Bab 8 – Menemukan Ritme Kasih di Tengah Dunia Kerja: Menjadi Garam dan Terang dengan Cara yang Otentik
Dunia kerja bukanlah tempat yang netral. Ia penuh dinamika—ambisi, tekanan, relasi kuasa, dan tak jarang, luka-luka yang tak tampak di permukaan. Ketika aku pertama kali masuk ke dunia kerja sebagai tenaga medis, aku sempat bertanya dalam hati, “Tuhan, bagaimana aku bisa menjadi alat-Mu di sini tanpa menjadi asing?”
Ternyata, jawabannya bukan lewat khotbah atau spanduk besar bertuliskan ayat. Tuhan mengajariku menjadi garam dan terang dengan cara yang otentik, alami, dan terus-menerus.
Bukan dengan gebrakan, tetapi dengan ritme kasih yang stabil dan setia.
Di tengah tekanan birokrasi, keterbatasan sistem, dan perbedaan karakter antarrekan, aku belajar satu hal penting: membawa damai adalah bentuk pelayanan. Kadang itu berarti mengalah dalam diskusi yang memanas. Kadang berarti menjadi orang pertama yang meminta maaf. Kadang berarti menyediakan waktu untuk mendengarkan keluhan staf, pasien, atau bahkan atasan, tanpa menghakimi.
Di tengah semua itu, roh profetis dan karunia mendengarkan terus bekerja dalam diam. Aku belajar membedakan mana suara Tuhan dan mana desakan ego. Belajar menyampaikan kebenaran dengan kasih, bukan dengan amarah. Belajar berdiri untuk integritas, tapi juga tahu kapan harus diam dan berdoa.
Dalam ruang rehabilitasi medik yang aku kelola, aku melihat bahwa pelayanan bukan hanya soal hasil terapi, tapi soal suasana yang menyembuhkan—dari sapaan hangat, pengaturan jadwal yang manusiawi, hingga mendengarkan keresahan keluarga pasien dengan penuh empati. Semuanya jadi bagian dari visi healing & redemption yang hidup dan nyata.
Di dunia kerja pula, aku melihat bagaimana luka lama yang dulu kupikir sudah sembuh, terkadang terbuka kembali. Tapi Tuhan memakaiku di tengah rapuhku. Ia menyentuh orang lain melalui proses pemulihanku yang belum selesai.
Dan di sinilah aku tahu: menjadi terang bukan berarti sempurna atau tanpa cacat. Tapi bersinar justru karena dibakar oleh kasih dan anugerah Tuhan yang terus menerus menyala. Menjadi garam berarti hadir dan memberi rasa pada setiap kesempatan kecil yang Tuhan izinkan.
Visi itu kini semakin konkret: bahwa di dunia kerja pun, Tuhan membentuk altar-Nya. Dan setiap tindakan kasih, kejujuran, pengampunan, dan keberanian menjadi bagian dari ibadah sejati.
Komentar