Boncel dan Sekolah

Boncel sedang bercermin di depan pintu mobil Komodo (Suzuki Escudo hijau tosca) yang kempling karena habis dilap dengan penuh kecermatan oleh bapak. Bapaknya Mimi Imut dan Yoyo Imut tentu saja. Bapaknya Boncel entah siapa dan entah di mana sekarang, nggak penting. Sambil becermin, Boncel kembali berpikir. Akhir-akhir ini Boncel semakin sering berpikir. Berpikir apa, Cel?
“Ah narrator, belum-belum sudah menggangguku…” jawab Boncel kesal karena acara bercerminnya terganggu. “Aku sedang berpikir tentang sekolah.”
Hah? Sekolah?
“Iya, sekolah!!!”
Nggak salah tuh Cel? Boncel mau sekolah?
“Jangan menghina ya… Jelek-jelek begini, aku termasuk ras yang terkenal sebagai ras anjing paling ramah sedunia lho!” kata Boncel dengan bangganya. “Saudara-saudaraku banyak yang jadi juara kontes anjing.”
Ooo begitu…
“Iya, begitu! Bahkan banyak sepupu jauhku yang dilatih khusus sebagai anjing pelacak yang bisa mengendus narkoba. Mereka dikaryakan di bandara-bandara,” lanjut Boncel dengan antusias. “Mimi Imut sama Yoyo Imut pernah lihat ada sepupuku di Jepang yang dilatih untuk menuntun orang buta. Keren kan?”
Wew…
“Jangan cuma wew wew saja, Tor! Narator itu seharusnya pandai berolah kata, gimana sih?!” Boncel sewot bukan kepalang.
Hehe… Kembali ke pikiran Boncel tentang sekolah. Memangnya kenapa sih Boncel kok tiba-tiba kepikiran tentang sekolah? Bukankah umur Boncel sudah terlalu tua untuk disekolahkan? Sudah kasep, kalo Mimi Imut pernah bilang.
“Begini ya, Tor…” Boncel menghentikan sejenak kegiatan bercerminnya dan mulai menampilkan mimic yang lebih serius. “Aku ini lagi prihatin.”
Prihatin? Prihatin kenapa, Boncel?
“Begini… Anjing-anjing yang disekolahkan di sekolah anjing itu rata-rata dilatih kepatuhan. Patuh sama perintah si pelatih. Misalnya, anjing disuruh duduk, berbaring, berdiri, dsb. Kemudian ada yang dilatih ketangkasan dan kekuatan. Misalnya melalui halang rintang seperti militer. Ujung-ujungnya, anjing-anjing itu kemudian dilombakan untuk kemudian mendapat gelar juara.”
Terus masalahnya di mana, Cel?
“Masalahnya, semua pelatihan di sekolah itu mengharuskan anjing-anjing bersikap seragam dan memiliki standar kemampuan yang sama rata. Mereka (para anjing) dilombakan dalam hal-hal yang seragam dan standar seperti itu.”
Terus?
Para majikanlah yang terutama paling bangga kalau anjingnya memperoleh juara atau mendapat predikat anjing juara. Entah juara karena keindahan dan kebersihannya, atau juga karena kepatuhan dan ketangkasannya.”
Terus?
“Yang tidak diketahui oleh para majikan pada umumnya, anjing-anjing itu tidak selamanya sama atau memiliki kemampuan yang sama 100%. Ada anjing-anjing yang lebih suka bermain, ada yang lebih suka berolah raga, ada yang lebih suka menjaga majikannya, ada lagi yang lebih suka berpetualang, dll. Anjing-anjing punya psikologi yang berbeda-beda, tergantung dari ras dan lingkungannya.”
Terus?
“Teruuuus, bagi anjing yang tidak memenuhi criteria sebagai anjing juara karena mungkin minat dan bakatnya tidak dipahami oleh si majikan, bakal mendapat predikat anjing bodoh dan diperlakukan selamanya sebagai anjing yang bodoh. Padahal, dalam kamus psikologi anjing, tidak ada itu yang namanya anjing bodoh. Yang ada hanyalah anjing yang tidak dipahami oleh manusia.”
Terus, masalahnya buat Boncel apa?
“Masalahnya adalah begini… aku ini adalah anjing yang unik, demikian juga anjing-anjing yang lain. Aku tidak sama dan tidak bisa disamaratakan dengan anjing-anjing yang lain. Aku punya minat dan bakat yang unik yang tidak dimiliki oleh anjing lain. Salah besar kalau ada yang bilang aku ini anjing bodoh, karena memang aku tidak suka main basket, tidak suka duduk diam selama beberapa waktu, tidak suka mengambilkan barang jatuh. Aku lebih suka berpetualang sendiri di lingkungan yang belum aku kenal. Aku suka mempelajari hal-hal baru tanpa didikte oleh siapa pun. Kalau aku diharuskan mengikuti standar rata-rata anjing juara, hanya supaya mendapat predikat anjing pintar, aku bakalan stress berat. Aku gak akan bisa merasa bahagia sepenuhnya. Aku akan seperti anjing robot yang dibikin secara massal di pabrik.”
