Ketika Dikenali Sebagai Pemimpin yang Ngrengkuh
Hari Buruh tahun ini terasa berbeda. Saat membuka WhatsApp, mataku tertumbuk pada status Pak Lukas, perawat IBS yang saat ini menjadi ketua Serikat Pekerja di rumah sakit kami. Ia menulis:
"Berkah di momen Hari Buruh, merasakan kepemimpinan yang humanis, dengan pendekatan ngayomi dan merengkuh... walau tetap megedepankan solusi."
Saya membacanya pelan-pelan. Ada keteduhan dalam kata-kata itu. “Sae,” balasku singkat. Sebuah pengakuan kecil atas keindahan narasi yang ia tuliskan.
Tak lama kemudian, muncul balasan yang membuatku terdiam sejenak:
"Dan.... slh satu pemimpin yg humanis & ngrengkuh itu dr. Mimi..."
Saya membalas dengan sederhana:
"wah... matur nuwun, pak ketua...
saya masih terus belajar dan bertumbuh."
Tapi dalam hati saya tidak sesederhana itu. Ada rasa syukur yang dalam—bahwa di tengah perjuangan, tekanan, dan tarik-ulur peran, ternyata ada hal-hal baik yang diam-diam dirasakan dan diingat oleh orang lain.
Saya tidak pernah berniat “menjadi pemimpin humanis” dalam pengertian strategis. Yang saya pegang adalah prinsip: bahwa setiap orang adalah pribadi yang utuh, punya cerita, punya luka, punya kekuatan. Bahwa memimpin bukan soal menguasai, tetapi menemani. Bahwa solusi tanpa pelukan bisa kering, dan pelukan tanpa solusi bisa tumpul. Keduanya perlu berjalan bersama.
Disebut “ngrengkuh”—merangkul dalam bahasa Jawa—adalah pujian yang merendahkan hati. Karena saya tahu, saya belum sempurna. Saya masih belajar. Saya masih bertumbuh. Tapi mungkin, justru di situlah letak kekuatan sesungguhnya: bahwa kepemimpinan bukan puncak pencapaian, melainkan perjalanan kasih yang terbuka terhadap perubahan dan pemurnian terus-menerus.
Hari itu saya belajar satu hal penting: bahwa kehadiran yang tulus tidak pernah sia-sia. Dan bahwa kadang, Tuhan mengirimkan konfirmasi kecil—lewat status WA dan sapaan rekan kerja—untuk mengingatkan: tetaplah menjadi terang, walau kecil. Tetaplah memimpin dengan hati, walau sunyi.
Komentar