Bab 9 – Momen “Pulang”: Saat Suara Tuhan Menjadi Rumah

Ada satu momen dalam perjalanan ini yang tak pernah kulupakan—bukan karena dramanya, melainkan karena damainya. Saat itu, bukan kesembuhan total dari luka, bukan puncak pelayanan, bukan pula saat mimpi terwujud. Tapi justru ketika aku duduk sendiri, menangis dalam doa, dan berkata:

“Tuhan, kalau Engkau tidak memakai aku lagi pun, aku tetap tenang. Asal Engkau tetap bersamaku.”

Itulah momen “pulang.”
Pulang bukan ke tempat fisik, bukan ke masa lalu, bukan ke orang tertentu. Tapi pulang ke suara Tuhan, yang sejak kecil memanggil, menegur, membentuk, menuntun, dan menyembuhkan. Suara yang dulu kuanggap samar, kini menjadi terang. Suara yang dulu kucari dengan cemas, kini menjadi rumah.

Di titik ini aku mengerti bahwa panggilan hidup bukan soal kehebatan atau pengaruh, melainkan kesetiaan berjalan bersama Tuhan hari demi hari. Bahwa healing dan redemption bukan proyek sekali jadi, tapi ritme seumur hidup yang Tuhan terus kerjakan dalam dan melalui kita.

Bahwa luka-luka masa kecilku, keterpurukanku karena salah arah rohani, diagnosa bipolar, dan setiap air mata sepanjang jalan, ternyata bukan sia-sia. Semua itu bukan hanya tentang aku. Semua itu dipakai-Nya untuk menjadi bahasa penghiburan, pengertian, dan kehadiran bagi jiwa-jiwa lain.

Sejak momen pulang itu, aku semakin sadar: Tuhan tidak sekadar memulihkan aku untuk diriku sendiri. Ia memanggilku untuk hadir bagi yang sedang dalam perjalanan pulang juga.

Maka kini, lewat tulisan, percakapan, pelayanan sehari-hari, dan bahkan saat duduk diam mendengarkan orang, aku tahu: aku sedang menghidupi panggilanku.
Aku tidak menunggu panggung besar, sebab Tuhan hadir dalam momen-momen sederhana—di ruang konsultasi, di ruang rapat, di rumah bersama keluarga, bahkan saat menulis seperti ini.

Suara-Nya adalah rumahku. Dan selama aku mendengar-Nya, aku tahu, aku tidak tersesat.


Tentu, berikut adalah tambahan untuk Bab 9 – Momen “Pulang”: Saat Suara Tuhan Menjadi Rumah, yang menjahit pengalamanmu saat pandemi dan titik balik melalui doktrin Alkitab dalam bingkai Calvinisme:


…Aku tidak menunggu panggung besar, sebab Tuhan hadir dalam momen-momen sederhana—di ruang konsultasi, di ruang rapat, di rumah bersama keluarga, bahkan saat menulis seperti ini.

Suara-Nya adalah rumahku. Dan selama aku mendengar-Nya, aku tahu, aku tidak tersesat.

**

Namun titik balik paling kuat yang mempercepat pemulihan dan memperluas dampak panggilan ini justru datang di masa tergelap dunia: pandemi COVID-19. Di tengah goncangan global dan keletihan pribadi, Tuhan mempertemukanku dengan doktrin Alkitab yang sejati, dalam terang Calvinisme.

Untuk pertama kalinya aku benar-benar mengerti bahwa Tuhan adalah Allah yang berdaulat mutlak, dan kasih karunia-Nya bukan cuma cukup, tapi satu-satunya dasar hidupku. Aku tak lagi harus mengandalkan perasaanku, prestasiku, atau keberhasilanku. Yang menjadi pusat bukan lagi aku—tetapi Kristus dan kehendak-Nya yang kekal.

Aku belajar mengenal bahwa segala sesuatu—bahkan luka, penyakit, krisis, dan kegagalan—ada dalam kendali dan rancangan-Nya yang penuh kasih dan kekudusan. Doktrin pemilihan, penebusan yang sempurna, dan ketekunan orang kudus bukan lagi sekadar konsep teologis, melainkan udara yang kuhirup setiap hari.

Melalui kelas-kelas teologi daring, bacaan yang memperkaya, dan persekutuan dengan orang-orang yang mengejar kebenaran sejati, aku menemukan kembali Injil yang murni. Bukan injil perasaan. Bukan injil keinginan. Bukan injil keajaiban. Tapi Injil anugerah yang membawa kepada kekudusan dan kemuliaan Allah.

Di sanalah aku benar-benar “pulang”—bukan hanya ke suara-Nya, tapi juga ke kebenaran-Nya. Dan sejak itu, pemulihan dalam diriku berjalan eksponensial. Karunia mendengarkan pun diperbarui dalam dasar yang benar. Visi healing & redemption menemukan akar dan sayapnya.

Aku tidak hanya dipulihkan, tapi diutus. Dan sekarang, aku tahu ke mana harus melangkah, karena aku tahu siapa yang memegang kendali.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Doa bagi Kota Tercinta

Yehova Zebaoth, TUHAN semesta alam.

Highlight Obrolan: Isu Kesehatan Mental