Kepandaian yang Sejati


Waktu aku SD, khususnya kelas 5 dan 6, aku begitu ambisius untuk mengejar dan mempertahankan prestasi akademis menjadi ranking 1 di kelas. Begitu ambisiusnya aku sehingga waktuku kuhabiskan untuk belajar dan belajar. Motivasi yang ada adalah supaya tetap menjadi yang nomor satu di sekolah. Menjadi nomor satu bagiku waktu itu identik dengan predikat anak yang pandai atau pintar. Aku begitu haus akan pengakuan sebagai anak yang pintar. Bagiku, kepintaran dan kepandaian adalah segala-galanya, waktu itu. Tanpa kusadari, aku terjebak dalam pola pikir yang salah. Pola pikir yang sangat dangkal dan menyesatkan. Aku belajar bukan untuk mempersiapkan kehidupan yang akan datang melainkan semata-mata hanya untuk nilai yang bagus supaya aku dianggap sebagai anak yang pintar. Aku pikir waktu itu aku telah mencapai semuanya, apa yang seharusnya diraih oleh manusia. Ternyata aku salah. Ada yang jauh lebih penting daripada sekedar mengejar kepintaran dan prestasi akademis. Aku melupakan nilai-nilai persahabatan dan kesetiakawanan. Setiap orang teman yang berprestasi aku pandang sebagai saingan atau lawan yang harus kukalahkan. Aku tidak rela posisiku sebagai yang terbaik terancam oleh mereka.

Menjadi pintar atau pandai tidaklah salah. Yang menjadikannya salah adalah motivasi yang tidak pas. Karena motivasiku waktu itu adalah supaya aku mendapat pengakuan dari orang lain bahwa aku ini pandai, maka kepandaianku itu tidak pas dan tidak pada tempatnya. Mungkin secara lahiriah aku terlihat lebih pandai dan pintar, tapi sebenarnya aku sama saja dengan anak-anak yang lain. Aku bisa meraih prestasi itu karena aku lebih dahulu menguasai bahan pelajaran karena aku "mencuri start" dengan memanfaatkan hari2 libur yang ada untuk belajar dan belajar. Tapi aku masih belum memahami dan menghayati esensi dari belajar dan apa yang kupelajari. Aku masih belum mengembangkan jiwa seorang pembelajar yang tidak pernah puas dengan apa yang diperolehnya. Aku terlalu cepat puas hanya dengan mendapatkan nilai2 bagus di setiap ulangan dan ujian.

Sekarang aku seperti disadarkan kembali bahwa menjadi pintar itu tidak salah asalkan dengan motivasi yang benar. Motivasi yang bukan melulu demi egoku sendiri melainkan demi memuliakan nama Tuhan. Jika aku megejar kepandaian untuk memuliakan Tuhan, maka aku tidak akan terlalu mempedulikan apa kata orang. Kepandaian yang kuhasilkan dari jerih payah belajarku itu akan dipakai Tuhan untuk memperluas kerajaanNya asalkan aku melekat erat dan berserah padaNya. Dan rahasia dari kepandaian yang sejati adalah adanya takut akan TUHAN seperti yang tertulis dalam Amsal 1:8.

Sudahkah aku mengejar kepandaian dalam Tuhan? That's the very question.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kasta

Doa bagi Kota Tercinta

Yehova Zebaoth, TUHAN semesta alam.