Belajar dari “Eggyo”
“Antara kecelakaan atau kesempatan,” begitu ujar Yohanes Eko Priyo Wibowo, ketika ditanyai tentang asal muasal usahanya berjualan telur omega tiga dengan jenama Eggyo. Yohanes Eko, demikian ia biasa dikenal, seorang perawat yang juga menekuni bidang manajemen SDM di Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta, dan saat ini bertugas sebagai koordinator HRD rumah sakit. Di antara kesibukannya sebagai civitas hospitalia, Yohanes Eko dengan antusias membagikan cerita dan pengalamannya seputar usaha Eggyo yang sarat nilai pembelajaran.
Momen Kelahiran
Kelahiran Eggyo ini dimulai dari
proses diskusi komunitas aktivis Katolik yaitu Forum Masyarakat Katolik
Indonesia (FMKI) di mana Yohanes Eko terlibat aktif di dalamnya. Dengan tujuan
ingin memberdayakan dan ada yang memfasilitasi, maka dipilihlah salah satu
produk untuk dikembangkan dalam bentuk usaha yaitu telur omega. Diskusi tersebut
berlangsung setelah masa raya Paskah, dan kebetulan, telur melambangkan kebangkitan
baru. Tidak lama setelah Paskah, ada acara fun run RS Bethesda yang
membuka kesempatan bagi UMKM karyawan untuk ikut berpartisipasi di dalam event
tersebut. Yohanes Eko segera mengambil langkah cepat, belajar distribusi, dan
menyiapkan semuanya.
Selama ini belum pernah ada UMKM
yang menjual produk telur dalam acara-acara lari, jalan, atau bersepeda, seperti
yang Yohanes Eko lakukan saat event Bethesda fun run itu. Yang
sering ditawarkan adalah makanan seperti soto, pecel, di mana telur hanya
menjadi salah satu lauknya saja. “Jadi ini semacam sesuatu yang nggak sengaja,
yang kecelakaan tadi istilah saya, tetapi juga peluang gitu. Jadi pada saat itu
dengan cepat begitu habis rapat kok ada event, ada momentum bisa
ngumpulin kawan-kawan, kawan-kawan juga sudah, ini jalan simultan semua, sini ngurusin telur, sini ngurusin pembentukan komunitas pemberdayaannya, dan
macem-macemlah. Jadi pokoknya nggak tahu hasilnya gimana, kita jalan dulu kayak
gitu. Spirit itu aja sih,” demikian ia memaparkan.
Proses Pemilihan Nama
Pemilihan nama Eggyo sebagai jenama
telur omega ini cukup unik prosesnya. Dengan bantuan AI, muncul pilihan
kombinasi nama dengan filosofinya. Namun pada akhirnya, terbentuklah nama “Eggyo”
yang sederhana dan mudah diingat. “Egg” berarti telur, dan “yo” singatan dari
Yohanes Eko. Dan komentar anak bungsunya, Sheshe, menjadi bentuk validasi bahwa
nama Eggyo adalah yang paling cocok, “…kayak Korea-koreaan itu, Eggyoo!”
Maklum, anak generasi Z yang gemar menikmati hal-hal berbau Korea. Logo Eggyo
pun agak lain daripada logo produk telur omega pada umumnya. Seperti yang
diutarakan oleh Yohanes Eko demikian, “Kalau kemudian dibikin filosofinya, ini
harus menjadi sesuatu yang fresh, yang baru, karena event
kelahirannya adalah event olah raga, jadi kemudian ya bentuk telurnya
adalah gabungan antara situasi olah raga dengan apa manfaat ini, karena ya
kita tahulah kalau orang olah raga itu proteinnya harus bagus, kayak
gitu-gitulah. Sesederhana itulah. Jadi fiosofinya lebih ke sana sih. Dan saya
pikir ini tidak akan mengubah bentuk, karena kayaknya belum ada ya. Kalau
mungkin kalau di logo telur-telur yang lain itu kan telur yang dipecah, atau
bentuk gambar senyum”
Menjaga Kualitas
Kualitas yang terjaga betul menjadi
nilai lebih dari Eggyo. Dimulai dari memastikan produk telur itu berasal dari pakan,
kandang, dan pemeliharaan ayam yang memenuhi standar oleh para peternak yang
diberdayakan. Jika ada produk yang tidak lolos quality control (QC),
maka segera dikembalikan. Bahkan, ketika akan mulai membuka lapak usaha di
rumahnya, Yohanes Eko pun sampai harus mengkalibrasikan timbangan (peninggalan
sang ibu) ke Dinas Perindustrian dan Koperasi. “Biar gimana-gimana saya kan
perawat. Biar gimana-gimana saya nakes. Tentu apa yang kita sampaikan ke orang
lain, dalam hal ini dalam bentuk telur, ya kalau bisa yang terbaik,” kalimat
yang sangat dalam maknanya.
Belajar dari Organisasi
Bisa dikatakan, munculnya usaha Eggyo
ini bukan berawal dari ruang hampa. “Ya, ini yang selalu saya berulang kali ketika
berbicara entah di forum kaderisasi maupun ketika kemarin, orientasi karyawan,
saya selalu bilang (saat) wawancara HRD, ketika rekrutmen itu saya selalu
bilang bahwa orang yang berorganisasi adalah orang yang punya keluasan wawasan.
Dan kita tidak pernah tahu manfaat berorganisasi itu sampai di titik mana,” Yohanes
Eko menjelaskan dengan penekanan khusus. Diceritakan bagaimana ayahnya, yang berprofesi
sebagai guru, dengan telaten mengajarkan kepadanya dan adik-adiknya untuk hidup
tekun, ulet, dan gemar berusaha sebagai bentuk nyata dari proses pembelajaran. Jiwa
yang suka berorganisasi dan suka mengajar pun diwarisi oleh aktivis 98 ini dari
sang ayah.
“… mungkin ada pengaruh karena saya
ngambil kuliah di fakultas ekonomi dan bisnis ya, sehingga akhirnya belajar itu
tentang ya, ya harus dipraktekkan. Rhenald Kasali pembicara yang luar biasa,
penulis yang luar biasa, praktisi ee tapi juga praktisi ekonomi kan, gitu kan.
Dia juga punya banyak jenis usaha, termasuk Rumah Perubahan yang dia bikin itu
kan juga.Ya akhirnya saya belajar, bahwa kita tidak bisa cuma bicara teori
sekarang. Kita juga harus belajar praktek. Momentumnya di situ, tapi saya juga
gak bisa berhenti cuma pada mendorong kawan-kawan saya berusaha, saya sendiri
tidak terlibat di dalam,” demikian penjelasan alumnus MM SDM UAJY itu.
Harapan dan Tantangan
Eggyo dan dampaknya terhadap keluarga
dan lingkungan sekitar Yohanes Eko memberikan secercah harapan dan memantik
tantangan bagi semua generasi bangsa ini, khususnya yang terpanggil dan
terbeban dalam dunia manajemen dan kepemimpinan. Ada prinsip dan nilai yang layak
dan harus dipegang teguh, yang harus dipelihara dan diwariskan. Satu hal yang
menginspirasi, yaitu kerelaan dan konsistensi untuk terlibat dalam proses,
seperti yang dikatakan alumnus Taplai IV Lemhanas 2023 ini, “Tetap saya tidak meninggalkan temen-temen,
gitu lho. Saya nggak cuma merintah, saya nggak cuma nyemangatin, tapi saya juga
terlibat di dalamnya.” Ya, itulah yang dibutuhkan dari seorang pemimpin atau manajer.

.jpeg)
.jpeg)
Komentar