Bab 19 – Menapak Jalan Baru: Gereja Tanpa Nama, tapi Penuh Kebenaran
Minggu pagi itu, suasana rumah Rio dan Nia terasa hening, bukan karena sepi, tapi karena hati mereka sedang penuh dengan satu keputusan besar.
Bukan lagi rutinitas terburu-buru berangkat ke gereja lokal. Tidak ada baju formal yang disiapkan dengan rapi. Tak ada catatan PA mingguan yang dicetak. Hanya ada secangkir kopi, Alkitab, dan satu layar laptop yang memutar rekaman video pengajaran tentang "Keselamatan oleh Anugerah Murni" dari Esra Soru.
Rio mematikan video setelah menit ke-27. Ia menoleh ke Nia. “Kamu yakin?”
Nia mengangguk mantap. “Aku yakin. Lebih baik kita sembah Tuhan dalam roh dan kebenaran—walau di ruang tamu kecil ini—daripada memaksakan diri duduk dalam ruangan besar yang mengaburkan Injil.”
Bukan berarti mereka menyerah. Sebaliknya, keputusan itu adalah bentuk tanggung jawab iman yang tak bisa ditunda lagi. Mereka bukan lari dari gereja, tapi sedang kembali kepada Gereja yang sejati—yang tidak diikat gedung, struktur, atau nama sinode, tapi berdiri di atas dasar Kristus dan firman-Nya.
Mereka mulai mengadakan pertemuan kecil di rumah. Beberapa teman yang diam-diam membaca makalah mereka akhirnya menghubungi—ada yang datang untuk berdiskusi, ada pula yang hanya ingin belajar ulang doktrin Total Depravity atau Imputed Righteousness.
“Kita nggak sedang bikin gereja baru, Ni,” kata Rio saat mereka hanya berdua di malam itu. “Tapi kalau kelak Tuhan percayakan komunitas yang bertumbuh dalam kebenaran, ya kita layani.”
Nia tersenyum lembut. “Tuhan nggak perlu institusi besar buat melestarikan kebenaran-Nya. Cukup dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Nya… dan Dia hadir.”
Rio menyentuh tangan istrinya. “Dan kamu tahu, Ni, ini semua nggak akan mungkin kulakukan tanpa kamu. Dukunganmu, keberanianmu, dan bahkan—humor absurd kamu itu—itu semua menguatkanku tiap hari.”
Nia terkekeh. “Makanya kamu jangan suka anggap enteng jokes-jokes recehku ya, Bos. Itu bentuk common grace Tuhan juga, lho.”
Mereka tertawa. Bukan karena semua masalah sudah selesai. Tapi karena mereka tahu, mereka berjalan di jalan yang benar. Meski sepi. Meski sunyi. Meski penuh risiko.
Di meja kerja, Rio menempelkan selembar ayat di dinding:
“Aku tahu segala pekerjaanmu: lihat, Aku telah membuka sebuah pintu bagimu, yang tidak dapat ditutup oleh siapa pun.”
(Wahyu 3:8)
Bab ini bukan akhir dari kisah mereka. Tapi awal dari babak baru:
Sebuah perjalanan tanpa panggung besar, tapi dengan firman yang murni.
Tanpa gelar, tapi penuh ketekunan.
Tanpa banyak pengikut, tapi setia kepada Sang Kebenaran.
Komentar