Bab 16 – Tritunggal: Allah yang Hidup dan Berelasi

Malam itu, rumah mereka terasa damai. Hujan rintik-rintik di luar jendela, suara serangga sesekali terdengar, dan lampu temaram di ruang baca menyinari dua cangkir teh yang mulai hangat.

Rio sedang menyelesaikan makalah untuk diskusi daring Bible Class. Temanya minggu ini: Allah Tritunggal. Ia berhenti sejenak, menatap ke arah Nia yang sedang menyiapkan playlist lagu rohani klasik.

“Nia,” katanya pelan, “aku makin sadar, kalau Allah bukan Tritunggal, Dia bukan kasih.”

Nia menoleh sambil menata headphone. “Karena kasih itu butuh relasi?”

“Ya,” Rio mengangguk. “Sebelum dunia diciptakan pun, Bapa mengasihi Anak, Anak mengasihi Bapa, dan Roh Kudus menjadi ikatan kasih itu. Allah tidak butuh kita untuk jadi Allah yang pengasih. Kasih-Nya sudah sempurna dalam diri-Nya sendiri.”

Nia tersenyum. “Berarti waktu Dia menciptakan kita, itu bukan karena kekurangan, tapi karena kelimpahan kasih-Nya.”

Rio tersenyum balik. “Exactly. Dan kita diundang masuk ke dalam relasi itu. Lewat Kristus, oleh Roh, kepada Bapa.”

Mereka hening sejenak. Bukan karena kehabisan kata, tapi karena hati mereka penuh.


Keesokan harinya, mereka membahas topik itu di grup kecil Bible Class daring. Ada yang bertanya, “Kenapa susah sekali memahami Tritunggal? Kenapa Allah gak lebih simpel saja?”

Rio menjawab dengan tenang, “Karena realitas Allah memang kompleks tapi indah. Kalau kita bisa memahami Allah sepenuhnya, maka Dia bukan Allah. Tapi justru karena kita gak bisa menciptakan konsep Tritunggal dari pikiran kita sendiri—itu bukti ini wahyu, bukan buatan manusia.”

Nia menambahkan, “Dan justru karena Allah adalah Tritunggal, Injil itu masuk akal. Hanya Allah yang Tritunggal yang bisa menyelamatkan tanpa menjadi kontradiktif. Bapa mengutus, Anak menebus, Roh Kudus memeteraikan. Tiga pribadi, satu esensi, satu kehendak.”

Seseorang mengetik di kolom komentar: “Merinding dengarnya.”

Rio mengetik:

“Allah yang Esa dalam tiga pribadi itu bukan teka-teki matematis. Dia adalah relasi sempurna, kasih yang kekal, pribadi yang hidup dan nyata.”


Setelah pertemuan usai, Nia berbaring di sofa, Rio duduk di lantai bersandar pada kakinya.

“Rio,” gumam Nia, “aku bersyukur kita belajar ini bareng. Kadang, kalau sendiri, doktrin begini terasa berat. Tapi waktu kita bagi, rasanya ringan dan menguatkan.”

Rio mencium punggung tangan istrinya. “Aku juga, Ni. Kadang, doktrin yang paling dalam… justru membuat kita paling dekat dengan Dia.”


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Doa bagi Kota Tercinta

Yehova Zebaoth, TUHAN semesta alam.

Highlight Obrolan: Isu Kesehatan Mental