Bab 3 – Api yang Menyala dan Luka yang Membara
Tahun 2000. Masa SMA di SMA Negeri 1 Yogyakarta membuka babak baru dalam perjalanan rohaniku. Setelah sebelumnya dibentuk dalam kehangatan persekutuan di ruang agama SMP Negeri 5 Yogyakarta bersama Bu Indarti—guru agama Kristen yang lembut, suka bercerita, dan memberi ruang aman untuk bertanya—aku tiba di masa remaja dengan api yang menyala-nyala dalam hatiku.
Ada kelaparan akan firman Tuhan. Bukan sekadar rasa ingin tahu, tetapi semacam panggilan dari dalam: aku ingin tahu siapa Allah sebenarnya, aku ingin mengenal Dia lebih dalam, bukan hanya dari cerita orang lain. Persekutuan doa di sekolah menjadi tempat di mana aku merasa hidup. Suasana ibadah bercorak kharismatik yang ekspresif terasa menyegarkan, menghidupkan, bahkan membuatku merasa "dekat dengan Tuhan."
Dalam semangat itu, aku mengambil langkah nekat—atau mungkin dipenuhi anugerah yang misterius: membaca Alkitab dari Kejadian sampai Wahyu dalam waktu satu bulan. Itu bukan hasil target atau tantangan, tapi lahir dari hasrat rohani yang meluap. Ayat-ayat firman menjadi seperti makanan dan air bagi jiwaku. Aku menandai, merenung, mencatat, bahkan menangis di beberapa bagian. Tuhan terasa begitu dekat.
Persahabatan dengan teman-teman rohani juga memperdalam persekutuanku. Kami saling mendoakan, menangis bersama, menyanyi dengan sungguh-sungguh di persekutuan, dan membagikan kerinduan untuk dipakai Tuhan. Di sanalah aku mengenal pentingnya keintiman dengan Allah dalam keseharian.
Namun di tengah semua itu, aku mulai membaca buku-buku “rohani” yang tidak semuanya sehat. Salah satu yang sangat membekas—dan kemudian menjadi titik awal krisis—adalah buku “Bebas dari Cengkeraman Setan” karya Rebecca Brown. Buku itu menanamkan ketakutan yang begitu dalam. Setiap babnya seperti menyorot ke dalam pikiranku yang masih polos, membentuk dunia spiritual yang kelam dan penuh ancaman. Aku mulai merasa Tuhan itu jauh dan keras, bahwa hidup rohani itu seperti medan tempur penuh jebakan. Bukannya membawa penghiburan Injil, buku itu justru menggerus pengenalanku akan kasih Allah yang lembut dan menebus.
Pelan-pelan, semangatku yang semula menyala berubah menjadi gelisah yang tak kunjung reda. Aku tetap aktif secara rohani, tetapi ada kehampaan yang tak bisa kujelaskan. Aku menjadi mudah menangis, mudah terpukul, dan sangat sensitif terhadap kesalahan kecil. Sampai akhirnya tubuh dan jiwaku menyerah. Guncangan itu nyata. Aku mulai mengalami gangguan suasana hati yang ekstrim. Setelah melewati berbagai pemeriksaan dan pergumulan, aku didiagnosis bipolar disorder.
Itu masa tergelap dalam hidupku. Bukan karena aku tidak rohani, tetapi karena aku kehilangan Injil yang sejati. Aku sibuk mencari pengalaman spiritual, tapi melupakan salib Kristus sebagai pusat segalanya.
Namun justru di dasar jurang itulah, aku mulai mengenali kembali suara-Nya. Bukan suara keras yang mengguncang, melainkan suara lembut dan penuh kasih—seperti waktu aku masih kecil dan menangis di hadapan-Nya.
Suara yang berkata, “Aku di sini. Aku tahu. Aku tetap mengasihimu.”
Komentar