Bab 4 – Saat Aku Mulai Mengenali Suara-Nya

Masa kuliah seharusnya menjadi masa kebebasan dan penemuan jati diri, tapi bagiku, itu adalah masa pencarian dan perlawanan batin yang panjang. Aku memasuki dunia pendidikan tinggi dengan jiwa yang masih remuk, hati yang rapuh, dan iman yang penuh pertanyaan.

Gejala bipolar tidak serta-merta hilang. Aku masih mengalami fluktuasi emosi: dari semangat menggebu-gebu hingga tenggelam dalam kesedihan tak bernama. Namun, satu hal yang terus menenangkanku adalah doa dalam kesunyian. Aku kembali menulis doa-doaku, menyanyikan lagu-lagu rohani dengan suara lirih, dan belajar mendengar suara Tuhan—bukan melalui hal-hal spektakuler, tapi melalui firman-Nya yang tertulis dan bisikan damai dalam batin.

Di tengah pergumulan itu, aku mulai menyadari bahwa Tuhan tidak pernah meninggalkanku. Justru dalam masa krisis, Ia membentukku ulang: mengikis motivasi rohani yang egois, menghapus gambaran-Nya yang salah, dan menanamkan Injil yang murni dalam hatiku. Aku mulai tertarik kembali untuk membaca Alkitab dengan pendekatan yang baru—bukan untuk mencari sensasi, tapi untuk mengenal Allah seperti Ia menyatakan diri-Nya.

Pertemuan-pertemuan dengan orang-orang baru dalam pelayanan kampus dan gereja mulai membuka mataku: bahwa ada banyak cara Allah bekerja dalam hidup orang. Tidak semua orang mengalami mukjizat, tidak semua orang bersinar terang di panggung besar. Tapi semua orang—termasuk aku—dipanggil untuk setia dan bertumbuh.

Perlahan, aku mulai menata hidup. Aku belajar psikologi, membaca ulang kisah-kisah Alkitab dengan kacamata kasih karunia, dan berani terbuka tentang luka masa lalu kepada orang-orang tertentu yang bisa kupercaya. Aku melihat bahwa tidak semua luka harus segera disembuhkan—beberapa justru menjadi pintu untuk mengenal kasih Allah lebih dalam.

Momen-momen di mana aku “mengenali suara-Nya” bukan hanya dalam doa pribadi, tapi juga dalam perjumpaan sehari-hari: saat menolong teman yang sedang putus asa, saat mendengarkan curhat dengan penuh empati, saat menggenggam tangan pasien dengan doa dalam hati.
Aku sadar, karunia mendengarkan itu tidak hilang. Tuhan justru menajamkannya dalam keheningan dan penderitaan. Dan itulah awal dari visi healing & redemption yang mulai terformulasi secara sadar dalam benakku.

Aku belum tahu ke mana Tuhan akan membawaku, tapi aku tahu satu hal: Dia memanggilku bukan karena aku kuat, tetapi justru karena aku lemah dan tahu bahwa tanpa kasih-Nya, aku hancur. Dan dari situ, Dia mulai memakai hidupku.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Doa bagi Kota Tercinta

Yehova Zebaoth, TUHAN semesta alam.

Highlight Obrolan: Isu Kesehatan Mental