Pelan-pelan, Boncel mengeluarkan uneg-unegnya. Mungkin ini hanya sebagian dari pergumulan batin yang dialami oleh Boncel selama ini. Tidak apa-apa, Boncel… keluarkan saja satu demi satu supaya plong dan tidak membebani pikiran.
“Wah, kali ini aku setuju denganmu, Tor…” kata Boncel sambil meringis dan mengibas-kibaskan ekornya.
“Seharusnya, system pelatihan atau sekolah anjing itu disusun sedemikian rupa sehingga anjing-anjing dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan minat dan bakatnya masing-masing. Jadinya bukan proses penyeragaman tingkah laku seperti yang sekarang ini terjadi. Bukankah demikian juga yang terjadi di dunia manusia?” Boncel balik bertanya.
Benar juga apa kata Boncel. Sekolah-sekolah yang ada rata-rata dikelola secara massal dengan system pembelajaran klasik yang membentuk pola pikir yang seragam. Kreativitas dan keunikan individu sepertinya kurang begitu dihargai. Kalau ada yang punya pikiran kreatif di luar kotak atau pola sang guru atau pengajar, dia bakalan dipandang sebagai murid yang susah diatur. Itu sih yang diceritakan oleh temannya Mimi Imut pada suatu ketika, kemudian Mimi Imut menceritakannya kembali kepada Boncel.
“Sebenarnya aku malah lebih kasihan sama teman-teman Mimi Imut,” kata Boncel tiba-tiba.
Mengapa?
“Yah, seperti yang sudah aku katakan dan kamu ketahui, Tor… pada zaman teman-teman Mimi Imut SD, system pembelajarannya masih bersifat klasik… massal dan satu arah… semua dicetak untuk menjadi pengejar nilai rapor yang baik… system ranking menjadi primadona… siswa-siswa yang berhasil meraih dan mempertahankan ranking sepuluh besar mendapat predikat sebagai siswa yang pintar… dan mereka yang di luar itu disebut siswa yang bodoh… padahal kan tidak seperti itu… Itu semua hanya ilusi… system ranking itu bohong semua… siswa-siswa hanya belajar untuk mengejar nilai bagus supaya mendapat ranking dan predikat pintar tanpa mengerti esensi belajar yang sesungguhnya… Yang parahnya lagi, siswa yang telah mendapat gelar siswa yang pintar oleh karena nilai-nilai rapornya yang bagus, ternyata tidaklah cerdas dalam arti yang sesungguhnya… Dia hanya menghafal soal dan jawaban, tanpa tahu isi pengetahuan yang dipelajarinya, sehingga tidak bisa mengembangkan pengetahuannya lebih lagi… Logikanya jadi kacau… Huhu…” Boncel mengeluarkan keluh kesahnya dengan bertubi-tubi.
Wah, ternyata parah juga ya. Itu baru sekelumit kisah yang kita dengar dari Boncel, sang anjing teman bermain Mimi Imut. Entah ada berapa banyak lagi masalah yang masih belum terkuak. Seperti fenomena gunung es saja. Yang disampaikan oleh Boncel itu baru pucuknya. Bagian terbesar dan terberat masih tersembunyi dan tenggelam dalam hiruk pikuk arus dunia yang semakin menggila. Semoga Boncel dan kawan-kawannya tidak ikut gila ya. Bahaya kalau gila, bisa-bisa serumah kena virus rabies. Hiii… Terus apa solusinya, Cel?
“Hah? Solusi? Nggak salah tuh, Tor? Nanya solusi ke Boncel? Boncel kan cuma anjing yang nggak dianggap pintar. Seharusnya minta solusi itu ke teman-teman Mimi Imut dan Yoyo Imut tuh yang pintar-pintar,” jawab Boncel.
Wah, iya juga sih ya… Boncel ternyata cerdas juga ya… Hehe…
“Iya donk! Siapa dulu penciptanya!” jawab Boncel dengan kebanggaan yang besar.
Iya, iya… Yuk Cel, kita sama-sama memikirkan dan mencari solusinya bersama-sama dengan Sang Pencipta.
“Ya ayo… Mari kita ajak teman-teman Mimi Imut dan Yoyo Imut juga!”
Boncel pun kembali bermain-main dengan bayangannya di mobil Komodo hijau tosca. Selamat bermain, Boncel! Sampai ketemu lagi! ^^

Komentar

amorita mengatakan…
Baguuss bangett Mi.. Mengungkap suatu perenungan dengan cara yang sungguh menarik. Makasii ya Mi untuk tulisannya, semakin menyadarkan untuk mengembangkan pendidikan yang humanis dan memperhatikan individu satu-persatu. Keep writing ya, GBU :)
Yohana Mimi mengatakan…
thanks, amorita... pendidikan itu seharusnya membebaskan, bukan membelenggu... mencerdaskan, bukan membodohi... hehe... semoga menjadi berkat selalu... GBU2!!!

Postingan populer dari blog ini

Kasta

Doa bagi Kota Tercinta

Yehova Zebaoth, TUHAN semesta alam.