Prinsip Rumah Cahaya: Iman Kristen sebagai Pondasi Kokoh

Ini kali kedua kami seisi Rumah Cahaya mengantarkan Hadasa ke Gereja Reformed Injili Indonesia (GRII) di Jalan Bener dalam acara persekutuan remaja setiap hari Sabtu jam 16.00-17.00 WIB. Hadasa senang mengikuti acara itu, kami juga ikut senang. Dalam satu jam, anak-anak remaja di sana diajari betul pengetahuan iman Kristen secara mendalam sesuai dengan kapasitas mereka. Tidak dangkal, tidak banyak main-main. Satu jam berlalu dengan efektif tanpa rasa bosan. Kami yang ikut mendengarkan di belakang pun ikut puas dan dikenyangkan secara rohani. 

Saat pertama kali ikut, kami menyimak dengan seksama apa saja yang disampaikan oleh Vikaris Lukman kepada anak-anak remaja, termasuk Hadasa. Materi yang disampaikan waktu itu adalah tentang relativisme. Anak-anak remaja ditanyai satu per satu, apakah Yesus itu mutlak atau relatif menurut mereka. Sebagian besar menjawab mutlak, ada yang menjawab relatif dengan beberapa penjelasan. Hadasa dengan jujur menjawab "tidak tahu" (haha, jujur bener). Dengan menuliskan berbagai macam kata kunci dan menjelaskan konsep-konsep di papan tulis, Vikaris Lukman dengan telaten mengajarkan bahwa Yesus itu mutlak adanya. Ayat-ayat Alkitab beberapa kali dirujuk sebagai dasarnya. 

Pada Sabtu kedua ini, pelajaran dilanjutkan dengan menunjukkan bukti-bukti di Alkitab bahwa Yesus adalah Allah, setara dengan Allah Bapa. Anak-anak diajak membuka bagian-bagian dalam Injil Yohanes yang menuliskan pernyataan Yesus tentang diri-Nya (Ego Eimi atau "Aku Adalah"). Hal tersebut sering dipertanyakan oleh orang-orang di luar Kristen, dan sering diperdebatkan. Dalam pandangan kami, Vikaris Lukman sepertinya sedang memberikan bekal kepada anak-anak remaja ini bagaimana menjawab "serangan" dari pihak non-Kristen yang sering mengatakan bahwa Yesus bukan Tuhan. 

Kami sangat senang dan berharap Hadasa bertumbuh dalam pengenalan yang benar akan Tuhan sesuai Alkitab dan pengajaran yang sehat. Dengan pola pengajaran seperti ini, kami berharap Hadasa dan anak-anak remaja lain dapat dibekali dengan cukup sehingga lebih mantap dalam iman. Jika sejak SMP sudah diberikan pondasi yang kokoh seperti ini, maka selanjutnya di SMA dan perguruan tinggi kelak Hadasa dapat lebih teguh lagi dalam pendirian dan tidak mudah diombang-ambingkan oleh apa pun. 

Di tengah arus post-modernisme dan liberalisme dalam hal keyakinan, apalagi di tengah situasi masyarakat Indonesia yang selalu digembar-gemborkan sebagai masyarakat yang majemuk (namun belum tentu tepat dalam menerapkan toleransi, malah lebih banyak terjadi kompromi di sana sini), pondasi yang kokoh dalam iman Kristen bagi seisi Rumah Cahaya adalah harga mati yang tidak bisa ditawar. Di tengah kerancuan istilah yang serupa tapi tak sama, misalnya istilah "inklusif", penting sekali bagi kami untuk semakin erat memegang Alkitab yang adalah firman Tuhan sebagai filter dan standar utama dalam segenap aspek kehidupan (sola scriptura). Di tengah keambiguan sikap para elit gereja tempat kami (saat ini masih) terdaftar sebagai jemaat, penting bagi kami untuk tetap konsisten memegang prinsip bahwa keselamatan itu adalah anugerah Allah (sola gratia) dan hanya dapat diperoleh melalui iman kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan dan juru selamat yang mati disalib untuk menebus dosa kami yang percaya kepada-Nya (sola fide).

Semoga kami dapat terus meyaksikan pertumbuhan dan perkembangan iman Hadasa, yang entah akan seperti apa dan sampai kapan nanti. Yang jelas, saat ini kami sangat bersyukur. Kiranya kami dapat semakin memuliakan Tuhan dan menikmati-Nya selalu dalam seluruh bagian kehidupan yang sedang dan akan kami jalani. Soli Deo gloria.


Yohana Mimi dan Pak Cahyono bersenang hati mengantar Hadasa mengikuti acara pemahaman Alkitab di GRII Yogyakarta

Catatan: Penting sekali dibedakan istilah inklusif dalam hal pelayanan sosial dengan inklusif (versus eksklusif) dalam hal iman, secara khusus dalam hal doktrin/pengajaran tentang keselamatan. Dalam pelayanan sosial kemasyarakatan, seperti pelayanan kesehatan, maka prinsip inklusif itu wajib hukumnya. Namun dalam hal iman (baca: Kristen), keselamatan itu adalah eksklusif. Hal ini sesuai dengan Yohanes 14:6 dan Kisah Para Rasul 4:12 yang menyatakan secara eksplisit bahwa keselamatan hanya melalui Yesus Kristus sesuai yang tertulis dalam Alkitab (Bible). Tugas kita orang Kristen adalah mengabarkan berita Injil itu ke semua orang agar mereka beroleh kesempatan mendengar dan jika beroleh anugerah, maka mereka dapat menjadi percaya. Dengan pola pikir seperti ini, maka semangat pekabaran Injil dapat terus dinyalakan dan tidak akan pernah padam. Namun jika dirancukan dan dikacaukan dengan inklusivisme dalam hal keselamatan, jemaat Kristen (awam) menjadi tidak lagi didorong untuk mewartakan Injil secara verbal dengan dalih takut dicap sebagai kristenisasi, atau cukup dengan melalui perbuatan baik saja seperti bakti sosial yang minus pewartaan secara lisan (social gospel), atau menanamkan pola pikir bahwa di luar Kristen pun orang sudah dapat selamat karena masing-masing punya cara sendiri yang juga sama-sama sah dan benar, dll. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Doa bagi Kota Tercinta

Yehova Zebaoth, TUHAN semesta alam.

Highlight Obrolan: Isu Kesehatan Mental