Dari Sinetron Aku Belajar Toleransi... ^^

Sinetron yang tidak aku suka selalu mengisi ruang keluarga rumahku setiap sore sampai malam hari. Dengan musik yang asal genjreng dan cerita yang tidak karuan (menurutku), sinetron2 itu membombardir rumahku. Aku sudah nggak pernah lagi ngikutin segala macam sinetron Indonesia sejak... sejak kapan ya? Yah, pokoknya sudah lama lah... Meskipun demikian, tetap saja sinetron2 nggak mutu (menurutku) itu selalu merajai jam2 belajar masyarakat. Padahal aku dan kakakku sudah nggak pernah menontonnya. Tapi ternyata masih ada juga orang2 yang suka dengan sinetron2 seperti itu. Di rumahku saja ada dua pengikut setia sinetron2 nggak jelas (menurutku) di satu stasiun TV swasta ternama. Mereka adalah ibu dan Lek Sar, dan kadang2 bapak juga. Entah apa motivasi mereka menontonnya. Yang jelas, selalu saja mereka rame atau ribut sendiri waktu menonton sinetron. Seolah-olah mereka merasa lebih pintar dan lebih tahu bagaimana jalan cerita sinetron yang ditonton itu seharusnya. Berisik sekali deh kalau Lek Sar mulai berkomentar... ^^ Mungkin ini semacam katarsis bagi Lek Sar dan ibu yang sehari-harinya sudah sibuk sekali bekerja di rumah dan di kantor, menerima omelan dari orang2, mendengar ketidakpuasan di sana sini, dsb dsb. Kemarahan dan frustrasi yang menumpuk itu kemudian dicurahkan atau dilampiaskan dengan memaki-maki layar televisi, tepatnya tokoh2 yang sedang dilakonkan di sinetron2.

Mengingat segi positif dari sinetron, yaitu sebagai sarana katarsis atas kepenatan sepulang atau sehabis kerja seharian (bagi ibu dan Lek Sar, bukan bagiku ^^), maka aku pun mengembangkan sikap toleransi yang amat sangat besar sedemikian rupa terhadap ritual menonton sinetron. Meskipun suaranya cukup keras dan mengganggu konsentrasiku setiap kali aku membutuhkan suasana yang nyaman untuk menulis, membaca, atau berdoa, aku berusaha untuk tidak marah2 atau bersungut-sungut terhadap ibu maupun Lek Sar. Meskipun mungkin aku punya segudang alasan yang benar mengenai kejelekan sinetron Indonesia saat ini, aku tetap harus menghargai mereka2 yang telah mengikatkan segenap emosi jiwanya demi menonton sinetron dan melihat jagoannya yang 'dikuya-kuya' itu akhirnya menang. Meskipun menurutku bodoh sekali jika sampai terhanyut dan terlarut dalam alur cerita sinetron yang mbulet nggak karuan, aku tetap tenang dan sabar membiarkan mereka (ibu dan Lek Sar) asyik nonton sinetron.

Jika aku sampai marah2 nggak karuan sama ibu dan Lek Sar cuma gara2 sinetron, maka apa bedanya aku dengan mereka2 yang gampang marah nggak karu2an sehingga melakukan tindakan anarkis terhadap pihak2 yang punya keyakinan yang berbeda dengan dirinya? Jika aku sampai melakukan aksi sepihak seperti mematikan televisi di saat ibu dan Lek Sar sedang asyik nonton sinetron, maka apa bedanya aku dengan mereka yang sukanya main hakim sendiri dengan merusak harta milik orang lain yang berbeda aliran atau pandangan? Dan jika aku sampai hati memaksakan keinginanku untuk memutar lagu2 rohani Hillsong atau True Worshippers alih2 membiarkan televisi menyala dengan sinteron yang sedang ditonton oleh ibu dan Lek Sar, maka apa bedanya aku dengan mereka yang sukanya memaksakan kehendak dan keinginan dengan cara unjuk kekuatan atau pamer massa?

Yah, ini cuma sekedar uneg2ku... Aku memang masih belum berani mengutarakannya secara gamblang dan terang2an... karena siapakah aku ini? Aku cuma seorang anak bungsu di keluargaku dengan ibu dan PRT bernama Lek Sar yang suka nonton sinetron. Aku sendiri nggak suka nonton sinetron. Hehe... Semoga maksud uneg2ku ini bisa kesampaian ya... Salam damai!!!


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kasta

Doa bagi Kota Tercinta

Yehova Zebaoth, TUHAN semesta alam.