Postingan

Menampilkan postingan dari Mei, 2025

Bab 11 – Penutup: Menyongsong Masa Depan dalam Pemulihan dan Panggilan

Perjalanan ini tidak berakhir pada titik tertentu. Sebagai orang yang dipulihkan oleh kasih Allah, aku menyadari bahwa setiap hari adalah bagian dari perjalanan pemulihan yang terus menerus . Healing & redemption bukan sekadar topik atau tema dalam perjalanan ini—ia adalah kehidupan yang terus terbuka, tidak terikat waktu, dan tidak terbatas oleh keadaan. Pemulihan adalah proses yang tak pernah selesai. Aku tidak berusaha mencapai kesempurnaan atau hidup tanpa luka, karena aku tahu bahwa dalam setiap retakan itu ada tempat bagi kasih dan kuasa Tuhan untuk masuk. Tuhan memakai luka dan kelemahan kita sebagai alat untuk mencerminkan kemuliaan-Nya yang sempurna. Dalam setiap luka, ada cerita tentang anugerah yang memulihkan . Tantangan masa depan tidak akan kurang berat. Namun, setelah melewati perjalanan ini, aku kini bisa berkata dengan penuh keyakinan bahwa Tuhan akan tetap setia menyertai , dalam segala suka dan duka. Apa yang kutemui di jalan ini adalah sebuah panggilan yang...

Bab 10 – Diperbarui untuk Memulihkan: Karunia yang Dilayakkan oleh Anugerah:

Aku bukan penyelamat. Bukan pula penyembuh. Tapi Tuhan, dalam kasih dan anugerah-Nya, memilih memakai bejana retak ini untuk menjadi saluran pemulihan bagi sesama. Karunia “mendengarkan” dan panggilan “profetis” yang dulu pernah nyaris padam karena luka, kini dinyalakan kembali oleh Dia yang setia. Bukan karena aku layak, tetapi karena kasih karunia-Nya cukup. Bahkan lebih dari cukup. Ia menjahit ulang setiap serpihanku menjadi wadah baru—yang bukan hanya berfungsi, tetapi juga memancarkan kemuliaan-Nya melalui retakan-retakan yang telah ditebus. Kini aku melihat benang merahnya. Karunia mendengarkan yang tumbuh sejak SMP, disiram dalam persekutuan masa SMA, dijaga oleh air mata di masa-masa tergelap, dan dibersihkan serta dimurnikan saat aku kembali ke Injil yang sejati . Tuhan memakai setiap fragmen hidupku, bukan untuk diriku sendiri, tetapi untuk menjadi saksi akan kuasa-Nya yang menyembuhkan dan memperbarui. Panggilan profetis itu bukan tentang bernubuat dengan kata-kata bes...

Bab 9 – Momen “Pulang”: Saat Suara Tuhan Menjadi Rumah

Ada satu momen dalam perjalanan ini yang tak pernah kulupakan—bukan karena dramanya, melainkan karena damainya. Saat itu, bukan kesembuhan total dari luka, bukan puncak pelayanan, bukan pula saat mimpi terwujud. Tapi justru ketika aku duduk sendiri, menangis dalam doa, dan berkata: “Tuhan, kalau Engkau tidak memakai aku lagi pun, aku tetap tenang. Asal Engkau tetap bersamaku.” Itulah momen “pulang.” Pulang bukan ke tempat fisik, bukan ke masa lalu, bukan ke orang tertentu. Tapi pulang ke suara Tuhan , yang sejak kecil memanggil, menegur, membentuk, menuntun, dan menyembuhkan. Suara yang dulu kuanggap samar, kini menjadi terang. Suara yang dulu kucari dengan cemas, kini menjadi rumah . Di titik ini aku mengerti bahwa panggilan hidup bukan soal kehebatan atau pengaruh, melainkan kesetiaan berjalan bersama Tuhan hari demi hari. Bahwa healing dan redemption bukan proyek sekali jadi, tapi ritme seumur hidup yang Tuhan terus kerjakan dalam dan melalui kita. Bahwa luka-luka masa kecilk...

