Bab 20 – Rumah Tangga Reformata: Teologi yang Membumi
Pagi itu, aroma kopi tubruk dan roti panggang mengisi rumah kecil Rio dan Nia. Dari luar, tak ada yang istimewa. Tapi dari dalam, rumah ini seperti “seminari kecil” yang hidup: ada Alkitab terbuka di meja makan, papan tulis kecil berisi sketsa ordo salutis, dan di rak buku, berjejer teologi sistematika, tafsiran Puritan, dan catatan debat.
Tapi jangan bayangkan rumah mereka kaku. Di tengah semua keseriusan itu, ada hal-hal yang membuat mereka tetap waras. Nia bisa tiba-tiba masuk dapur sambil berseru, “Bos, TULIP hari ini udah disiram belum?” Maksudnya bukan bunga, tapi lima poin Calvinisme. Rio cuma geleng-geleng sambil menahan tawa.
Malam-malam mereka kadang diisi diskusi serius soal perbedaan Justification dan Sanctification, tapi juga bisa berubah jadi canda absurd:
“Ni, kamu tuh kayak effectual calling, tahu gak?”
“Kenapa tuh?”
“Soalnya kamu tuh panggilanku yang pasti berhasil…”
“Ciyeee… pasti kamu dapet quote itu dari catatan Westminster Confession halaman terakhir ya?”
“Ya enggaklah… itu hasil iluminasi malam ini.”
Mereka tahu iman bukan cuma soal menang debat di forum WAG. Iman itu soal bagaimana Rio memperlakukan Nia saat Nia lelah, atau bagaimana Nia tetap sabar saat Rio tenggelam di balik layar laptop menulis sanggahan untuk pendeta X.
Di dapur, Nia bisa mengomel karena Rio lupa nyuci gelas kopi. Tapi setelah itu mereka duduk bersama di sofa, membahas penggalan pengajaran John Owen, lalu menutup malam dengan doa.
Bukan doa panjang yang penuh retorika, tapi doa yang jujur:
“Tuhan, ajari kami terus. Kami belum sempurna. Tapi kami mau setia.”
Bagi Rio dan Nia, rumah tangga bukan tujuan akhir. Tapi tempat pelatihan. Tempat Tuhan mendewasakan mereka, memoles karakter, mengikis ego, dan menguji konsistensi iman.
Teologi tidak pernah berhenti di kepala. Tapi harus sampai ke hati.
Dan dari hati, ia hidup di dapur, di obrolan santai, di pelukan tengah malam.
Komentar