Terima Kasih, Bu Sari
Kami
memanggilnya Bu Sari. Seorang perempuan ramah yang setia menyapa kami, para
pekerja rumah sakit ini, dengan berbagai macam makanan dagangannya. Setiap jam
delapan sampai sembilan pagi, Bu Sari selalu datang menyambangi kami di kulon desa, tempat favorit kami untuk
makan-makan, begitu kami menyebutnya. Di kulon
desa itulah keakraban yang murni dan alami terjadi manakala kami menyantap
makanan dagangan Bu Sari. Ada nasi kucing (nasi dengan lauk teri atau tempe
ditambah sedikit sambal khas angkringan Jogja), nasi gudangan (nasi dengan lauk
sayur bayam, taoge, dengan disertai parutan kelapa), nasi pecel, dan yang
terbaru adalah nasi jinggo. Minumannya pun beraneka macam ragamnya. Ada jus
jambu, jus alpokat, susu kedelai, dan kadang teh hangat. Belum cukup itu, masih
ditambah lagi gorengan tempe dan kletik-kletik
khas desa seperti lanting, kacang polong goreng, ketela berbentuk kubus
kecil-kecil yang digoreng, dsb. Suasana sangat meriah ditimpali senda gurau
para karyawan. Murah harga-harganya pula. Maka, kloplah sudah menjadi murah meriah.
Sebagian
besar karyawan sudah sangat akrab dan mengenal instalasi satu ini, yaitu
instalasi Bu Sari (IBS). Berbagai macam bagian tumpah ruah menyambut setiap
kedatangan perempuan energik meskipun sudah berumur ini. Dengan menarik
bawaannya melintasi lorong-lorong rumah sakit menuju pos favoritnya, kulon deso, Bu Sari selalu nampak ceria
dan semangat. Keceriaannya itu menular kepada kami para karyawan. Dengan
keramahan sederhana, dagangannya pun laris manis mengisi perut-perut kami yang
lapar dan dahaga. Lapar dan dahaga jasmani dan jiwani. Bukan hanya tubuh kami
saja yang dikenyangkan, melainkan jiwa kami juga mendapatkan seteguk penyejuk
dahaga. Karyawan-karyawan yang akan memulai berjibaku setiap hari memperoleh
energi mereka dari instalasi Bu Sari ini.
Selain
melepas penat dan lelah psikis, instalasi Bu Sari yang fenomenal ini dapat pula
menjadi ajang peleburan sekat-sekat atau kelas-kelas masyarakat yang
meninabobokkan kami. Sekat-sekat berupa penggolongan semu masyarakat kelas
atas, menengah, dan bawah yang diwakili para dokter, perawat, pramurukti,
satpam, admin, dll menjadi lebur tak berbekas manakala Bu Sari datang. Serbuan
perut-perut lapar membuat kami melupakan bahwa kami telah dilabeli
stempel-stempel palsu kelas masyarakat itu. Di situlah kami dapat saling ejek,
menghina dina satu sama lain tanpa takut kena hukuman. Di situlah pula kami
dapat saling berbagi tanpa ada ewuh-pakewuh.
Sungguh suasana kerakyatan yang egaliter yang indah terjadi. Dan semuanya ini
karena faktor Bu Sari.
Apa
yang begitu sukar dan rumit dicapai oleh berbagai macam program ala top down
untuk menyatukan semangat para karyawan rumah sakit, entah itu oleh bagian
sosio pastoral, bidang, maupun kelompok-kelompok kerja, sepertinya telah
tercapai dengan begitu sederhana dan mudahnya oleh instalasi Bu Sari ini. Tidak
ada ekskulsivisme yang jamak terjadi pada paguyuban-paguyuban yang ada. Yang
ada hanyalah perasaan hangat kekeluargaan yang menyatukan kami setiap civitas
hospitalia ini. Sederhana. Tidak sukar. Hanya karena perut lapar dan keramahan
seorang Bu Sari.
Suatu
saat nanti mungkin aku akan meluangkan waktu untuk bersepeda, main ke rumah Bu
Sari, bertemu dengan Bu Sari dan keluarganya. Di sana mungkin nanti aku akan
berbagi apa yang ada padaku, berbagi hidup, berbagi cerita, berbagi sukacita.
Hitung-hitung sebagai ‘balas jasa’ atas semua yang telah Bu Sari sumbangkan
bagi kesejahteraan rumah sakit ladang anggur TUHAN ini. Terima kasih, Bu Sari.
TUHAN memberkatimu!
(Jumat, 8 Maret
2013—rumah sakit ladang anggur TUHAN di Yogyakarta berhati nyaman)
Komentar