Bab 8 – Menemukan Ritme Kasih di Tengah Dunia Kerja: Menjadi Garam dan Terang dengan Cara yang Otentik

Dunia kerja bukanlah tempat yang netral. Ia penuh dinamika—ambisi, tekanan, relasi kuasa, dan tak jarang, luka-luka yang tak tampak di permukaan. Ketika aku pertama kali masuk ke dunia kerja sebagai tenaga medis, aku sempat bertanya dalam hati, “Tuhan, bagaimana aku bisa menjadi alat-Mu di sini tanpa menjadi asing?” Ternyata, jawabannya bukan lewat khotbah atau spanduk besar bertuliskan ayat. Tuhan mengajariku menjadi garam dan terang dengan cara yang otentik , alami, dan terus-menerus. Bukan dengan gebrakan, tetapi dengan ritme kasih yang stabil dan setia . Di tengah tekanan birokrasi, keterbatasan sistem, dan perbedaan karakter antarrekan, aku belajar satu hal penting: membawa damai adalah bentuk pelayanan . Kadang itu berarti mengalah dalam diskusi yang memanas. Kadang berarti menjadi orang pertama yang meminta maaf. Kadang berarti menyediakan waktu untuk mendengarkan keluhan staf, pasien, atau bahkan atasan, tanpa menghakimi. Di tengah semua itu, roh profetis dan karunia menden...

Bab 7 – Saat Hening Menjadi Rumah: Belajar Mendengarkan sebagai Pelayanan

Dalam dunia yang bising, mendengarkan adalah tindakan radikal. Aku menemukan itu secara nyata—bukan di ruang seminar, bukan dalam pembelajaran teori komunikasi—melainkan di tengah interaksi sederhana yang Tuhan izinkan kualami setiap hari: mendampingi pasien, menjadi rekan kerja, sahabat, anak, istri, bahkan sesama penumpang di perjalanan hidup ini. Setelah diagnosis bipolar itu, aku melewati masa-masa kontemplatif yang panjang. Saat aku tidak bisa banyak bicara, aku belajar mendengarkan . Bukan sekadar "menyimak", tetapi hadir secara utuh: tubuh, pikiran, dan jiwa. Di situlah aku mulai menyadari bahwa karunia ini sudah lama ditanamkan Tuhan dalam diriku—hanya saja dulu aku belum menyadarinya sebagai panggilan. Aku teringat ruang agama SMP, tempat Bu Indarti bercerita dengan penuh kehangatan. Suara beliau bukan hanya menjelaskan, tapi menghidupkan kisah. Dan aku, duduk di antara teman-teman, merasakan kenyamanan mendalam hanya dengan berada di ruangan itu. Di sanalah karu...

Bab 6 – Retak, Namun Dipakai: Saat Diagnosis Mengubah Segalanya

Tidak ada yang benar-benar siap menerima diagnosis gangguan jiwa, apalagi bila itu menyangkut dirimu sendiri. Saat pertama kali mendengar kata “bipolar disorder” dari bibir seorang psikiater, rasanya seperti separuh duniaku runtuh. Seolah-olah Tuhan menelanjangiku di tengah kerumunan, dan berkata, “Inilah kamu, dengan seluruh celah dan retakannya.” Aku marah. Aku bingung. Aku takut. Bagaimana mungkin seseorang yang begitu haus akan kebenaran, begitu aktif dalam pelayanan, bisa mengalami ini? Apakah semua pengalaman rohaniku hanya ilusi? Apakah aku hanya orang “sakit jiwa” yang terlalu serius menganggap imannya? Hari-hari berikutnya seperti berjalan dalam kabut. Tapi justru di sanalah aku belajar berjalan dalam iman, bukan penglihatan. Tuhan tidak langsung mengangkat semua rasa sakit dan kekacauan itu. Namun Ia hadir. Ia tinggal. Ia bertahan bersamaku. Mazmur menjadi nafas hidupku. Air mata menjadi liturgi harian. Aku menemukan Yesus bukan di atas podium kemenangan, melainkan di...

