Bapakku yang Baik
Bapak,
atau ‘pak’, demikian aku memanggil ayahku. Bapak adalah seorang ayah yang
menjalankan fungsinya dengan luar biasa baik. Beliau selalu berusaha menjadi
suami dan ayah yang baik dengan perbuatan yang nyata. Kata-kata verbalnya
memang irit dan cenderung minimal. Tapi itulah bapakku. Jika sudah asyik
bekerja, lupalah beliau akan keharusan untuk berkata-kata atau bercakap-cakap. Pekerjaan
sehari-harinya adalah membersihkan dan merapikan rumah dengan segala isinya. Setelah
rumah beres dan bersih, barulah beliau berangkat ke kantor atau tempat kerjanya
di rumah sakit ladang TUHAN di Yogyakarta. Kebiasaan uniknya ini kadang membuat
ibuku gemas dan kesal karena adanya perbedaan prinsip dan pendirian. Maklum,
ibuku lebih suka datang pagi-pagi tepat waktu sedangkan bapakku lebih suka
datang santai tanpa mengikuti aturan jam kantor.
Nama
panggilan bapak di rumah maupun di kantor adalah sama, yaitu Erry. Lengkapnya Erry
Guthomo. Beliau berprofesi resmi sebagai dokter spesialis anestesi. Pekerjaan profesionalnya
adalah membantu membius dan menstabilkan kondisi fisik pasien yang dioperasi. Pekerjaan
personalnya adalah menjadi ayah, suami, dan teman yang baik bagi keluarga dan
teman-temannya. Dilahirkan sebagai anak pertama dari tujuh bersaudara membuat
bapakku terkondisi untuk selalu bersikap dewasa. Apalagi setelah ditinggal oleh
ayahnya, yaitu kakekku, yang meninggal waktu peristiwa G 30 S tahun 1965 dulu
itu. Praktis, tugas sebagai kepala keluarga yang bertanggung jawab terhadap
terhadap ibu dan keenam adiknya menjadi tugas wajib yang harus dipikul sepenuhnya
oleh bapakku yang waktu itu baru kelas enam sekolah dasar. Menjadi dewasa
secara dini, itulah yang terjadi dalam diri bapakku.
Sikap
bertanggung jawab terhadap segala sesuatu yang terjadi dalam diri dan
sekitarnya telah terpatri sedemikian rupa dalam jiwa bapakku. Hal ini tampak
dari sikap beliau ketika bekerja di ladang TUHAN. Tidak peduli seberapa pun
capek dan lelahnya, jika memang sudah menjadi tugas dan tanggung jawabnya untuk
berjaga, maka tugas itu dilakukannya tanpa protes atau mengeluh. Yang ada hanya
semangat untuk melakukan pekerjaan dengan murni dan konsekuen. Ya, murni dan
konsekuen, sama seperti penghayatan akan nilai-nilai Pancasila yang merupakan
jiwa bangsa Indonesia. Bapakku memang seorang Pancasilais sejati, itu yang selalu
beliau tekankan. Beliau selalu mengedepankan nilai-nilai toleransi dalam
kebersamaan hidup sehari-hari. Bisa dimaklumi karena beliau tumbuh dan
berkembang sebagai anak seorang tentara yang sangat setia kepada bangsa dan
negara. Jiwa yang penuh semangat bela negara kakekku itu sepertinya diwarisi
dengan segala kepenuhannya dalam diri bapakku. Meskipun sebagai dokter sipil,
sikap dan gerak-gerik bapakku terlihat lebih tegap dan gagah jika dibandingkan
oleh dokter militer.
Mekipun
minim kata, aku tahu bahwa bapakku sangat menyayangiku. Itu terbukti dengan
sikap dan kebiasaan unik beliau dalam menunjukkan kasih dan perhatiannya. Bagi orang
lain yang melihatnya, mungkin mereka beranggapan bahwa bapakku adalah pribadi
yang angker dan menakutkan. Tapi bagi kami yang mengenalnya, bapakku adalah
orang yang lucu, humoris, dan tidak terduga. Bapakku suka memberi kejutan. Jika
hatinya sedang berkenan, spontan saja beliau akan memberikan sesuatu tanpa
diminta. Sering sekali aku diberinya uang atau barang yang nilainya tidaklah
kecil hanya karena beliau memang ingin memberi. Padahal, aku tidak pernah
meminta kepada beliau. Sifat bapak yang suka memberi ini memberikanku gambaran
yang nyata akan sifat TUHAN sebagai Jehova Jireh, TUHAN yang menyediakan. Sehingga,
aku tidak pernah punya perasaan kuatir akan kekurangan apa pun. Aku bersyukur
karena figur bapak sebagai ayahku telah dipulihkan sehingga pandanganku akan
Bapa di surga pun menjadi tidak terdistorsi. Ini semua karena anugerah TUHAN.
Sebagai
anak yang baik, aku pun ingin menyenangkan hati bapakku. Karena bapakku juga
bukan orang yang menyukai sesuatu yang NATO (no action talk only), maka aku pun bertekad hati untuk tidak
menjadi pribadi yang demikian. Aku bertekad hati untuk menjadi pribadi yang
satu antara kata dan perbuatan. Aku belajar dari bapakku untuk tidak mudah
membual atau meninggikan diri dengan berkata-kata indah. Sebaliknya, aku
belajar untuk bersikap sepi ing pamrih
rame ing gawe yang berarti melakukan segala sesuatu tanpa banyak sesumbar. Dari
bapakku pulalah aku belajar menilai pribadi orang lain. Karakter dan
kepribadian seseorang nampak terutama bukan dari perkataannya yang fasih
melainkan dari sikap dan perilakunya berbicara lebih kuat daripada kata-kata. Aku
senantiasa berdoa supaya bapakku dianugerahi kesehatan dan umur panjang supaya
dapat menyaksikan perbuatan TUHAN yang nyata dalam generasi demi generasi.
(Rumah sakit ladang
TUHAN di Yogyakarta, Selasa 16 April 2013)
Komentar