Bab 12 – Domba yang Tak Terlihat
Mereka tidak punya jabatan. Tidak duduk di majelis. Tidak pegang mik saat ibadah. Tapi mereka ada. Dan mereka mulai bicara.
Minggu itu, WAG gereja tiba-tiba ramai. Bukan karena Rio dan Nia. Tapi karena Bu Yuli.
Bu Yuli, ibu rumah tangga empat anak, yang selama ini dikenal pendiam, rajin datang ibadah, dan selalu bawa kue saat persekutuan. Tiba-tiba kirim pesan panjang ke grup:
“Selama ini saya pikir saya orang Kristen yang baik karena aktif pelayanan. Tapi lewat diskusi Rio dan Nia, saya baru sadar kalau saya belum sungguh-sungguh kenal Tuhan. Saya cuma ikut arus. Sekarang saya mulai baca ulang Alkitab, dan saya kaget. Banyak yang saya percaya ternyata cuma kebiasaan, bukan kebenaran.”
Grup sepi. Biasanya, kalau Nia atau Rio yang kirim, langsung muncul reaksi atau sindiran pasif-agresif. Tapi ini... sunyi.
Rio hanya mengangkat bahu. “Domba bicara. Gembala pura-pura nggak dengar.”
Tak lama kemudian, Pak Hendra, petugas parkir gereja, ikut komentar.
“Saya ikut dengar juga rekaman diskusinya. Saya nggak ngerti semua, tapi saya ngerasa hati saya terbakar. Kayak ada sesuatu yang bangun dari tidur panjang.”
Bu Rini menyusul. “Saya juga. Dulu saya pikir iman itu soal pelayanan. Sekarang saya sadar, tanpa kebenaran, pelayanan cuma rutinitas kosong.”
Rio pelan-pelan mengetik pesan yang ringan tapi tepat:
“Kami bukan siapa-siapa. Tapi Firman itu hidup. Kalau kita buka hati dan Alkitab, Tuhan sendiri yang bicara.”
Dan malam itu, untuk pertama kalinya, WAG gereja tidak penuh debat. Tidak juga penuh emoji senyum palsu. Tapi diam. Sunyi. Karena saat Firman bicara, manusia berhenti ngoceh.
Domba-domba itu mulai bersuara. Suara mereka lembut, tapi tajam. Bukan untuk melawan, tapi untuk menyatakan: kami lapar. Kami ada. Dan kami tidak sendiri.
Komentar