Bab 5 – Menjadi Alat-Nya di Dunia Medis

Memasuki dunia kedokteran adalah langkah iman. Aku tidak sekadar mengejar profesi, tapi merespons dorongan hati yang makin kuat untuk menjadi alat pemulih . Namun aku tahu, penyembuhan sejati tidak hanya soal tubuh, tapi juga jiwa dan relasi dengan Tuhan. Dunia medis tidak selalu menjadi tempat yang hangat dan penuh empati. Aku melihat langsung betapa banyaknya tenaga kesehatan yang kelelahan, bahkan kehilangan rasa kemanusiaan dalam rutinitas kerja. Aku pun pernah nyaris terseret dalam pusaran itu—menjadi sibuk, terampil, tapi hampa. Namun Tuhan tidak membiarkanku hilang arah. Kasih karunia itu tetap memelukku. Ia menegurku dalam keheningan malam saat aku merasa kosong. Ia berbicara lewat pasien-pasien yang tak bisa kuobati secara fisik, tapi mendambakan seseorang yang mendengarkan mereka dengan hati. Di sinilah aku mulai merasakan kembali karunia yang dulu pernah padam: mendengarkan dengan empati, dengan roh profetis, bukan menghakimi, tetapi meneguhkan. Pelayanan di rumah sakit...

Bab 4 – Saat Aku Mulai Mengenali Suara-Nya

Masa kuliah seharusnya menjadi masa kebebasan dan penemuan jati diri, tapi bagiku, itu adalah masa pencarian dan perlawanan batin yang panjang. Aku memasuki dunia pendidikan tinggi dengan jiwa yang masih remuk, hati yang rapuh, dan iman yang penuh pertanyaan. Gejala bipolar tidak serta-merta hilang. Aku masih mengalami fluktuasi emosi: dari semangat menggebu-gebu hingga tenggelam dalam kesedihan tak bernama. Namun, satu hal yang terus menenangkanku adalah doa dalam kesunyian. Aku kembali menulis doa-doaku, menyanyikan lagu-lagu rohani dengan suara lirih, dan belajar mendengar suara Tuhan—bukan melalui hal-hal spektakuler, tapi melalui firman-Nya yang tertulis dan bisikan damai dalam batin. Di tengah pergumulan itu, aku mulai menyadari bahwa Tuhan tidak pernah meninggalkanku. Justru dalam masa krisis, Ia membentukku ulang : mengikis motivasi rohani yang egois, menghapus gambaran-Nya yang salah, dan menanamkan Injil yang murni dalam hatiku. Aku mulai tertarik kembali untuk membaca Al...

Bab 3 – Api yang Menyala dan Luka yang Membara

Tahun 2000. Masa SMA di SMA Negeri 1 Yogyakarta membuka babak baru dalam perjalanan rohaniku. Setelah sebelumnya dibentuk dalam kehangatan persekutuan di ruang agama SMP Negeri 5 Yogyakarta bersama Bu Indarti —guru agama Kristen yang lembut, suka bercerita, dan memberi ruang aman untuk bertanya—aku tiba di masa remaja dengan api yang menyala-nyala dalam hatiku. Ada kelaparan akan firman Tuhan. Bukan sekadar rasa ingin tahu, tetapi semacam panggilan dari dalam: aku ingin tahu siapa Allah sebenarnya, aku ingin mengenal Dia lebih dalam, bukan hanya dari cerita orang lain. Persekutuan doa di sekolah menjadi tempat di mana aku merasa hidup. Suasana ibadah bercorak kharismatik yang ekspresif terasa menyegarkan, menghidupkan, bahkan membuatku merasa "dekat dengan Tuhan." Dalam semangat itu, aku mengambil langkah nekat—atau mungkin dipenuhi anugerah yang misterius: membaca Alkitab dari Kejadian sampai Wahyu dalam waktu satu bulan. Itu bukan hasil target atau tantangan, tapi lah...

