Bab 2 – Beda Itu Nyata

Mereka masih rutin ikut ibadah online gereja lokal tiap Minggu pagi. Duduk rapi di ruang tamu, kopi hangat di tangan, catatan Alkitab terbuka di pangkuan.

Tapi makin hari, kotbah-kotbah itu mulai terdengar asing.

Ada kalimat-kalimat yang dulu mereka terima begitu saja, tapi sekarang justru bikin mereka saling lirik. Seperti:

“Tuhan menunggu kita membuka hati, baru Dia bisa bekerja…”

Atau:

“Manusia punya kehendak bebas mutlak untuk menerima atau menolak keselamatan…”

Rio mengerutkan dahi. Nia langsung mencatat ayat Efesus 2:1 di notes-nya: “Kamu dahulu mati karena pelanggaran-pelanggaran dan dosa-dosamu.”

Mati. Bukan sakit. Bukan lemah. Tapi mati. Gimana mungkin orang mati bisa "memilih"?

Mereka mulai gelisah. Bukan karena mereka mau cari-cari salah, tapi karena mereka sungguh-sungguh ingin tahu: benarkah ini yang Alkitab ajarkan?

Sejak itu, mereka mulai mencocokkan kotbah Minggu dengan ayat-ayat. Mereka beri highlight di Alkitab, buka tafsiran, tonton ulang kelas doktrin, lalu ngobrol panjang.

Kadang hari Minggu sore terasa kayak seminar mini. Rio menjabarkan ayat-ayat dengan telaten, pakai papan tulis kecil yang dibelinya online. Nia siapkan camilan dan sesekali nyelutuk absurd, “Sabar ya, Pak Calvin lokal. Ibu jemaat ini butuh kopi dulu.”

Tapi satu hal makin jelas:
Yang mereka dengar di kelas teologi dan yang mereka dengar di mimbar gereja—beda.

Dan bukan beda kecil. Tapi beda prinsipil.

Satu berdasar Alkitab. Satu berdasar asumsi perasaan manusia.

Mereka mulai sadar, gereja tempat mereka bertumbuh bertahun-tahun ini… ternyata lebih banyak menekankan moralitas, motivasi, dan psikologi. Tapi jarang membedah makna dosa, salib, pemilihan, atau penghakiman.

Lalu muncullah momen yang jadi titik balik.

Satu kali, di akhir kotbah, pendeta berkata:

“Saudara, Tuhan itu gentle. Dia tidak akan masuk ke hati saudara kalau saudara tidak mengundang Dia.”

Nia langsung tegak duduk.

Rio menggenggam tangan Nia. Pelan. Tapi Nia tahu Rio menahan diri.

Mereka saling menatap. Dalam diam itu, ada satu kalimat yang sama-sama terucap di dalam hati:

“Ini tidak sesuai dengan firman Tuhan.”

Merkea tidak bisa diam.

Tidak setelah mereka tahu kebenaran.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Doa bagi Kota Tercinta

Yehova Zebaoth, TUHAN semesta alam.

Highlight Obrolan: Isu Kesehatan Mental