmiah maupun nama umum). 

Tempat quality time bersama Pak Cahyono, mencoba menikmati suasana dan hidangan yang tersedia di Kampung Ambarukmo. 

Jiwa yang segar setelah quality time yang cukup akan terpancar kembali dalam keseharian di tempat kerja. Hati yang gembira benar-benar menjadi obat yang manjur. Kegembiraan genuine yang berasal dari hati itu pun tersalur ke dalam pekerjaan sebagai PPA, baik itu sebagai dokter, perawat, apoteker, dietisen, fisioterapis, laboran, radiografer, maupun sebagai petugas administrasi di garis depan dan di kantor. Sentuhan manusiawi kepada para pasien dan keluarga, penunggu, dan pengunjung rumah sakit di tengah dunia yang dipenuhi digitalisasi dan media sosial itu menjadi oase yang sejuk bagi jiwa-jiwa yang haus dan lapar. Ketika terpuaskan, maka bentuk ekspresinya pun menjadi imbal balik yang menghangatkan hati. Salah satunya dengan pemberian ulasan di Google dan rating bintang lima oleh setiap orang yang puas dengan pengalamannya di RS Bethesda. 

Upaya yang baik, apresiasi terhadap rating 4,8 di ulasan Google RS Bethesda Yogyakarta. 

Catatan penting dari upaya meningkatkan rating di ulasan Google adalah jangan berhenti atau cepat berpuas diri. Apa yang ditampilkan secara digital itu tetap harus diiringi pula dengan peningkatan kualitas pelayanan yang riil. Sebab, semakin tampak baik tampilan di etalase digital, semakin tinggi pula ekspektasi para calon "customer". Semakin tinggi ekspektasi, akan semakin tinggi pula potensi komplain jika pengalaman yang diperoleh tidak sesuai ekspektasi. Di sini perlu ada sinkronisasi yang masif antara upaya mempercantik di luar dengan upaya peningkatan mutu di dalam. Perlu dibangun komunikasi dan koordinasi yang intens antara para manajer dengan kepala-kepala instalasi/bagian dan koordinator-koordinator di bawahnya, bahkan lintas bidang. Di sinilah peran para pemimpin sangat penting dalam mengorkestrasi agar semua upaya dan pencapaian itu menjadi milik bersama. Selama ini, rasa memiliki itulah yang menjadi kekuatan besar RS Bethesda sehingga sanggup bertahan sepanjang zaman dari masa ke masa. 

Demikianlah sebagian perjalanan bersahaja yang cukup mengenyangkan bagi jiwaku di Rumah Cahaya selama seminggu. Semoga bermanfaat. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Doa bagi Kota Tercinta

Yehova Zebaoth, TUHAN semesta alam.

Highlight Obrolan: Isu Kesehatan Mental