Bab 2 – Ruang Agama dan Karunia Mendengarkan yang Tumbuh

Jika masa SD adalah titik mula lukaku, maka masa SMP menjadi awal dari kesadaranku akan suara yang lain— suara yang lembut namun penuh kuasa, yang kerap hadir dalam doa dan keheningan. Di sinilah, untuk pertama kalinya, aku mulai belajar berdoa sambil menangis, bukan karena diajari, tetapi karena hati ini terlalu penuh dan tak sanggup menampung semua rasa sendiri. Salah satu tempat yang menjadi tempat pengungsian rohaniku adalah ruang agama Kristen di SMP Negeri 5. Ruangan sederhana itu menyimpan begitu banyak memori, pelukan batin, dan langkah awal mengenali siapa sebenarnya Tuhan. Bu Indarti , guru agamaku, bukan hanya seorang pengajar yang sabar, tapi juga seorang pencerita ulung. Setiap kisah Alkitab yang ia tuturkan seolah hidup dan berbicara langsung kepada batinku. Ia tidak pernah tergesa-gesa dalam mengajar. Justru dalam ketenangannya, kami belajar bahwa mendengar bisa menjadi bentuk kasih yang paling dalam. Di ruang agama itu, aku menemukan tempat yang aman untuk bertumbu...

Bab 1 – Air Mata yang Didengar

Doa itu bukan pertama kalinya aku menangis. Tapi mungkin itulah pertama kalinya aku sadar bahwa Tuhan benar-benar mendengarkan. Aku tidak tahu bagaimana menjelaskan perasaan itu. Tapi setiap kali air mata jatuh sambil menyebut nama-Nya, ada damai yang pelan-pelan mengalir di sela gelisahku. Aku tidak merasa langsung dikuatkan. Tapi aku tahu aku tidak sendirian. Masa SMP membuka ruang baru yang Tuhan pakai untuk menumbuhkan karunia dalam diriku. Salah satunya melalui guru agama Kristen kami yang luar biasa. Ia bukan hanya mengajarkan ayat-ayat Alkitab, tapi juga menghidupi firman itu lewat kisah dan kehangatan hidupnya. Ia suka bercerita. Tentang Alkitab, tentang hidup, tentang bagaimana Tuhan bekerja dalam hal-hal kecil. Aku betul-betul menikmati setiap jam pelajaran agama di ruang khusus itu— ruang agama —yang terasa seperti oasis. Ruang yang tenang, lembut, dan hangat, seolah Tuhan sedang berbicara dalam nada-nada rendah yang menyejukkan jiwa. Di sanalah, tanpa sadar, aku belaja...

Pengantar: Saat Retak Itu Tak Bisa Disangkal

Aku masih ingat jelas hari itu. Hari di mana aku seharusnya bersuka cita karena lulus SD. Teman-temanku tersenyum lebar memamerkan rapor, foto, dan harapan akan SMP favorit mereka. Tapi di rumah, dunia seperti pecah diam-diam. Bukan karena aku tak lulus—aku justru termasuk yang berprestasi. Tapi karena sesuatu yang jauh lebih dalam: orang tuaku sedang bermasalah , dan aku tak tahu harus bagaimana. Usiaku baru 12 tahun, tapi rasa sesaknya seperti tak punya batas. Aku belajar menahan tangis di sekolah, lalu membiarkannya pecah di malam hari, di hadapan Tuhan yang waktu itu belum sepenuhnya kupahami. Aku hanya tahu satu hal: aku butuh ditolong . Dan entah bagaimana, aku mulai belajar berdoa. Bukan doa yang panjang dan teologis. Tapi doa yang penuh air mata dan pengakuan polos: “Tuhan, aku nggak tahu harus bagaimana…” Dari titik itulah, sebuah perjalanan panjang dimulai—perjalanan yang tidak selalu lurus, tidak jarang penuh kebingungan, bahkan sempat membuatku salah arah. Tapi ada sesuat...

