In Memoriam Boncel

Alkisah, hiduplah seekor anjing besar berbulu emas bernama Boncel. Sifatnya yang ceria dan suka tertawa membuat banyak orang yang melihatnya ikut senang dan gembira hati. Boncel terkenal dengan sifat ramah dan suka bersahabat, khas dimiliki oleh anjing serasnya, golden retriever. Tingkah polahnya yang suka pecicilan kerap menimbulkan gelak tawa orang-orang di sekitarnya. Keluargaku mengadopsi Boncel sejak ia berusia empat bulan. Waktu itu badannya masih kecil dan sifatnya masih malu-malu anjing. Pertama kali masuk ke rumah Pelem Kecut, anjing kecil berbulu emas itu belumlah bernama. Maka, kami sekeluarga mencari-cari nama yang tepat untuknya. Bapak sempat mengusulkan nama “Ribut” karena si kecil itu suka menggonggong keras-keras tidak tahu waktu. Ibu mengusulkan nama “Roy”, mungkin karena terdengar keren. Setelah berdiskusi dengan kakak yang waktu itu masih kuliah di Jepang, aku mengusulkan nama “Boncel” yang diterima secara aklamasi sebagai nama sah si anjing kecil berbulu emas. Belakangan, baru kami ketahui bahwa nama aslinya adalah Carlos berdasarkan akta yang ada. Maka, supaya tidak menghilangkan jati diri si anjing, kami ciptakanlah nama panjangnya menjadi Carlos Boncelos Domestos Sunomos. Keren tidak?
                Tujuan awal pengadopsian Boncel adalah untuk memberikanku teman bermain yang tidak sepadan. Waktu itu aku sedang dalam episode depresi yang berkepanjangan. Menurut informasi yang diperoleh, orang tuaku membeli Boncel dari teman keluarga yang ada di Salatiga. Mereka sempat ditawari mau beli anjing keturunan juara atau yang biasa-biasa saja. Ibuku bertanya apa bedanya antara yang juara dengan yang tidak. Apakah anjing juara dapat disuruh berbelanja? Tentu saja tidak. Maka dari itu, dibelilah anjing yang biasa-biasa saja karena sama-sama tidak bisa disuruh berbelanja. Harga yang dibayarkan terbilang lebih murah jika dibandingkan dengan anjing keturunan juara, apalagi usia waktu dibeli itu masih sekitar dua bulan. Dengan tidak begitu antusias dan semangat, karena masih diliputi depresi, aku menerima pemberian orang tuaku itu.
                Kuperhatikan perilaku Boncel waktu awal-awal menjadi penghuni rumah Pelem Kecut. Boncel suka sekali wira-wiri di dalam rumah, mungkin mencari-cari tempat yang nyaman untuk pup atau buang air. Setelah ketemu, dia akan seterusnya buang air di situ. Maka, jadilah tempat itu bau pesing. Setiap malam, Boncel selalu menemani ibu yang sering lembur mengetik sampai larut pagi dini hari. Jika ditinggalkan tidur sendirian di ruang tengah, Boncel selalu menggaruk-garuk pintu kamar minta ditemani. Boncel akan bangun sekitar jam lima pagi untuk buang air di tempat favoritnya. Saat bangun, dia selalu menjilat-jilat kakiku. Geli dan risi, aku pun terbangun dan membukakan pintu kamar mempersilahkan Boncel untuk pergi buang air. Semestinya, Boncel sering diajak berjalan-jalan keluar untuk buang air di luar rumah. Pada awalnya memang aku dan para asisten rumah tangga sering membawa Boncel jalan-jalan keliling kampung. Tapi, lama-kelamaan kami malas berjalan-jalan sehingga Boncel hanya berjalan-jalan di lapangan basket di belakang rumah. Alhasil, kotoran Boncel pun sering berserakan di sana dan harus diambil supaya tidak menambah masalah.
                Ketika episode depresiku beralih menjadi mania, aku sering mengajak Boncel berjalan jauh melintasi jalan raya menuju rumah temanku. Di tengah jalan, Boncel sering kelelahan dan kehausan. Maka, aku selalu membawa bekal air mineral khusus untuk Boncel. Pernah suatu ketika aku harus memanggil becak untuk mengangkut Boncel karena dia amat sangat kelelahan dan tidak mau berjalan. Begitu banyak tempat-tempat yang kukunjungi bersama Boncel waktu itu. Selelah apapun, Boncel tetap setia dan wajahnya selalu tertawa.
                Sekarang, Boncel sudah almarhum. Dia meninggal dengan tenang di rumah Pelem Kecut pada suatu ketika setelah sakit yang tidak terdeteksi. Kakinya bengkak entah kenapa. Aku tidak ikut menyaksikan penguburannya karena waktu itu aku sudah pindah rumah bersama Mas Cah. Kuburan Boncel ada di sebelah barat rumah Pelem Kecut. Sekarang, kuburan itu pun sudah dibangun menjadi rumah kost eksklusif. Boncel meninggalkan dua ekor teman setianya, si Geol dan si Jabrik. Bersama-sama mereka telah menjadi trio penjaga rumah yang setia. Dari si Jabrik, Boncel telah belajar menggonggong keras dan bergema, jauh melebih rekan-rekan satu rasnya. Dari si Geol, Boncel belajar bermain dengan lehih cerdik. Tidak disangka, Boncellah yang pertama kali meninggalkan trio anjing Pelem Kecut itu. Kenangan akan Boncel meskipu hanya sebentar akan selalu membekas dalam memoriku.
                Meskipun Boncel hanyalah anjing peliharaan, banyak hal yang bisa kupelajari darinya. Aku belajar tentang kesetiaan, persahabatan, dan hidup yang penuh dengan keceriaan bersama Boncel. Aku belajar bahwa keberadaan seseorang atau seseekor, setidakbermanfaat apapun, akan lebih bermakna dibanding ketiadaan. Meskipun hanya bisa duduk diam menemani, itu jauh lebih berguna dan bermanfaat daripada tidak ada sama sekali. Meskipun tidak bisa menyumbang sesuatu yang bernilai, kehadiran seseorang atau sesuatu itu mampu mengubah suasana murung tanpa harapan menjadi ceria dan bertujuan. Akhirnya, aku hanya bisa bersyukur pada TUHAN dan berterima kasih atas kehadiran Boncel yang telah menambah makna dalam hidupku. Terima kasih, Boncel! ^^


(Ladang anggur TUHAN di Yogyakarta, 11 November 2013)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kasta

Doa bagi Kota Tercinta

Yehova Zebaoth, TUHAN semesta alam.