Bab 5 – Menjadi Alat-Nya di Dunia Medis
Memasuki dunia kedokteran adalah langkah iman. Aku tidak sekadar mengejar profesi, tapi merespons dorongan hati yang makin kuat untuk menjadi alat pemulih. Namun aku tahu, penyembuhan sejati tidak hanya soal tubuh, tapi juga jiwa dan relasi dengan Tuhan.
Dunia medis tidak selalu menjadi tempat yang hangat dan penuh empati. Aku melihat langsung betapa banyaknya tenaga kesehatan yang kelelahan, bahkan kehilangan rasa kemanusiaan dalam rutinitas kerja. Aku pun pernah nyaris terseret dalam pusaran itu—menjadi sibuk, terampil, tapi hampa. Namun Tuhan tidak membiarkanku hilang arah.
Kasih karunia itu tetap memelukku. Ia menegurku dalam keheningan malam saat aku merasa kosong. Ia berbicara lewat pasien-pasien yang tak bisa kuobati secara fisik, tapi mendambakan seseorang yang mendengarkan mereka dengan hati. Di sinilah aku mulai merasakan kembali karunia yang dulu pernah padam: mendengarkan dengan empati, dengan roh profetis, bukan menghakimi, tetapi meneguhkan.
Pelayanan di rumah sakit dan tempat kerja tidak selalu ditandai dengan mukjizat, tapi sering kali berupa kehadiran yang setia. Kadang hanya lewat satu kalimat, satu senyum, satu doa dalam hati yang tak terucap, tapi terasa oleh mereka yang putus asa. Di titik itulah aku merasa "dipakai". Bukan karena hebat, tapi karena taat—bahkan ketika tak terlihat.
Di sinilah benih visi healing & redemption tumbuh makin jelas:
Bahwa Tuhan memanggilku bukan sekadar untuk menyembuhkan secara medis, tetapi untuk menghadirkan pengharapan dan keutuhan bagi jiwa yang terluka. Bahwa penyembuhan bukan hanya kerja, tapi juga panggilan kudus yang harus terus dikuduskan setiap hari.
Aku pun belajar mengintegrasikan nilai-nilai ini ke dalam manajemen rumah sakit, pendidikan kedokteran, dan pelayanan rohani. Bagi sebagian orang, itu terlihat seperti jalur karier biasa. Tapi bagiku, itu adalah jalan pengabdian—tempat di mana Tuhan menyulam kembali kepingan jiwaku menjadi alat pemulih bagi orang lain.
Komentar