Kintsugi Jiwa

Luka yang Tak Disembunyikan. Kasih yang Mengangkat. Hidup yang Dipulihkan. Apa jadinya ketika luka masa lalu bukan ditutup rapat, tapi justru diizinkan terlihat—karena di sanalah kasih Tuhan menyinari dan memulihkan? Buku ini bukan sekadar kisah perjalanan pribadi. Ini adalah undangan. Undangan untuk melihat bahwa Tuhan sanggup menjahit kembali jiwa yang retak dengan benang anugerah-Nya. Di tengah kesibukan sebagai dokter, pendidik, dan pemimpin, penulis menemukan bahwa pemulihan sejati justru lahir dari ketaatan sehari-hari, dari mendengarkan, dari menyuarakan yang benar, dan dari kesediaan untuk hadir bagi sesama. Dengan bahasa yang reflektif dan jujur, Kintsugi Jiwa membawa kita menyelami visi healing & redemption : pemulihan yang lahir bukan dari kekuatan manusia, tetapi dari kuasa salib Kristus yang menjadikan hidup kita bermakna—meski (atau justru karena) pernah hancur. Bagi siapa pun yang sedang mencari arah, pemulihan, atau sekadar ruang untuk bernapas, buku ini bisa m...

Tentang Penulis

Penulis adalah seorang dokter, pendidik, dan pelayan di dunia kesehatan yang dipanggil untuk menghidupi dan membagikan kasih Tuhan yang menyembuhkan dan menebus. Luka besar dalam keluarganya pada masa remaja mengawali perjalanan panjang pemulihan yang dilaluinya dengan doa, air mata, dan perenungan firman Tuhan. Dalam proses itu, Tuhan Yesus Kristus sendiri menyalakan kembali dua hal yang menjadi pusat panggilannya: karunia untuk mendengarkan dan panggilan profetis untuk menyuarakan kebenaran dan pengharapan di tengah dunia yang terluka. Baginya, mendengarkan bukan sekadar tindakan pasif, melainkan bentuk kasih yang aktif—menjadi ruang aman bagi jiwa lain untuk bernafas, jujur, dan dijumpai. Sementara itu, panggilan profetis ia hidupi bukan dalam bentuk mimbar besar, tetapi dalam keseharian: menyuarakan apa yang benar meski tidak populer, membela yang rapuh, dan menghadirkan terang Kristus lewat kehidupan yang taat, sederhana, dan penuh belas kasih. Bagi penulis, tulisan adalah per...

Ketika Dikenali Sebagai Pemimpin yang Ngrengkuh

Hari Buruh tahun ini terasa berbeda. Saat membuka WhatsApp, mataku tertumbuk pada status Pak Lukas, perawat IBS yang saat ini menjadi ketua Serikat Pekerja di rumah sakit kami. Ia menulis: "Berkah di momen Hari Buruh, merasakan kepemimpinan yang humanis, dengan pendekatan ngayomi dan merengkuh... walau tetap megedepankan solusi." Saya membacanya pelan-pelan. Ada keteduhan dalam kata-kata itu. “Sae,” balasku singkat. Sebuah pengakuan kecil atas keindahan narasi yang ia tuliskan. Tak lama kemudian, muncul balasan yang membuatku terdiam sejenak: "Dan.... slh satu pemimpin yg humanis & ngrengkuh itu dr. Mimi..." Saya membalas dengan sederhana: "wah... matur nuwun, pak ketua... saya masih terus belajar dan bertumbuh." Tapi dalam hati saya tidak sesederhana itu. Ada rasa syukur yang dalam—bahwa di tengah perjuangan, tekanan, dan tarik-ulur peran, ternyata ada hal-hal baik yang diam-diam dirasakan dan diingat oleh orang lain. Saya tidak pernah...