Hikmah dari Gondongen... Thank God... ^^


Ternyata sakit itu nggak enak. Iya, nggak enak. Pikiran jadi mudah konslet. Hati jadi gampang panas. Emosi jadi labil. Belum lagi adanya masalah-masalah psikis yang mewujud dalam keluhan-keluhan fisik, alias psikosomatis. Padahal ini sakitnya tergolong "ringan", yaitu gondongen... atau istilah kerennya: parotitis. Bukan sakit berat atau parah semacam kanker. Masih taraf ringan yang dapat disembuhkan dengan obat dan cukup istirahat, apalagi jika ditambah dengan doa dan kasih. Tapi justru karena dianggap remeh itulah bahayanya. Kita jadi kurang waspada. Kurang sigap menjaga hati dan pikiran sehingga mudah jatuh dalam kemarahan yang tidak pada tempatnya. Kemarahan yang terpendam dan tidak disadari itu biasanya mewujud dalam bentuk sakit kepala, nggliyer, perasaan tidak enak badan seperti mau muntah. Pokoknya serba tidak nyaman deh.

Ini yang kualami hari-hari ini. Beberapa hari terakhir ini aku mengalami sakit gondongen. Nggak terlalu parah sih. Paling parah juga cuma panas dua kali, itu pun waktu dini hari. Cuma mungkin karena jadwal jaga yang relatif lebih padat dibanding dengan sebelum-sebelumnya yang membuatku tidak dapat istirahat secara optimal sehingga sakitnya pun semakin terasa memberatkan fisik dan mental. Belum lagi dengan semakin tidak disiplinnya aku dalam berdoa dan mencari wajah Tuhan. Jadwal jaga di wonosari dan di IGD jadi terasa seperti "serambi neraka kecil", bukan lagi sebagai "taman surga". Aku yang sudah berpembawaan tenang dari sononya semakin banyak lagi diemnya, bisa dibayangkan? Dan dalam diam itu, aku senantiasa bergelut dengan hati dan pikiran yang mudah emosi. Pusing dan mual pun menyerang dengan bergerilya waktu jaga siang IGD kemarin. Akibatnya, waktu yang ada pun jadi seperti terbuang percuma.

Aku lupa... aku masih punya Tuhan. Masih ada Roh Kudus di dalamku. Aku lupa menghubungiNya. Aku lupa berseru ketika sedang membutuhkanNya. Aku yang notabene jurusan surga ini, untuk sesaat lamanya melupakan sumber kekuatanku. Disorientasi, amnesia. Sungguh menyedihkan. Jadi lone ranger, desertir. Puji Tuhan, ada hari libur satu hari. Aku jadi punya waktu untuk berhenti sejenak dari kepenatan dan kejenuhan pekerjaan. Ternyata setelah setahun, aku mulai merasakan stres okupasional. Puji Tuhan aku nggak sendirian. Selalu saja ada malaikan-malaikat Tuhan yang ditempatkan tepat di tikungan-tikungan jalan yang kulalui. Jalan kehidupan yang memasuki rembang tengah hari. Semakin terang. Juga semakin menyengat panasnya. Itu karena lapisan ozon di atmosfer mulai menipis. Terlalu banyak polusi pula sehingga bumi makin panas. Sehingga, sinar matahari yang seharusnya bersahabat dan layak disyukuri pun terpaksa dihindari. Hmmm... (ngelantur ^^)

Back to topic... akhirnya aku sedikit memahami mengapa banyak pasien yang bersikap negatif dan kurang kooperatif selama proses terapetik. Mereka bersikap demikian karena salah satunya adalah tidak tahan dengan nyeri atau ketidaknyamanan fisik dan mental yang dirasakan. Ditambah lagi ada stres kehidupan yang mewarnai hari-hari mereka. Setiap orang pasti punya masalah-masalah yang ingin dihindarinya atau diselesaikan. Stesor tersebut dapat menurunkan ambang batas nyeri sehingga seorang pasien dapat sedemikian mudahnya megeluh sakit. Memang jengah dan sebal juga mendengarkan keluhan-keluhan pasien yang tidak ada habisnya. Sebelum menyebut dan memarahi mereka dengan sebutan "manja", maka aku perlu lebih meregangkan lagi saraf kesabaranku. Orang yang sabar akan memiliki pengertian yang lebih luas dan baik. Ingat bahwa bukan pasien itu yang meminta untuk sakit. Ingat bahwa kalau tidak sakit, mereka tidak akan mau datang ke rumah sakit atau BP. Bukan keinginan siapa pun untuk menderita sakit. Dan karena aku setidaknya sudah "kena batunya", yaitu merasakan sendiri bagaimana gak enaknya sakit seringan apa pun itu bentuknya, tidak selayaknya lagi aku untuk bersikap nggresula atau bersungut-sungut dalam hati setiap kali ada orang yang tiba-tiba datang di counter dengan menyerukan kalimat keramat: "mau periksa". Sekali lagi, aku perlu mengembangkan sikap eling... ingat, aku juga bisa sakit... aku juga bisa berada di posisi mereka... dan apa yang akan kurasakan kalau dokternya pun bersikap seperti aku selama ini: nggak ramah, nggak responsif, malas, dsb...?

Terima kasih, Bapa, buat sakit gondongen ini... Aku jadi bisa belajar merefleksikan sikapku selama ini. Dan saat sembuh nanti, kiranya aku telah sungguh-sungguh belajar dengan baik. Tidak lagi bersikap jahat, kejam, dan malas. Kiranya aku semakin banyak berbuat kasih karena aku telah menerima kasih yang begitu besar dariMu. Demi nama Tuhan Yesus, haleluya... maranatha... amin!!!!!!!


Komentar

Anonim mengatakan…
hehehe mbaaakkk...
Yohana Mimi mengatakan…
hehehe andiiiin... ^^
Unknown mengatakan…
makasih ceritanya inspiratif :)
Unknown mengatakan…
Inspiratif makasih ya :)
Yohana Mimi mengatakan…
terima kasih komentarnya, Gabriela Isabela... ^^

Postingan populer dari blog ini

Kasta

Doa bagi Kota Tercinta

Yehova Zebaoth, TUHAN semesta alam.