Bab 9 – Jemaat yang Tidak Kelihatan
Minggu pagi berikutnya, Rio dan Nia memutuskan tidak hadir di kebaktian. Bukan karena putus asa, apalagi memberontak. Mereka hanya... butuh jeda.
“Kalau hati tidak bisa menyembah karena luka, ibadah jadi formalitas,” Rio berkata sambil menyesap kopi hitamnya.
Mereka mengganti kebaktian dengan perenungan bersama. Alkitab terbuka di antara mereka, dan kelas daring Esra Soru menjadi liturgi mereka pagi itu.
Dan anehnya, damai.
Bukan karena semua jelas dan tenang. Tapi karena semua sungguh dan nyata.
Lalu pesan itu masuk.
“Shalom, Bu Nia. Saya baca tulisan-tulisan njenengan di grup, dan terus terang, saya setuju. Tapi saya nggak berani komentar terbuka. Matur nuwun ya, sudah berani menyuarakan yang banyak dari kami pikirkan tapi nggak berani sampaikan.”
Nia membaca pelan, lalu menunjukkannya ke Rio. Ia mengangkat alis. “Satu lagi.”
Beberapa hari kemudian, datang pesan lain dari jemaat yang selama ini mereka kira ‘diam saja’. Lalu satu lagi. Dan satu lagi.
Sebagian besar diam-diam, penuh kekhawatiran akan reaksi majelis. Tapi semua bernada serupa: “Terima kasih, kami belajar banyak.” “Saya mulai baca ulang Alkitab.” “Apa bisa ikut belajar bareng kalian?”
Mereka tidak sedang membentuk persekutuan baru. Mereka tidak sedang mencuri domba. Mereka hanya membuka pintu.
Dan ternyata, ada yang ingin masuk. Dengan pelan-pelan, tak terlihat. Tapi nyata.
“Kayak gereja bawah tanah,” kata Rio sambil nyengir. “Tapi edisi Jawa.”
Mereka akhirnya memulai diskusi daring mingguan. Mereka sebut saja: Berean Night. Karena seperti jemaat di Berea, mereka menyelidiki Kitab Suci untuk melihat apakah semuanya benar (Kis. 17:11).
Di situ, mereka bukan guru. Mereka hanya rekan belajar. Alkitab jadi pusat. Teologi jadi lensa. Dan kejujuran jadi nafas.
Di tengah dunia yang penuh gereja fisik, mereka menemukan jemaat yang tidak kelihatan. Tapi justru hidup. Jujur. Dan haus kebenaran.
Komentar