Bab 6 – Retak, Namun Dipakai: Saat Diagnosis Mengubah Segalanya

Tidak ada yang benar-benar siap menerima diagnosis gangguan jiwa, apalagi bila itu menyangkut dirimu sendiri. Saat pertama kali mendengar kata “bipolar disorder” dari bibir seorang psikiater, rasanya seperti separuh duniaku runtuh. Seolah-olah Tuhan menelanjangiku di tengah kerumunan, dan berkata, “Inilah kamu, dengan seluruh celah dan retakannya.”

Aku marah. Aku bingung. Aku takut.
Bagaimana mungkin seseorang yang begitu haus akan kebenaran, begitu aktif dalam pelayanan, bisa mengalami ini? Apakah semua pengalaman rohaniku hanya ilusi? Apakah aku hanya orang “sakit jiwa” yang terlalu serius menganggap imannya?

Hari-hari berikutnya seperti berjalan dalam kabut. Tapi justru di sanalah aku belajar berjalan dalam iman, bukan penglihatan. Tuhan tidak langsung mengangkat semua rasa sakit dan kekacauan itu. Namun Ia hadir. Ia tinggal. Ia bertahan bersamaku.

Mazmur menjadi nafas hidupku. Air mata menjadi liturgi harian. Aku menemukan Yesus bukan di atas podium kemenangan, melainkan di tengah lembah bayang-bayang maut, memegang tanganku erat. Dan di titik itu, aku berhenti bertanya "mengapa", dan mulai bertanya, "untuk apa, Tuhan?"

Di tengah pengobatan, terapi, dan proses panjang penerimaan diri, aku menemukan keindahan baru dalam kasih karunia. Bahwa Tuhan tidak malu memakai bejana yang retak. Bahkan, Ia sengaja memilihnya, supaya terang kasih-Nya bisa memancar keluar dari celah-celah itu.

Diagnosis ini bukan kutukan. Ini adalah undangan untuk menyelami kedalaman kasih Allah yang tak terjangkau oleh kekuatan manusiawi. Ini adalah bagian dari kisah redemption-ku.

Aku mulai berani bersaksi. Tentang bagaimana Tuhan tetap bekerja melalui aku, bukan karena aku sembuh total, tapi karena Dia hadir dalam proses kesembuhan itu sendiri. Aku menemukan komunitas baru, ruang baru, dan bahkan dimensi pelayanan baru—terutama bagi mereka yang bergumul dengan kesehatan mental, yang sering kali terpinggirkan di gereja maupun masyarakat.

Dan karunia mendengarkan yang dulu hanya terasa seperti kepekaan biasa, kini menjadi pelita yang Tuhan pakai untuk menjangkau mereka yang tersembunyi dalam gelap. Aku mengerti sekarang: Yesus, Sang Tabib Sejati, memilih tinggal dalam diriku yang rapuh, agar aku dapat memeluk sesama yang rapuh pula.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Doa bagi Kota Tercinta

Yehova Zebaoth, TUHAN semesta alam.

Highlight Obrolan: Isu Kesehatan Mental