Pengantar: Saat Retak Itu Tak Bisa Disangkal

Aku masih ingat jelas hari itu. Hari di mana aku seharusnya bersuka cita karena lulus SD. Teman-temanku tersenyum lebar memamerkan rapor, foto, dan harapan akan SMP favorit mereka. Tapi di rumah, dunia seperti pecah diam-diam. Bukan karena aku tak lulus—aku justru termasuk yang berprestasi. Tapi karena sesuatu yang jauh lebih dalam: orang tuaku sedang bermasalah, dan aku tak tahu harus bagaimana.

Usiaku baru 12 tahun, tapi rasa sesaknya seperti tak punya batas. Aku belajar menahan tangis di sekolah, lalu membiarkannya pecah di malam hari, di hadapan Tuhan yang waktu itu belum sepenuhnya kupahami. Aku hanya tahu satu hal: aku butuh ditolong. Dan entah bagaimana, aku mulai belajar berdoa. Bukan doa yang panjang dan teologis. Tapi doa yang penuh air mata dan pengakuan polos: “Tuhan, aku nggak tahu harus bagaimana…”

Dari titik itulah, sebuah perjalanan panjang dimulai—perjalanan yang tidak selalu lurus, tidak jarang penuh kebingungan, bahkan sempat membuatku salah arah. Tapi ada sesuatu yang Tuhan bangun dalam reruntuhan itu: kerinduan untuk mendengarkan suara-Nya, dan kelak, mendengarkan orang lain yang juga sedang rapuh. Luka itu menjadi pintu. Dan pintu itu terbuka menuju sebuah panggilan yang tak pernah kuduga: menjadi bagian dari karya pemulihan Tuhan bagi jiwa-jiwa yang retak—termasuk jiwaku sendiri.

Kini, puluhan tahun sejak malam penuh air mata itu, aku mengerti sesuatu yang dulu tak terpikirkan: Tuhan tidak membiarkan lukaku sia-sia. Bahkan lebih dari itu, Dia menjadikannya bahan dasar dari visi hidupku: healing & redemption—pemulihan dan penebusan, bukan karena aku kuat, tapi karena kasih-Nya cukup.

Inilah kisah perjalanan itu. Kisah tentang bagaimana luka tidak ditutupi, tapi diterangi. Tentang mendengarkan yang bukan hanya empati, tapi juga pelayanan. Tentang suara profetis yang lahir bukan dari keberanian pribadi, melainkan dari ketaatan yang diuji dalam diam dan kesetiaan.

Jika kamu juga sedang memegang serpihan hidupmu sendiri, kiranya buku ini bisa menjadi pelukan hangat yang berkata: “Kamu tidak sendiri. Dan Tuhan belum selesai menulis kisahmu.”


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Doa bagi Kota Tercinta

Yehova Zebaoth, TUHAN semesta alam.

Highlight Obrolan: Isu Kesehatan Mental